Menjadi Diri yang Tetap Berjuang

sumber: pixabay.com

Hujan di Malam Hari dan Benak yang Kalut

Saya suka mendengarkan suara hujan.

Ada semacam aura menenangkan mendengarkan deru hujan, seolah alam menginginkan kita untuk berhenti sejenak dari rutinitas dan menikmati alunan suara yang turun dari langit. Khususnya saat hujan tersebut turun di malam hari, bertepatan dengan momen kita beristirahat. Rasanya ingin bergelung di sofa yang nyaman, ditemani selimut tebal dan secangkir minuman hangat. Sebuah kondisi ideal yang menjadi dasar pernyataan "kebahagiaan itu sederhana" atau "menikmati kebahagiaan bisa dimana saja dan kapan saja".

Ya, itu benar sekali, tapi tidak berlaku untuk saya beberapa bulan lalu.

Saat itu Selasa malam, sekitar pukul sepuluh. Saya sudah berada di rumah. Masih di awal minggu kerja, dan seperti yang dialami oleh para pekerja yang berjuang dengan problematika kantor masing-masing, malam itu benak saya dipenuhi dengan berbagai ketakutan terkait pekerjaan, menyambungkannya dengan kejadian masa lalu, masa kini, dan masa datang. Seolah saya memiliki mesin waktu di dalam benak yang dapat mengulang semuanya.

Bukan sebuah kegiatan yang menyenangkan, pastinya. Pada beberapa kesempatan sebelumnya, saya dapat mengatur gejolak pikiran ketakutan itu dan meredamnya perlahan, namun entah mengapa, malam itu saya tidak bisa melakukannya. Saya sedang didera beragam masalah terkait pekerjaan yang dapat mengancam keberlangsungan karir ke depan. Sebuah masalah serius yang, sayangnya, terus melekat di kepala.

Tiba-tiba, turunlah hujan. Awalnya gerimis, lalu lama kelamaan semakin deras. Sejenak saya terdiam dan mencoba menikmati suasana. Tidak bisa! Semenit kemudian benak saya kembali menampilkan kilasan kejadian-kejadian mengerikan terkait masalah pekerjaan. Saya mengambil napas dan menghembuskannya perlahan, mengulangi kegiatan tersebut selama beberapa kali hingga tenang. Cukup berhasil, namun tidak sepenuhnya.

Akhirnya saya memutuskan untuk tidur saja. Saya mencoba berbaring menyamping, menatap rak buku sembari mendengarkan deru hujan. Ah, terasa damai, namun masih kurang. Benak ini terus memainkan kilasan ketakutan. Perlahan mata saya menelusuri setiap sisi rak buku, melihat satu-persatu koleksi buku fisik yang saya punya. Pandangan saya jatuh pada deretan album CD musik yang saya jejer disana (karena tidak memiliki tempat khusus, koleksi album CD musik ditempatkan di rak buku). Ada satu yang menarik perhatian, yakni album "Folklore" karya Taylor Swift. Gambar sampulnya yang bernuansa kelabu terlihat muram.

Terlihat muram atau pikiran saya yang membuatnya muram? Begini tampilan sampul depan albumnya:

Gambar sampul depan album "Folklore" milik Taylor Swift
Sumber: id.wikipedia.org

Saya turun dari ranjang dan menghampiri rak, mengambil album tersebut. Setelah diperhatikan seksama, ada sentuhan estetika yang indah di situ. Konsepnya sederhana, Taylor berdiri di tengah hutan, di kanan kirinya pohon-pohon tinggi menjulang. Sosok Taylor sendiri ditampilkan dalam proporsi kecil, mengimbangi pesona ketinggian pohon yang ingin dipancarkan. Baru kali ini saya bisa menikmati keindahan gambar sampulnya. Jelas, pengambilan foto besutan Beth Garrabrant ini patut diapresiasi.

Setelah mempertimbangkan sejenak, saya memutuskan untuk mendengarkan isi albumnya. Tidak ada salahnya mendengarkan musik di malam hari, siapa tahu bisa membuat mood saya membaik. Musik di dalam album "Folklore" itu sendiri memang indah, cocok sekali dengan selera saya. Setelah berkarya dengan musik country dan pop di album-album sebelumnya, melalui "Folklore", Taylor merepresentasikan indie pop, folk dan alternative. Album yang disusun selama pandemi Covid-19 ini berhasil memenangkan kategori paling bergengsi di Grammy Awards ke-63 (dilaksanakan di tahun 2021), yaitu Album of The Year

Pencapaian tersebut sangat mengagumkan, mengingat Taylor menjadi wanita pertama yang berhasil memenangkan kategori tersebut sebanyak tiga kali, setelah memperolehnya lewat album "Fearless" (2010) yang bernapaskan country dan "1989" (2016) yang mengusung pop. Dalam sejarah Grammy Awards sampai artikel ini dirilis, hanya ada tiga musisi pria yang tercatat berhasil melakukannya, yaitu Frank Sinatra, Stevie Wonder dan Paul Simon. Mungkin di masa mendatang, akan ada musisi wanita lain yang berhasil memenangkannya tiga kali juga (bisa jadi Adele atau Billie Eilish), namun menjadi yang pertama tentu merupakan catatan manis bagi seorang Taylor Swift.

Malam itu, ditemani deru hujan, musik Taylor Swift mengalun menemani kekalutan pikiran saya. Entah kebetulan atau bagaimana, aura di album ini cocok sekali didengarkan saat hujan. Saya tidak melakukan hal lain, melainkan hanya duduk di tepi ranjang, mendengarkan musik sembari menyesapi lirik yang tertera di dalam kemasan albumnya.


The Marvelous Taylor Swift

Potret kebahagiaan Taylor Swift saat menerima piala Grammy Awards untuk kategori paling bergengsi, Album of The Year, melalui album "Folklore" (Grammy 2021)
sumber: grammy.com

Mendalami album "Folklore", mau tidak mau saya teringat perjalanan karir Taylor Swift di dunia musik. Dari luar mungkin pesonanya terlihat sempurna, namun sama seperti musisi besar dunia lainnya, untuk menjadi seseorang yang berhasil menancapkan sejarah di dunia musik, perjalanannya tidak mudah. Kesuksesan tidak diraih dengan cara yang instan, melainkan bergejolak. Meski di awal karirnya Taylor berhasil memperoleh banyak penghargaan bergengsi, banyak sekali jalan terjal yang harus dia lalui sampai saat ini, mulai dari hubungan asmaranya yang kompleks dengan banyak pria; kemelut yang melelahkan dengan artis wanita lain; korban interupsi dan sindiran Kanye West; hingga yang paling menghebohkan, saat rekaman master enam album pertamanya yang direkam di bawah naungan Big Machine Records, tidak mampu dimiliki Taylor. Artinya, meski Taylor yang menulis sendiri lagu-lagunya (atau berkolaborasi) di enam album tersebut, dia bukanlah pemiliknya. Saya tidak terlalu mengerti makna konsep kepemilikan ini dalam industri musik, tapi yang pasti, drama tersebut sungguh menggemparkan dan membingungkan, saling tuding antara pihak satu dengan yang lain, saling sindir dan klarifikasi melalui media sosial, hingga menyeret artis lain untuk ikut bersuara.

Fiuh. Mengingat sebuah permasalahan harus dilihat dari dua sisi, saya sendiri sampai tidak tahu pihak mana yang berkata benar. Yang pasti, seorang Taylor Swift tidak akan membiarkan ketidakadilan yang menimpa dirinya dibiarkan begitu saja. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek termasuk legalitas, dia mencanangkan sebuah proyek super ambisius yang mungkin tidak akan pernah terbayangkan dalam rencana awal karirnya, yakni merekam ulang enam album pertama. Bukan satu atau dua, tapi enam. Melelahkan? Pasti. Saya jadi membayangkan bagaimana rasanya jika harus menulis ulang enam artikel di blog ini. Mungkin saya akan menyerah. Itu baru sebatas artikel pribadi, tidak sekompleks menyusun sebuah album musik.

Kata "menyerah" sepertinya tidak ada dalam kamus Taylor Swift. Buktinya, hingga artikel ini dirilis, dia sudah berhasil mengeluarkan dua album rekaman ulangnya: "Fearless (Taylor's Version)" dan "Red (Taylor's Version)". Produktivitas Taylor dan profesionalitasnya dalam berkarya memang tidak main-main. Belum lagi pencapaian fantastisnya pada album kembar "Folklore" dan "Evermore" yang dirilis di tahun bersamaan. Kedua album tersebut mengusung jenis musik yang sama, seolah mendengarkan satu album yang dibelah dua. Ulasan positif pun mengalir lagi, setelah pada dua album sebelumnya, kualitasnya kurang menggigit. Oh ya, daya magisnya tidak berhenti disitu. Tidak tanggung-tanggung, kedua album tersebut dinominasikan sebagai Album of The Year di ajang Grammy Awards berturut-turut (tahun 2021 dan 2022), namun hanya "Folklore" yang berhasil memenangkannya.

Begitulah kisah singkatnya. Mungkin kalian sendiri sudah mengetahuinya, atau bahkan lebih paham detilnya daripada saya. Intinya, keteguhan hati Taylor dalam memperjuangkan mimpi dan karyanya sungguh luar biasa. Apa yang ditampilkan oleh media bisa jadi hanya permukaannya saja. Kita tidak tahu seberapa pelik permasalahan hidup yang dialaminya, hingga dia bisa menjadi salah satu musisi ternama di kancah internasional. Sebegitu kuatnya pengaruh Taylor Swift hingga saat dia menuangkan pandangan politiknya (yang tidak pernah dilakukan sebelumnya) terkait pemilu di Amerika Serikat tahun 2018 melalui akun Instagram, tercatat kenaikan pemilih yang memberikan hak suaranya setelah itu. Wow. The real influencer.


Setiap Diri Kita Berjuang dengan Caranya Masing-Masing

Malam itu, setelah pikiran ini berkelana mengingat sepak terjang karir Taylor Swift sembari mendengarkan musiknya, saya merenung. Entah itu Taylor Swift ataupun saya sendiri, nyatanya semua orang bergelut dengan masalah hidupnya masing-masing, dan menyelesaikannya dengan cara berbeda juga. Tidak ada yang memiliki resep sukses mengatasi satu permasalahan dalam hidup, mengingat begitu banyak variabel yang ada dalam sebuah masalah, mulai dari keluarga, diri sendiri, hingga lingkungan, dan riak yang mungkin ditimbulkannya. Satu permasalahan selalu berbeda dengan permasalahan lainnya, jadi rasanya tidak adil jika kita menyamaratakan semua orang memiliki satu masalah sama. Misal, jika si A sedang patah hati karena ditinggal pergi kekasih, tidak bisa disamakan dengan si B yang telah berhasil melaluinya. Meski terlihat sama, pasti ada variabel pembeda dalam kedua masalah tersebut.

Lagipula, definisi "masalah" itu sendiri sepertinya relatif, tergantung sudut pandang seseorang, yang tentu saja berkaitan dengan latar belakang pendidikan, wawasan nonformal, pengalaman masa lalu, hingga lingkungan tempat dia bernaung. Misal, di saat momen kritis, sebuah kemeja yang kancingnya copot tentu saja menjadi masalah ringan bagi seorang penjahit atau mereka yang mengetahui caranya, namun menjadi sebuah masalah besar untuk mereka yang tidak memiliki kapasitas peralatan dan ilmu memadai.

Hal ini menjadi menarik untuk dicermati tatkala sebuah permasalahan yang sama menimpa orang yang juga memiliki kecenderungan sudut pandang yang sama. Dua teknisi komputer mungkin akan berbeda menyikapi masalah yang menimpa sebuah perangkat komputer. Atau lihat saja kasus Taylor Swift yang saya tulis sebelumnya. Jika permasalahan perebutan hak master musik menimpa musisi lain, mungkin tidak banyak yang akan selantang Taylor.

Jadi, sudah jelas bahwa ada banyak variabel dalam suatu masalah yang menimpa hidup seseorang. Mungkin terlihat sama, namun kenyataannya tidak seperti itu. Jika kita lebih sering menghakimi atau meremehkan permasalahan orang lain dan membandingkannya dengan masalah kita sendiri, sebaiknya hentikan pikiran semacam itu. Ada terlalu banyak hal-hal yang mungkin saja tidak kita ketahui mengenai sesuatu yang menimpa orang tersebut.


Meski Sulit, Tidak Ada Salahnya Terus Mencoba Berjuang

Kembali ke permasalahan yang sedang saya alami malam itu. Setelah pikiran ini tenang mendengarkan musik Taylor Swift, saya mengambil kertas dan pena, mencoba melakukan hal yang sudah beberapa kali saya lakukan sebelumnya saat berada dalam posisi kalut: menuangkan semua keresahan saya ke selembar kertas. Saya memberi nomor untuk setiap keresahan yang berkecamuk di benak. Rata-rata ada empat keresahan setiap kali saya menuangkannya. Malam itu, saya mencatat lima.

Oke, hai kalian lima keresahan yang berputar-putar di benak, kini kalian sudah tidak abstrak lagi, melainkan sudah menjadi sebuah kalimat di atas kertas! Entah apakah ini efek afirmasi positif atau apa, biasanya setelah menuliskannya, saya akan menjadi lega, seolah beban berat terangkat dari pundak, padahal masalahnya sendiri belum selesai, masih harus dihadapi.

Setelah mengembalikan album Taylor Swift ke dalam rak, saya menyimpan kertas "masalah" ke dalam tas, dan bersiap untuk tidur. Ya sudahlah. Apa yang terjadi besok, maka terjadilah. Saya tidak akan kabur, melainkan mencoba menghadapinya sebisa mungkin.

Kalian tahu apa yang terjadi keesokan harinya? Setelah berjuang dengan segenap aktivitas di kantor, sore harinya saya membuka kertas "masalah" dan membacanya. Dari lima masalah yang tertulis, secara ajaibnya, empat sudah teratasi di hari itu tanpa kendala besar. Satu lagi memang belum selesai, tapi setidaknya efek yang ditimbulkannya sudah lebih dapat saya kendalikan, tidak lagi seliar sebelumnya. Bisa jadi, di malam sebelumnya, seluruh keresahan itu hanya efek pikiran saya yang membesar-besarkannya karena berpikir terlalu jauh.

Oya, saya juga mendapat pencerahan penting. Ternyata kelima masalah yang saya takutkan itu, masih lebih mudah saya lalui ketimbang masalah besar yang pernah menimpa saya di tahun 2019. Di penghujung tahun itu, saya benar-benar berada dalam kondisi terpuruk, menjalani hari demi hari dengan penuh kelelahan dan kebingungan. Perubahan situasi sangat tidak terduga dan terus-menerus memburuk. Tidak terhitung berapa kali saya mengalami fase burnout di kantor maupun di luar kantor saat itu, hingga tidur tidak tenang. Beberapa rekan kerja menggambarkan fase itu sebagai fase "Bayu yang marah-marah terus".

Hehe. Lucu juga jika mengingat-ingatnya, karena sejatinya, saya bukan tipe pemarah. Setelah masa-masa gelap itu, perlahan saya belajar mengendalikan emosi dan berusaha menjadi versi terbaik diri saya. Sulit sekali, namun ternyata sedikit demi sedikit tampak perubahan nyata. Tidak sepenuhnya sempurna, karena tidak ada satupun manusia yang sempurna, bukan? Saya masih dan akan terus menghadapi banyak masalah setiap harinya dan di masa mendatang. Itulah hidup. Saya tidak lagi mengharap pada Tuhan untuk tidak mengirimkan masalah dalam hidup (entah berapa kali doa semacam ini saya panjatkan saat terpuruk), melainkan saya mengharap untuk "diberi kekuatan" saat masalah menimpa. Sepertinya konsep pengharapan yang kedua ini jauh lebih positif efeknya.

Saya jadi ingat sebuah gambar yang waktu itu pernah berseliweran di grup WhatsApp dan media sosial, yaitu gambar di bawah ini:

sumber: twitter.com

Gambar di atas menggambarkan dua kondisi berbeda. Di sisi kanan, ada seekor serigala kecil yang jatuh terpuruk dengan satu anak panah tertancap di punggung. Ada tulisan "The old me" (aku yang dahulu) di atasnya. Lalu, di sebelah kiri, ada gambar seekor serigala yang lebih besar dan kuat. Dia terlihat berjuang berdiri, padahal anak panah yang menusuk punggungnya jauh lebih banyak daripada si serigala kecil. Ada tulisan "Me now" di atasnya, yang diartikan sebagai "Aku yang sekarang". Kedua serigala tersebut sama-sama tertusuk anak panah dan berdarah, namun yang membedakan adalah ukuran badan dan jumlah anak panah.

Sepintas, tidak adil tampaknya melihat dua penggambaran tersebut. Jelaslah si serigala kecil langsung jatuh terpuruk, karena dengan ukuran badan seperti itu, dia tidak mampu menahan gempuran anak panah, sehingga satu saja sudah membuatnya jatuh. Tapi ada satu hal yang menarik disini, yani tulisan di atas masing-masing serigala. Serigala kecil digambarkan sebagai sosok diri yang dahulu, yaitu kerdil dan mudah jatuh hanya dengan satu serangan, sementara sosok serigala besar, adalah penggambaran diri saat ini yang sudah lebih dewasa, lebih kuat dan matang, sehingga dengan serangan bertubi-tubi, meski tetap membuatnya berdarah, dirinya masih sanggup berjuang untuk berdiri.

Beberapa tahun lalu, saat pertama kali disodori gambar tersebut, saya tidak terlalu memedulikannya, malah iba dengan sosok serigala yang digambarkan berdarah-darah. Kini, penggambaran tersebut sungguh membuat saya tersenyum simpul. Saya mengagumi kekuatan si serigala besar, yang masih sanggup berdiri diserang banyak anak panah. Ini sejalan dengan apa yang sudah saya uraikan di atas. Masing-masing diri kita menghadapi masalah berbeda. Kalau gambar itu diperhatikan lebih seksama, terlihat bahwa semakin besar si serigala, semakin banyak anak panah yang menusuk.

Mari ibaratkan anak panah sebagai "masalah hidup". Dalam rentang waktu bertahun-tahun sejak remaja hingga dewasa, sudah berapa banyak anak panah yang kita terima? Apakah kita sanggup menangkisnya, atau malah jatuh tersungkur? Jika tersungkur, apakah kita akan berusaha bangkit berdiri lagi? Kalau kita kerap iri pada mereka-mereka yang tampil hebat dan seolah tidak memiliki masalah, mungkin bukan merekanya yang tidak tertimpa masalah, melainkan mereka sudah jauh lebih matang menghadapi semua masalah yang menimpa.

Atau lihat saja sosok kalian masing-masing di depan cermin. Apakah ada perubahan yang tampak dibandingkan dengan dua, lima atau sepuluh tahun lalu? Siapa tahu sosok kalian saat ini sudah jauh lebih dewasa dan matang setelah berhasil melalui banyak perjuangan di tahun-tahun sebelumnya. Bisa saja tidak ada orang lain yang mengetahui seberapa besar perjuangan kalian. Tidak apa, masih ada satu orang yang bisa mengapresiasi kalian, yakni diri kalian sendiri. Dialah yang terus bersama sepanjang waktu. Diri kalian yang dahulu patut berterima kasih kepada diri yang sekarang.

Nah, sekarang untuk semua yang masih berjuang menghadapi problematika apapun dalam hidup: apakah kita harus berkembang menjadi serigala besar yang sanggup menahan banyak serangan dan tetap berdiri kokoh, atau menghindari itu semua dan menjadi serigala kecil saja? Pilihan ada di tangan kalian. Yang pasti, permasalahan hidup akan selalu ada. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dengan bijak dan berani bertanggung jawab akan resiko yang muncul dari pilihan tersebut.

Kembali pandangi sosok diri kalian di depan cermin. Tersenyumlah padanya, kuatkan tekad dan bangkit untuk terus melangkah.

-Bayu-


Catatan khusus selama proses menulis:

Untuk menghasilkan penggalan kata demi kata dalam artikel di atas, saya mendengarkan lagu Taylor Swift yang berjudul "The Last Great American Dynasty" terus-menerus selama proses menulis. Lantunan musiknya membuat benak saya "tergelitik" untuk menemukan ide menulis dan menuangkannya ke dalam blog. 


Penggalan lirik yang menarik:
"I had a marvelous time ruinin' everything"

sumber: id.wikipedia.org






READ MORE - Menjadi Diri yang Tetap Berjuang

Secangkir Teh Hangat, Hujan dan Kegiatan yang Tidak Direncanakan

sumber: unsplash.com

                       

Rencana di Pagi Hari yang Berakhir dengan Kudapan Manis


Oke, baiklah. Judul artikel ini terkesan asal menggabungkan kata demi kata, tapi sebenernya ada kisah tersendiri di baliknya.

Jadi begini. Kejadiannya terjadi di akhir tahun 2021, bermula dari sebuah aksi korporasi yang dilakukan oleh sebuah bank berprinsip syariah, yaitu menggabungkan beberapa bank berprinsip sama menjadi satu kesatuan dan nama baru. Kalian mungkin tahu bank apa yang saya maksud.

Singkat cerita, efek dari aksi korporasi tersebut membuat saya harus melakukan perpindahan atau istilahnya "migrasi" rekening dari bank lama ke rekening bank baru tersebut. Saya sudah melakukannya via online, namun entah mengapa, aplikasi m-banking saya mengalami masalah log in. Setelah menelepon pihak call centre beberapa kali, akhirnya saya malah disarankan untuk mendatangi langsung cabang terdekat jaringan bank tersebut, sekalian mengganti kartu ATM dan buku tabungan.

Merasa harus mempertahankan rekening ini demi alasan tertentu (fasilitas yang mereka tawarkan sungguh menarik), saya pun mengalokasikan satu hari khusus untuk mengurus administrasinya. Tidak satu hari penuh sih sebenarnya, hanya sekitar lima belas sampai dua puluh menit saja, tapi mengingat antrian dan tuntutan pekerjaan yang sulit ditinggal, saya harus jeli memanfaatkan waktu. Akhirnya saya menemukan celah di hari Jumat. Pagi hari adalah waktu yang cocok, karena masih segar dan kebetulan semua tumpukan pekerjaan yang bertenggat waktu sempit sudah saya selesaikan beberapa hari sebelumnya.

Apa daya, ternyata saya datang terlalu pagi! Entahlah, mungkin saya yang terlalu antusias atau kantor cabang bank ini tidak menerapkan waktu buka yang sama seperti bank-bank lain. Apapun itu, masih ada waktu setengah jam lagi sebelum kantor cabang tersebut beroperasi. Merasa tidak ada gunanya menunggu di area tersebut (tidak ada kursi atau penampakan tempat yang layak dijadikan tempat menunggu), saya memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar, sembari menikmati suasana pagi.

Setelah menelusuri jalan selama kurang lebih lima menit, mata saya menangkap sebuah logo kafe yang menawarkan minuman dan makanan manis. Wah, kebetulan sekali. Meski sepi, untungnya bangunan itu sudah beroperasi normal. Begitu pintu menggeser terbuka di hadapan saya, tercium aroma roti manis dan kudapan lain yang seketika membuat air liur menetes. Saya jarang mengkonsumsi makanan atau minuman manis di pagi hari, namun saat ini, rasanya itu hal terbaik yang bisa saya lakukan untuk menghabiskan waktu.

Perlahan, saya mendekati kasir. Papan menu yang terpampang di belakang memperlihatkan deretan minuman olahan yang kesemuanya berteriak, "Gula!" "Kafein!" di dalam kandungannya. Mata saya tertumbuk pada satu baris menu yang cukup menenteramkan: teh hangat, atau istilah yang tertera disana adalah hot tea (mungkin bagi kafe ini, menggunakan menu dalam bahasa Inggris jauh lebih terlihat menarik ketimbang bahasa Indonesia).

Hm, teh hangat ya? Terlalu standar sepertinya, tapi saya tidak butuh asupan macam-macam pagi ini. Meski teh juga mengandung kafein, tapi setidaknya lebih rendah daripada kopi. Perut saya sudah diisi sarapan mengenyangkan sejak dari rumah. Rasanya tambahan secangkir teh hangat dan sebuah roti sudah cukup.

Setelah membayar, saya memilih lokasi duduk di sudut kafe. Posisi saya sengaja menghadap pintu masuk, karena saya ingin menikmati kegiatan sederhana, gratis dan menyenangkan, yaitu mengamati orang yang lalu-lalang di trotoar. Pagi itu terlihat beberapa karyawan kantor yang sedang tergesa-gesa berjalan menuju kantornya, atau sekelompok remaja yang bersenda gurau sembari berjalan pelan. Banyak sekali karakter yang saya amati pagi itu, dan benak saya selalu berimajinasi membayangkan apa yang sedang mereka lakukan, pikirkan, dan semacamnya. Ini sudah menjadi kebiasaan sejak dulu saat mengamati orang yang berlalu-lalang.

Tanpa terasa, setengah jam sudah berlalu. Teh hangat dan roti yang saya pesan juga tinggal menyisakan remah. Ah, padahal saya masih ingin menikmati kegiatan ini. Ketika keluar dari tempat itu dan menuju lokasi bank, mau tidak mau saya tersenyum simpul, membayangkan betapa mudahnya rencana yang sudah disusun dari awal, malah berakhir dengan kudapan manis.

Apakah hal spontan dan menyenangkan seperti ini bisa terjadi lagi? 

sumber: unsplash.com

 

Kegiatan yang Menyimpang dari Rencana Terkadang Justru Lebih Menyenangkan

Jika diingat-ingat, dari seluruh kegiatan yang saya rencanakan dengan matang di awal, tidak semuanya berakhir sesuai dugaan. Ada saja yang tidak berakhir dengan baik, menimbulkan masalah baru, atau malah tidak terlaksana sama sekali. Ini berlaku untuk rencana yang sederhana hingga yang rumit.

Bukan berarti saya selalu gagal. Ada saja momen dimana saya harus melakukan penyesuaian ulang di tengah jalan terhadap kegiatan yang sudah disusun secara rapi. Misal, saya sudah merencanakan untuk pergi ke pusat perbelanjaaan membeli sesuatu barang, namun terkadang timbul masalah di sisi transportasi, di lokasi, di tempat makan, dan sebagainya. Masalah sederhana sih, tapi tetap saja di luar dugaan. Jika kondisi emosi sedang tidak stabil, hal-hal kecil semacam itu justru bisa menimbulkan amarah.

Padahal, kalau dipikir secara mendalam, tidak ada satu manusia pun yang bisa meramal persis masa depan. Artinya, kita tidak akan tahu apa yang terjadi dalam satu menit, satu jam, satu hari atau satu tahun dari sekarang. Bahkan, kita juga tidak tahu akan menjadi seperti apa diri kita di masa mendatang.

Lalu, apakah itu membuat kita lantas berpangku tangan begitu saja dan membiarkan hidup mengambil alih kendali? Tidak, lebih tepatnya adalah kita sebaiknya mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, namun persiapkan mental kita untuk mendapatkan kejutan tidak terduga di tengah jalan. Jika mental kita tidak siap, saya yakin sekecil apapun penyimpangan yang muncul, bisa berakibat fatal. Misal kita tahu bahwa banyak tempat makan akan dipadati pengunjung saat mendekati jam makan siang, namun karena tidak mempersiapkan diri menghadapi ini dan berakibat kita tidak jadi makan di tempat yang diinginkan, kita malah melampiaskan emosi ke hal-hal yang tidak semestinya.

Masih banyak contoh lain. Saya yakin kalian sendiri pasti pernah mengalaminya. Tapi tidak semua penyimpangan tersebut negatif. Ada kalanya positif, sama seperti yang saya alami di kisah pembuka. Atau itu hanya keberuntungan semata? Entahlah. Bicara mengenai keberuntungan, saya jadi ingat buku "Time Smart" karangan Ashley Willans. Buku itu berisikan banyak teori-teori menarik mengenai waktu dan bagaimana cara kita memaksimalkannya.

Di buku tersebut, ada satu penggalan bab yang menarik mengenai waktu luang dan keberuntungan. Ashley mengatakan bahwa "Jika kita terikat terlalu ketat terhadap rencana, kita bisa saja kehilangan kesempatan untuk menciptakan keberuntungan kita sendiri. Richard Wiseman, profesor psikologi di Universitas Hertfordshire, menemukan bahwa salah satu faktor yang membedakan antara orang yang tidak beruntung dengan yang beruntung adalah mereka yang beruntung, bersedia melakukan penyimpangan dari rutinitas mereka dan tetap terbuka atas segala kemungkinan yang bakal terjadi. Saat penelitian ini semakin berkembang, didapat hasil bahwa saat kita bersedia menyisihkan waktu dalam hidup untuk hal-hal di luar rencana, kemungkinan besar akan menuaikan hasil yang bermanfaat."

Saya tidak tahu prosedur apa yang digunakan Profesor Wiseman dalam penelitiannya terhadap hal ini, tapi dari kalimat yang ditulis Ashley Willans di buku tersebut, ada kesimpulan menarik yang bisa diambil, yaitu jika kita bersedia menyisihkan waktu untuk hal-hal di luar rencana dan terbuka atas segala kemungkinan yang terjadi, siapa tahu akan ada manfaat yang diperoleh. Ini sejalan dengan yang saya alami di kisah pembuka. Saat itu saya benar-benar membiarkan segala opsi terbuka, dengan memilih untuk berjalan-jalan santai menyusuri jalan hingga menemukan sebuah kafe dan melakukan kegiatan yang saya anggap menyenangkan.

Tidak hanya sekali dua kali kesempatan, tapi semakin diingat, semakin saya mendapati sebuah temuan menarik. Ada kalanya saat saya merencanakan pergi makan di luar bersama beberapa orang di satu waktu, malah tidak jadi sama sekali. Berbeda jika saya secara spontan mengajak mereka di saat itu juga (dengan situasi dan kondisi yang mendukung tentunya), biasanya justru terlaksana.

Hm, mungkin kegiatan spontan ini bisa saya terapkan juga di waktu lain.


Secangkir Teh Hangat: Bagian Dua

Setelah kejadian menyenangkan yang saya alami di kafe itu, saya jadi terus membayangkan suatu hari akan kembali ke sana untuk menuntaskan kegiatan mengamati orang berlalu-lalang yang sempat tertunda. Kebetulan beberapa bulan yang lalu saya sedang mencari sebuah barang dan lokasinya tidak jauh dari kafe tersebut. Tepat sekali. Di benak ini sudah terbayang rasanya menikmati suguhan secangkir teh hangat lagi, mungkin kali ini saya akan mencoba menu lain untuk makanannya. Bagaimana lokasi tempat duduknya ya? Semoga saja saya mendapat tempat duduk yang waktu itu. Kalaupun tidak, masih ada deretan lain yang mengarah ke atah trotoar, jadi masih banyak pilihan. Oke sekarang tinggal menentukan waktunya. Kalau waktu itu pagi hari, kali ini saya akan mencoba datang saat sore. Menikmati senja dengan tenang di salah satu sudut kota Jakarta pastilah menyenangkan.

Persiapan lengkap sudah. Saya bahkan membawa laptop dan sebuah buku catatan. Saya berniat mencatat hal-hal yang menyenangkan di tempat tersebut, membaca buku sembari mendengarkan lagu favorit atau membaca artikel menarik di kanal media online

Kafe itu masih sama seperti terakhir kali saya masuki. Ini bukan jenis kafe gerai internasional terkenal yang sering dijadikan tempat berkumpul orang-orang itu. Bukan. Ini hanya sebuah tempat makan yang sederhana, menyajikan makanan dan minuman ringan, namun penataan tempatnya menyenangkan. Untungnya, sore itu kondisi kafe tidak terlalu ramai. Meja yang saya incar masih kosong. Setelah membayar makanan dan minuman di kasir, saya kembali ke meja untuk menikmatinya.


sumber: hipwee.com

Betapa terkejutnya saya saat beberapa menit kemudian, hujan turun cukup deras. Memang kondisi cuaca sulit diprediksi saat itu, tapi saya mengira hujan akan turun di malam hari. Hujan membuat trotoar menjadi sepi dari pejalan kaki karena mereka semua berteduh di suatu tempat, tidak berani meneruskan perjalanan di tengah hujan deras. Pemandangan yang tampak di depan saya hanya air hujan yang turun deras dari langit.

Hmh, pupus sudah rencana saya menikmati senja yang menyenangkan. Saya menyeruput teh dan menikmati kehangatannya menjalar ke seluruh badan. Saya mencoba menutup mata dan mendengarkan deru hujan tanpa melihatnya. Mungkin jika ada yang melihat posisi saya saat itu, akan mengira saya tidur sembari duduk, tapi sebenarnya saya sedang meresapi gemuruh hujan di telinga.

Saya pernah membaca suatu artikel yang menyatakan bahwa suara hujan dengan ritme tetapnya, dapat membuat pikiran menjadi rileks. Sepertinya itu yang terjadi pada saya. Suara hujan itu terasa menenangkan. Saat membuka mata kembali, saya melihat sudut kota Jakarta dengan pandangan lain. Bukan lagi kota yang sedang terguyur hujan, melainkan kota yang sedang melakukan "pembersihan". Kota yang terbangun dari tidur dan bersiap menyambut kelahiran baru setelah "dibersihkan" oleh hujan.

Entah kenapa, pikiran itu terasa menyenangkan. Saya mengalihkan padangan ke sekeliling kafe dan mendapati beberapa orang sedang terlibat percakapan intens. Ada sebuah keluarga yang terlihat bahagia, tertawa-tawa menceritakan lelucon. Ada juga pasangan yang tampak tidak peduli satu sama lain, hanya memainkan ponsel masing-masing. Di sudut kafe, ada seorang pria paruh baya yang sedang menelepon dengan nada marah-marah, entah apa yang membuat dia kesal. Di sudut satunya, ada seorang ibu dan anaknya yang masih kecil, tampak menikmati hujan di luar sembari menyesap minuman hangat. Di belakang konter, kasir terlihat bosan, sementara rekan kerjanya sedang mengerjakan sesuatu di bagian etalase makanan.

Kenapa saya harus kecewa mendapati hujan turun sementara hujanlah pembawa berkah. Kenapa saya harus kecewa tidak ada orang-orang yang berlalu lalang di trotoar sementara di kafe ini, ada beberapa orang dengan karakternya masing-masing. Akhirnya saya membuka buku catatan dan menulis setiap orang yang saya lihat di dalam kafe, berikut imajinasi mengenai apa kiranya yang sedang mereka lakukan. Mungkin ini terdengar aneh, tapi saya menikmatinya. Saya mulai membayangkan adegan dalam sebuah film, menggabungkan satu karakter dengan karakter lain, dan tanpa terasa saya sudah menuliskan sebuah draft cerita pendek. Mungkin dapat dikembangkan menjadi ide lain.

Ide?

Tiba-tiba saya tersadar. Kenapa tidak saya tuangkan saja menjadi artikel di blog? Sudah sedemikian lamanya saya berhenti dari kegiatan menulis, dan malah tidak menganggap bahwa kesempatan berharga ini dapat dijadikan peluang untuk menelurkan artikel terbaru. Lagipula, saya kan sedang membawa laptop! Kenapa tidak dimanfaatkan?

Segera saja saya membuka laman blogger dan tertegun melihat fakta bahwa artikel terakhir yang saya publikasikan, adalah di Agustus 2020. Sudah lebih dari satu setengah tahun. Uniknya, artikel itu berjudul "Pantas Saja Saya Selalu Kembali Menengok Blog Ini" dan kini, saya kembali menengoknya. Hehe. 

Setelah membaca ulang beberapa artikel di blog untuk mendapatkan mood menulis dan gaya bercerita yang saya susun, saya langsung membuka daftar lagu di laptop dan mencari pilihan yang cocok untuk didengarkan selama proses menulis (ini sudah menjadi kebiasaan lama yang sulit dilepaskan, justru menjadi bagian tak terpisahkan dalam kegiatan menulis itu sendiri). Setelah saya meresap atmosfer yang didapat dari lagu, jemari saya bergerak perlahan di atas keyboard, mulai menyusun huruf demi huruf. Awalnya canggung sekali, namun lama-lama huruf membentuk kata, kata membentuk kalimat, kalimat membentuk paragraf, dan draft awal pun tersusun. Butuh waktu dan persiapan mental untuk proses penyuntingan (beberapa bulan, ehem), hingga akhirnya saya memberanikan diri untuk merilisnya di blog.

Well, sebuah rencana yang tersusun rapi jauh-jauh hari, tanpa niat sama sekali terkait dunia tulis-menulis, justru berakhir dengan sebuah tulisan di blog. Saya jadi berpikir, apakah jika hujan tidak turun dan saya tidak membawa laptop, akankah saya masih tertarik untuk menulis? Bagaimana jika rencana awal justru benar-benar terjadi? Apakah blog ini masih akan terbengkalai?

Entahlah. Saya tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Saya bersyukur hujan membawa berkah tersendiri, yaitu membuka pikiran saya bahwa ada begitu banyak kegiatan lain yang bisa dilakukan saat rencana awal tidak terlaksana. 

Oya, tentu saja ditambah bantuan secangkir teh hangat.

-Bayu-


Catatan khusus selama proses menulis:

Saat membutuhkan musik untuk membantu ide menulis agar lebih lancar, saya berhasil mengulik-ulik daftar lagu dan menemukan satu yang menenangkan pikiran, yakni dari duo musisi asal Norwegia, Royksopp, yang berjudul "Remind Me. Ah, musik ini sungguh membawa nuansa khusus. Saya mendengarkannya terus selama menulis artikel di atas. Terima kasih Royksopp, karya kalian menyelamatkan mood saya.


Penggalan lirik yang menarik:
"And everywhere i go
There's always something to remind me
Of another place and time
Where love had traveled far and found me"

sumber:
sumber: en.wikipedia.org








READ MORE - Secangkir Teh Hangat, Hujan dan Kegiatan yang Tidak Direncanakan
 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.