![]() |
sumber: pixabay.com |
Hujan di Malam Hari dan Benak yang Kalut
Saya suka mendengarkan suara hujan.
Ada semacam aura menenangkan mendengarkan deru hujan, seolah alam menginginkan kita untuk berhenti sejenak dari rutinitas dan menikmati alunan suara yang turun dari langit. Khususnya saat hujan tersebut turun di malam hari, bertepatan dengan momen kita beristirahat. Rasanya ingin bergelung di sofa yang nyaman, ditemani selimut tebal dan secangkir minuman hangat. Sebuah kondisi ideal yang menjadi dasar pernyataan "kebahagiaan itu sederhana" atau "menikmati kebahagiaan bisa dimana saja dan kapan saja".
Ya, itu benar sekali, tapi tidak berlaku untuk saya beberapa bulan lalu.
Saat itu Selasa malam, sekitar pukul sepuluh. Saya sudah berada di rumah. Masih di awal minggu kerja, dan seperti yang dialami oleh para pekerja yang berjuang dengan problematika kantor masing-masing, malam itu benak saya dipenuhi dengan berbagai ketakutan terkait pekerjaan, menyambungkannya dengan kejadian masa lalu, masa kini, dan masa datang. Seolah saya memiliki mesin waktu di dalam benak yang dapat mengulang semuanya.
Bukan sebuah kegiatan yang menyenangkan, pastinya. Pada beberapa kesempatan sebelumnya, saya dapat mengatur gejolak pikiran ketakutan itu dan meredamnya perlahan, namun entah mengapa, malam itu saya tidak bisa melakukannya. Saya sedang didera beragam masalah terkait pekerjaan yang dapat mengancam keberlangsungan karir ke depan. Sebuah masalah serius yang, sayangnya, terus melekat di kepala.
Tiba-tiba, turunlah hujan. Awalnya gerimis, lalu lama kelamaan semakin deras. Sejenak saya terdiam dan mencoba menikmati suasana. Tidak bisa! Semenit kemudian benak saya kembali menampilkan kilasan kejadian-kejadian mengerikan terkait masalah pekerjaan. Saya mengambil napas dan menghembuskannya perlahan, mengulangi kegiatan tersebut selama beberapa kali hingga tenang. Cukup berhasil, namun tidak sepenuhnya.
Akhirnya saya memutuskan untuk tidur saja. Saya mencoba berbaring menyamping, menatap rak buku sembari mendengarkan deru hujan. Ah, terasa damai, namun masih kurang. Benak ini terus memainkan kilasan ketakutan. Perlahan mata saya menelusuri setiap sisi rak buku, melihat satu-persatu koleksi buku fisik yang saya punya. Pandangan saya jatuh pada deretan album CD musik yang saya jejer disana (karena tidak memiliki tempat khusus, koleksi album CD musik ditempatkan di rak buku). Ada satu yang menarik perhatian, yakni album "Folklore" karya Taylor Swift. Gambar sampulnya yang bernuansa kelabu terlihat muram.
Terlihat muram atau pikiran saya yang membuatnya muram? Begini tampilan sampul depan albumnya:
![]() |
Gambar sampul depan album "Folklore" milik Taylor Swift Sumber: id.wikipedia.org |
Saya turun dari ranjang dan menghampiri rak, mengambil album tersebut. Setelah diperhatikan seksama, ada sentuhan estetika yang indah di situ. Konsepnya sederhana, Taylor berdiri di tengah hutan, di kanan kirinya pohon-pohon tinggi menjulang. Sosok Taylor sendiri ditampilkan dalam proporsi kecil, mengimbangi pesona ketinggian pohon yang ingin dipancarkan. Baru kali ini saya bisa menikmati keindahan gambar sampulnya. Jelas, pengambilan foto besutan Beth Garrabrant ini patut diapresiasi.
Setelah mempertimbangkan sejenak, saya memutuskan untuk mendengarkan isi albumnya. Tidak ada salahnya mendengarkan musik di malam hari, siapa tahu bisa membuat mood saya membaik. Musik di dalam album "Folklore" itu sendiri memang indah, cocok sekali dengan selera saya. Setelah berkarya dengan musik country dan pop di album-album sebelumnya, melalui "Folklore", Taylor merepresentasikan indie pop, folk dan alternative. Album yang disusun selama pandemi Covid-19 ini berhasil memenangkan kategori paling bergengsi di Grammy Awards ke-63 (dilaksanakan di tahun 2021), yaitu Album of The Year.
Pencapaian tersebut sangat mengagumkan, mengingat Taylor menjadi wanita pertama yang berhasil memenangkan kategori tersebut sebanyak tiga kali, setelah memperolehnya lewat album "Fearless" (2010) yang bernapaskan country dan "1989" (2016) yang mengusung pop. Dalam sejarah Grammy Awards sampai artikel ini dirilis, hanya ada tiga musisi pria yang tercatat berhasil melakukannya, yaitu Frank Sinatra, Stevie Wonder dan Paul Simon. Mungkin di masa mendatang, akan ada musisi wanita lain yang berhasil memenangkannya tiga kali juga (bisa jadi Adele atau Billie Eilish), namun menjadi yang pertama tentu merupakan catatan manis bagi seorang Taylor Swift.
Malam itu, ditemani deru hujan, musik Taylor Swift mengalun menemani kekalutan pikiran saya. Entah kebetulan atau bagaimana, aura di album ini cocok sekali didengarkan saat hujan. Saya tidak melakukan hal lain, melainkan hanya duduk di tepi ranjang, mendengarkan musik sembari menyesapi lirik yang tertera di dalam kemasan albumnya.
The Marvelous Taylor Swift
![]() |
Potret kebahagiaan Taylor Swift saat menerima piala Grammy Awards untuk kategori paling bergengsi, Album of The Year, melalui album "Folklore" (Grammy 2021) sumber: grammy.com |
Mendalami album "Folklore", mau tidak mau saya teringat perjalanan karir Taylor Swift di dunia musik. Dari luar mungkin pesonanya terlihat sempurna, namun sama seperti musisi besar dunia lainnya, untuk menjadi seseorang yang berhasil menancapkan sejarah di dunia musik, perjalanannya tidak mudah. Kesuksesan tidak diraih dengan cara yang instan, melainkan bergejolak. Meski di awal karirnya Taylor berhasil memperoleh banyak penghargaan bergengsi, banyak sekali jalan terjal yang harus dia lalui sampai saat ini, mulai dari hubungan asmaranya yang kompleks dengan banyak pria; kemelut yang melelahkan dengan artis wanita lain; korban interupsi dan sindiran Kanye West; hingga yang paling menghebohkan, saat rekaman master enam album pertamanya yang direkam di bawah naungan Big Machine Records, tidak mampu dimiliki Taylor. Artinya, meski Taylor yang menulis sendiri lagu-lagunya (atau berkolaborasi) di enam album tersebut, dia bukanlah pemiliknya. Saya tidak terlalu mengerti makna konsep kepemilikan ini dalam industri musik, tapi yang pasti, drama tersebut sungguh menggemparkan dan membingungkan, saling tuding antara pihak satu dengan yang lain, saling sindir dan klarifikasi melalui media sosial, hingga menyeret artis lain untuk ikut bersuara.
Fiuh. Mengingat sebuah permasalahan harus dilihat dari dua sisi, saya sendiri sampai tidak tahu pihak mana yang berkata benar. Yang pasti, seorang Taylor Swift tidak akan membiarkan ketidakadilan yang menimpa dirinya dibiarkan begitu saja. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek termasuk legalitas, dia mencanangkan sebuah proyek super ambisius yang mungkin tidak akan pernah terbayangkan dalam rencana awal karirnya, yakni merekam ulang enam album pertama. Bukan satu atau dua, tapi enam. Melelahkan? Pasti. Saya jadi membayangkan bagaimana rasanya jika harus menulis ulang enam artikel di blog ini. Mungkin saya akan menyerah. Itu baru sebatas artikel pribadi, tidak sekompleks menyusun sebuah album musik.
Kata "menyerah" sepertinya tidak ada dalam kamus Taylor Swift. Buktinya, hingga artikel ini dirilis, dia sudah berhasil mengeluarkan dua album rekaman ulangnya: "Fearless (Taylor's Version)" dan "Red (Taylor's Version)". Produktivitas Taylor dan profesionalitasnya dalam berkarya memang tidak main-main. Belum lagi pencapaian fantastisnya pada album kembar "Folklore" dan "Evermore" yang dirilis di tahun bersamaan. Kedua album tersebut mengusung jenis musik yang sama, seolah mendengarkan satu album yang dibelah dua. Ulasan positif pun mengalir lagi, setelah pada dua album sebelumnya, kualitasnya kurang menggigit. Oh ya, daya magisnya tidak berhenti disitu. Tidak tanggung-tanggung, kedua album tersebut dinominasikan sebagai Album of The Year di ajang Grammy Awards berturut-turut (tahun 2021 dan 2022), namun hanya "Folklore" yang berhasil memenangkannya.
Begitulah kisah singkatnya. Mungkin kalian sendiri sudah mengetahuinya, atau bahkan lebih paham detilnya daripada saya. Intinya, keteguhan hati Taylor dalam memperjuangkan mimpi dan karyanya sungguh luar biasa. Apa yang ditampilkan oleh media bisa jadi hanya permukaannya saja. Kita tidak tahu seberapa pelik permasalahan hidup yang dialaminya, hingga dia bisa menjadi salah satu musisi ternama di kancah internasional. Sebegitu kuatnya pengaruh Taylor Swift hingga saat dia menuangkan pandangan politiknya (yang tidak pernah dilakukan sebelumnya) terkait pemilu di Amerika Serikat tahun 2018 melalui akun Instagram, tercatat kenaikan pemilih yang memberikan hak suaranya setelah itu. Wow. The real influencer.
Setiap Diri Kita Berjuang dengan Caranya Masing-Masing
Malam itu, setelah pikiran ini berkelana mengingat sepak terjang karir Taylor Swift sembari mendengarkan musiknya, saya merenung. Entah itu Taylor Swift ataupun saya sendiri, nyatanya semua orang bergelut dengan masalah hidupnya masing-masing, dan menyelesaikannya dengan cara berbeda juga. Tidak ada yang memiliki resep sukses mengatasi satu permasalahan dalam hidup, mengingat begitu banyak variabel yang ada dalam sebuah masalah, mulai dari keluarga, diri sendiri, hingga lingkungan, dan riak yang mungkin ditimbulkannya. Satu permasalahan selalu berbeda dengan permasalahan lainnya, jadi rasanya tidak adil jika kita menyamaratakan semua orang memiliki satu masalah sama. Misal, jika si A sedang patah hati karena ditinggal pergi kekasih, tidak bisa disamakan dengan si B yang telah berhasil melaluinya. Meski terlihat sama, pasti ada variabel pembeda dalam kedua masalah tersebut.
Lagipula, definisi "masalah" itu sendiri sepertinya relatif, tergantung sudut pandang seseorang, yang tentu saja berkaitan dengan latar belakang pendidikan, wawasan nonformal, pengalaman masa lalu, hingga lingkungan tempat dia bernaung. Misal, di saat momen kritis, sebuah kemeja yang kancingnya copot tentu saja menjadi masalah ringan bagi seorang penjahit atau mereka yang mengetahui caranya, namun menjadi sebuah masalah besar untuk mereka yang tidak memiliki kapasitas peralatan dan ilmu memadai.
Hal ini menjadi menarik untuk dicermati tatkala sebuah permasalahan yang sama menimpa orang yang juga memiliki kecenderungan sudut pandang yang sama. Dua teknisi komputer mungkin akan berbeda menyikapi masalah yang menimpa sebuah perangkat komputer. Atau lihat saja kasus Taylor Swift yang saya tulis sebelumnya. Jika permasalahan perebutan hak master musik menimpa musisi lain, mungkin tidak banyak yang akan selantang Taylor.
Jadi, sudah jelas bahwa ada banyak variabel dalam suatu masalah yang menimpa hidup seseorang. Mungkin terlihat sama, namun kenyataannya tidak seperti itu. Jika kita lebih sering menghakimi atau meremehkan permasalahan orang lain dan membandingkannya dengan masalah kita sendiri, sebaiknya hentikan pikiran semacam itu. Ada terlalu banyak hal-hal yang mungkin saja tidak kita ketahui mengenai sesuatu yang menimpa orang tersebut.
Meski Sulit, Tidak Ada Salahnya Terus Mencoba Berjuang
Kembali ke permasalahan yang sedang saya alami malam itu. Setelah pikiran ini tenang mendengarkan musik Taylor Swift, saya mengambil kertas dan pena, mencoba melakukan hal yang sudah beberapa kali saya lakukan sebelumnya saat berada dalam posisi kalut: menuangkan semua keresahan saya ke selembar kertas. Saya memberi nomor untuk setiap keresahan yang berkecamuk di benak. Rata-rata ada empat keresahan setiap kali saya menuangkannya. Malam itu, saya mencatat lima.
Oke, hai kalian lima keresahan yang berputar-putar di benak, kini kalian sudah tidak abstrak lagi, melainkan sudah menjadi sebuah kalimat di atas kertas! Entah apakah ini efek afirmasi positif atau apa, biasanya setelah menuliskannya, saya akan menjadi lega, seolah beban berat terangkat dari pundak, padahal masalahnya sendiri belum selesai, masih harus dihadapi.
Setelah mengembalikan album Taylor Swift ke dalam rak, saya menyimpan kertas "masalah" ke dalam tas, dan bersiap untuk tidur. Ya sudahlah. Apa yang terjadi besok, maka terjadilah. Saya tidak akan kabur, melainkan mencoba menghadapinya sebisa mungkin.
Kalian tahu apa yang terjadi keesokan harinya? Setelah berjuang dengan segenap aktivitas di kantor, sore harinya saya membuka kertas "masalah" dan membacanya. Dari lima masalah yang tertulis, secara ajaibnya, empat sudah teratasi di hari itu tanpa kendala besar. Satu lagi memang belum selesai, tapi setidaknya efek yang ditimbulkannya sudah lebih dapat saya kendalikan, tidak lagi seliar sebelumnya. Bisa jadi, di malam sebelumnya, seluruh keresahan itu hanya efek pikiran saya yang membesar-besarkannya karena berpikir terlalu jauh.
Oya, saya juga mendapat pencerahan penting. Ternyata kelima masalah yang saya takutkan itu, masih lebih mudah saya lalui ketimbang masalah besar yang pernah menimpa saya di tahun 2019. Di penghujung tahun itu, saya benar-benar berada dalam kondisi terpuruk, menjalani hari demi hari dengan penuh kelelahan dan kebingungan. Perubahan situasi sangat tidak terduga dan terus-menerus memburuk. Tidak terhitung berapa kali saya mengalami fase burnout di kantor maupun di luar kantor saat itu, hingga tidur tidak tenang. Beberapa rekan kerja menggambarkan fase itu sebagai fase "Bayu yang marah-marah terus".
Hehe. Lucu juga jika mengingat-ingatnya, karena sejatinya, saya bukan tipe pemarah. Setelah masa-masa gelap itu, perlahan saya belajar mengendalikan emosi dan berusaha menjadi versi terbaik diri saya. Sulit sekali, namun ternyata sedikit demi sedikit tampak perubahan nyata. Tidak sepenuhnya sempurna, karena tidak ada satupun manusia yang sempurna, bukan? Saya masih dan akan terus menghadapi banyak masalah setiap harinya dan di masa mendatang. Itulah hidup. Saya tidak lagi mengharap pada Tuhan untuk tidak mengirimkan masalah dalam hidup (entah berapa kali doa semacam ini saya panjatkan saat terpuruk), melainkan saya mengharap untuk "diberi kekuatan" saat masalah menimpa. Sepertinya konsep pengharapan yang kedua ini jauh lebih positif efeknya.
Saya jadi ingat sebuah gambar yang waktu itu pernah berseliweran di grup WhatsApp dan media sosial, yaitu gambar di bawah ini:
![]() |
sumber: twitter.com |
Gambar di atas menggambarkan dua kondisi berbeda. Di sisi kanan, ada seekor serigala kecil yang jatuh terpuruk dengan satu anak panah tertancap di punggung. Ada tulisan "The old me" (aku yang dahulu) di atasnya. Lalu, di sebelah kiri, ada gambar seekor serigala yang lebih besar dan kuat. Dia terlihat berjuang berdiri, padahal anak panah yang menusuk punggungnya jauh lebih banyak daripada si serigala kecil. Ada tulisan "Me now" di atasnya, yang diartikan sebagai "Aku yang sekarang". Kedua serigala tersebut sama-sama tertusuk anak panah dan berdarah, namun yang membedakan adalah ukuran badan dan jumlah anak panah.
Sepintas, tidak adil tampaknya melihat dua penggambaran tersebut. Jelaslah si serigala kecil langsung jatuh terpuruk, karena dengan ukuran badan seperti itu, dia tidak mampu menahan gempuran anak panah, sehingga satu saja sudah membuatnya jatuh. Tapi ada satu hal yang menarik disini, yani tulisan di atas masing-masing serigala. Serigala kecil digambarkan sebagai sosok diri yang dahulu, yaitu kerdil dan mudah jatuh hanya dengan satu serangan, sementara sosok serigala besar, adalah penggambaran diri saat ini yang sudah lebih dewasa, lebih kuat dan matang, sehingga dengan serangan bertubi-tubi, meski tetap membuatnya berdarah, dirinya masih sanggup berjuang untuk berdiri.
Beberapa tahun lalu, saat pertama kali disodori gambar tersebut, saya tidak terlalu memedulikannya, malah iba dengan sosok serigala yang digambarkan berdarah-darah. Kini, penggambaran tersebut sungguh membuat saya tersenyum simpul. Saya mengagumi kekuatan si serigala besar, yang masih sanggup berdiri diserang banyak anak panah. Ini sejalan dengan apa yang sudah saya uraikan di atas. Masing-masing diri kita menghadapi masalah berbeda. Kalau gambar itu diperhatikan lebih seksama, terlihat bahwa semakin besar si serigala, semakin banyak anak panah yang menusuk.
Mari ibaratkan anak panah sebagai "masalah hidup". Dalam rentang waktu bertahun-tahun sejak remaja hingga dewasa, sudah berapa banyak anak panah yang kita terima? Apakah kita sanggup menangkisnya, atau malah jatuh tersungkur? Jika tersungkur, apakah kita akan berusaha bangkit berdiri lagi? Kalau kita kerap iri pada mereka-mereka yang tampil hebat dan seolah tidak memiliki masalah, mungkin bukan merekanya yang tidak tertimpa masalah, melainkan mereka sudah jauh lebih matang menghadapi semua masalah yang menimpa.
Atau lihat saja sosok kalian masing-masing di depan cermin. Apakah ada perubahan yang tampak dibandingkan dengan dua, lima atau sepuluh tahun lalu? Siapa tahu sosok kalian saat ini sudah jauh lebih dewasa dan matang setelah berhasil melalui banyak perjuangan di tahun-tahun sebelumnya. Bisa saja tidak ada orang lain yang mengetahui seberapa besar perjuangan kalian. Tidak apa, masih ada satu orang yang bisa mengapresiasi kalian, yakni diri kalian sendiri. Dialah yang terus bersama sepanjang waktu. Diri kalian yang dahulu patut berterima kasih kepada diri yang sekarang.
Nah, sekarang untuk semua yang masih berjuang menghadapi problematika apapun dalam hidup: apakah kita harus berkembang menjadi serigala besar yang sanggup menahan banyak serangan dan tetap berdiri kokoh, atau menghindari itu semua dan menjadi serigala kecil saja? Pilihan ada di tangan kalian. Yang pasti, permasalahan hidup akan selalu ada. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dengan bijak dan berani bertanggung jawab akan resiko yang muncul dari pilihan tersebut.
Kembali pandangi sosok diri kalian di depan cermin. Tersenyumlah padanya, kuatkan tekad dan bangkit untuk terus melangkah.
-Bayu-
Untuk menghasilkan penggalan kata demi kata dalam artikel di atas, saya mendengarkan lagu Taylor Swift yang berjudul "The Last Great American Dynasty" terus-menerus selama proses menulis. Lantunan musiknya membuat benak saya "tergelitik" untuk menemukan ide menulis dan menuangkannya ke dalam blog.
Penggalan lirik yang menarik:
![]() |
sumber: id.wikipedia.org |