![]() |
sumber gambar: pickclick.com.au |
Ekspektasi yang Melambung Tinggi untuk Film "Midsommar"
"Sutradara Ari Aster ngeluarin film baru? Thriller??!!"
"Coba baca sinopsisnya dulu..."
"Wah, reviewnya oke!!!"
Itu adalah penggalan dialog yang terjadi di dalam kepala saya, sejak info penayangan film berjudul "Midsommar" terpampang di berbagai media. Menyandang label thriller, sepaket dengan nama sutradara & penulis naskah Ari Aster (sang jenius di balik film horor "Hereditary"), otak saya tidak mampu lagi menampung gejolak eskpektasi.
![]() |
sumber gambar: amazon.com |
Kalau bisa berteriak, mungkin itu yang akan saya teriakkan lantang. Namun, saya mencoba tenang dan bersabar. Benar-benar bersabar karena nyatanya, bulan Agustus yang sempat dijadwalkan menjadi bulan penayangan bergeser menjadi September, setelah melalui proses "penyesuaian" di Lembaga Sensor Film (LSF). Entah bagian mana yang mereka sensor.
Jadi, begitu filmnya resmi tayang di Indonesia, keinginan yang sudah menggebu-gebu ini langsung terlampiaskan. Tiket sudah di tangan, jadwal sudah dikosongkan (sebisa mungkin tidak ada urusan mendadak) dan bergerak mantap menuju lokasi studio bioskop untuk menikmati sajiannya.
------------------------------------------- ENG ING ENG--------------------------------------------------
Apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Oke, bagi kalian yang belum mengenal saya, perlu diketahui bahwa saya adalah pecinta film horor/thriller/gore dan semacamnya. Genre itu pula yang menjadi penyelamat mood kala jatuh. Genre itu yang selalu mampu menghembuskan semangat menonton, mengalirkan adrenalin deras kala adegan jump scare atau kisah yang mengerikan.
Sebelum menonton "Midsommar", saya sudah membayangkan adegan thriller yang mencekam dan semacamnya. Hati saya sudah terpikat saat mengetahui film ini mengenai sekelompok orang yang pergi menikmati perayaan musim panas di Swedia, dan perjalanan yang dianggap mulus berubah menjadi mimpi buruk. Alur yang normal untuk sebuah film thriller, bukan?
Well...
Bagi otak seorang Ari Aster, alurnya tidak sesederhana itu. Kali ini dia membawa penonton ke atmosfer thriller dalam artian... lain. Sebuah sajian yang cukup absurd dan bercita rasa seni. Ya, ini film thriller penuh penjiwaan seni. Sinematografinya brilian, begitu pula naskahnya. Pengeksekusian misterinya tidak mengikuti pakem film sejenis yang banyak beredar di pasar (Ari Aster sebelumnya sudah bermain dengan eksekusi absurd semacam ini di "Hereditary").
Filmnya memang bagus dalam artian tertentu, tapi... tapi saya menginginkan adrenalin deras! Dan saya tidak mendapatkannya di film ini. Itulah sebabnya saya cukup termenung sejenak saat credit title bergulir di akhir film. "What The F***?!" adalah makian singkat yang tercetus di benak, dalam dua hal:
* WTF untuk naskah dan sinematografi
* WTF untuk eksekusi thriller-nya
Oke. Ari Ester, kau memang "gila". Otakmu mungkin dijejali beragam jenis logika absurd saat tumbuh dewasa. Entah gabungan referensi apa yang ditontonmu bertahun-tahun hingga mampu menghasilkan sajian sekelas "Midsommar" ini. Bukan jenis film thriller biasa. Punya kelasnya sendiri. Bravo! Tapi tetap saja... kau tidak mampu membuat saya nyaris berhenti bernapas, sensasi yang saya cari saat menonton film seram. Jantung ini tidak berdebar-debar ngeri. Saya cukup kecewa. Justru otak saya yang hancur lebur mencerna serbuan "ide absurd nan jenius" milikmu!
Atau tunggu dulu. Jangan-jangan ini akibat sensor LSF sehingga saya tidak bisa menikmati "Midsommar" dalam sajian polosnya? Hm... ya, bisa jadi demikian. Saya membaca info bahwa adegan yang dipotong bisa mencapai durasi sembilan menit. Ha?! Oke, tampaknya saya harus menonton film "Midsommar" dalam versi lengkapnya, agar bisa mendapat persepsi berbeda.
Ekspektasi awal: Lezat dan menggigit
Hasil akhir: Asam, asin, manis dan pahit. Lezat yang aneh. Menggigit pelan.
Ekspektasi yang Rendah untuk Film "Tully"
Nah, sekarang coba kalian perhatikan poster film "Tully" di bawah ini:
![]() |
sumber gambar: amazon.com |
Oke. Sebelum menonton film "Tully", saya tidak tahu bagaimana posternya, termasuk alur seperti apa yang akan disajikan. Yang saya tahu, film ini bercerita mengenai seorang ibu yang menghadapi kelahiran anak ketiganya, dan bagaimana dia berjuang dengan sindrom pasca melahirkan. Oya, saya tahu mengenai film ini dari riuh penghargaan Golden Globe di awal tahun 2019, dimana sang aktris utama, Charlize Theron, memperoleh nominasi "Best Performance by an Actress in Motion Picture - Musical or Comedy". Meski tidak menang dan bahkan tidak masuk dalam radar nominasi juri Oscar, kemunculan Charlize Theron dalam sebuah film terbaru membuat saya penasaran.
Charlize Theron termasuk salah satu aktris favorit saya. Dia dapat bermain dalam film genre apa saja dan menghidupkan karakter tipe apa saja, mulai dari politikus handal di "Long Shot", wanita badass nan keren di "Mad Max: Fury Road" (wah perannya sungguh keren di film ini!), hingga peran antagonis dingin dan keji di "Prometheus" dan masih banyak lagi. Oh, jangan lupakan pula peran fenomenalnya di film "Monster", dimana dia memperoleh piala Oscar untuk Aktris Terbaik di tahun 2004.
Jika "Midsommar" membuat saya penasaran karena faktor sutradara dan penulis naskah, maka "Tully" lebih ke faktor pemeran utamanya. Saat mengetahui sinopsis filmnya mengenai drama keluarga ibu dan anak, saya tidak memasang ekspektasi tinggi. Terlampau rendah malah. Pikir saya saat itu: "Ah, mari biarkan otak santai sejenak, relaks menonton tanpa harapan apapun. Nikmati saja peran Charlize Theron." Bukan mendiskriminasikan genre drama keluarga, namun memang otak saya tidak bisa diajak kompromi berekspektasi tinggi. Lagipula, filmnya diputar di salah satu kanal televisi berbayar, jadi cukup matikan saja jika alurnya ternyata membosankan. Hehe.
------------------------------------------- ENG ING ENG---------------------------------------------------
Saya terpukau. Diablo Cody, sang penulis naskah, tahu benar memanfaatkan drama seputar sindrom pasca melahirkan. Setelah ditelisik lebih lanjut, Diablo Cody sebelumnya pernah menangani naskah film "Juno" yang mengantarkannya mendapat piala Oscar. Luar biasa.
Film "Tully" jelas bukan sekedar drama picisan. Kita akan diperkenalkan pada sang karakter utama, Marlo (Charlize Theron), yang tampak kewalahan menghadapi status barunya sebagai ibu tiga anak. Merasa tidak mampu mengurus semua hal, dia menyewa seorang pengasuh. Tugasnya adalah menggantikan peran Marlo di malam hari, hanya itu. Jika bayinya menangis, maka si pengasuh akan membawakannya ke Marlo untuk segera disusui. Sisanya, Marlo dapat beristirahat dengan nyenyak. Pengasuh itu bernama Tully, seorang gadis muda yang mengingatkan Marlo akan dirinya di masa muda.
Tidak hanya mengasuh bayi di malam hari, Tully juga memberikan jasa membereskan rumah dan membuat kue. Marlo benar-benar terbantu dengan kehadirannya. Hidup Marlo perlahan kembali ke jalur yang benar. Tidak ada lagi stres. Tully pun merupakan seorang teman bicara yang menarik. Mereka berdua kerap berbincang santai tentang bermacam hal.
Lalala. Life goes on. Sekilas memang tampak seperti drama biasa. Saya pikir klimaksnya tertebak, namun ternyata paruh akhir cerita menyimpan alur yang sama sekali tidak disangka! Begitu klimaks terungkap, saya terhenyak, dan kembali mengumpat pelan: "What The F***?!" Diri saya bagai dialiri semacam pemahaman baru, dan itu adalah perasaan yang didapat jika kita menonton film berkualitas.
Sungguh sebuah karya indah dari sutradara Jason Reitman dan penulis naskah Diablo Cody. Saya sama sekali tidak menyangka "Tully" akan disajikan demikian. Tanpa sadar, saya menyunggingkan senyum bahagia.
Ekspektasi awal: Ringan. Hambar. Manis seperti permen lolipop.
Hasil akhir: Kejutan. Indah. Berkualitas. Lezat seperti semangkuk es krim Haagen-Dasz.
Hasil akhir: Kejutan. Indah. Berkualitas. Lezat seperti semangkuk es krim Haagen-Dasz.
![]() |
sumber gambar: oliviadecor.com |
Dua contoh film di atas tepat menggambarkan apa yang sering kita alami dalam hidup, bukan? Saya yakin tidak ada satu orang pun di dunia ini yang mampu menebak akan seperti apa tepatnya perjalanan hidup ke depan. Apakah saya sendiri masih akan hidup di dunia ini sepuluh tahun ke depan? Saya tidak tahu.
Entah sudah berapa banyak pikiran buruk yang terlintas dalam benak saya setiap harinya, hanya untuk menghadapi hasil bahwa kenyataannya tidak demikian buruk kok. Ekspektasi buruk pada aktivitas A ternyata menghasilkan hasil positif B dan sebaliknya. Tapi saya tidak pernah jera. Selalu saja memikirkan hal-hal buruk yang BELUM terjadi. Susah sekali mengatur pikiran saya ini untuk santai dan menikmati gejolak hidup demikian adanya.
Baru-baru ini saya membaca sebuah buku bagus berjudul "Seni Hidup Bersahaja" karangan Shunmyo Masuno, seorang pendeta utama di kuil Buddhis Zen di Jepang. Di bab 87 (halaman 180) yang berjudul "Menerima Realitas Apa Adanya", tertulis sebagai berikut:
Kita tidak bisa mengubah apa yang terjadi dalam hidup, tetapi kita berdaya untuk memutuskan bagaimana kita akan menghadapi apa yang terjadi. Ini adalah soal menyiapkan diri. Artinya, soal menerima realitas apa adanya.
Lihatlah segalanya apa adanya. Terimalah segalanya apa adanya. Mungkin ini terdengar seperti menyerah, tetapi sebenarnya justru sebaliknya.
Entah sudah berapa kali saya terpuruk hanya karena ekspektasi akan suatu hal yang terlampau tinggi. Sedemikian tingginya sampai saya tidak sadar telah memasang target muluk. Banyak orang yang bilang bahwa target tinggi itu bagus demi kemajuan hidup, namun jika realitas tidak sesuai ekspektasi, apakah semua orang sudah menyiapkan mental untuk menerima hal tersebut? Jika belum siap, saya tidak heran banyak orang yang stres. Cukup ironis bahwa sebagian besar permasalahan hidup berakar pada produk pikiran kita sendiri, bukan?
Hell yeah. Beginilah kenyataan hidup. Silahkan diterima atau tidak.
Ah, saya tidak ingin terlampau banyak mengoceh. Kalian semua adalah pembaca yang sudah dewasa dan matang dalam berpikir. Rencana awal saya hanya ingin menulis mengenai film "Midsommar" kok, namun malah melantur ke hal lain. Hehe. Jujur, saya hanya ingin melatih kembali jemari ini bergerak untuk menulis di blog, yang entah sudah berapa lama saya tinggalkan (penyakit inkonsistensi yang selalu hinggap). Cukup canggung juga mencoba menulis, namun setelah berkali-kali dipaksa mengetik, alhamdulillah polanya muncul perlahan-lahan, meski proses mengeditnya terbilang melelahkan.
Well, kita sampai pada bagian akhir. Nah lho, kenapa saya jadi bingung untuk mengakhirinya ya? Haha. Bagi kalian yang tergerak untuk meninggalkan komentar di artikel ini atau artikel-artikel sebelumnya, baik itu bloger lama yang sudah saya kenal atau pengunjung baru, terima kasih banyak sudah meluangkan waktu untuk bertukar pikiran. Saya apresiasi dan membaca semua satu persatu, meski tidak langsung dibalas.
Sampai jumpa di artikel berikutnya.
-Bayu-
Catatan selama proses menulis:
Saya mendengarkan lagu Noah yang berjudul "Mendekati Lugu" (diambil dari album Keterkaitan Keterikatan) selama proses menulis artikel. Masih terkait dengan tema "ekspektasi", saya tidak menyangka album Noah yang terbaru akan menyajikan sebuah lagu yang unik semacam ini. Pencampuran antara alternatif dan pop. Segar.
Notable lyric of this song:
Dia cerita sendu
Mendekati lugu
Dia menjaga cinta
Lebih dari hatinya
![]() |
sumber gambar: shopee.co.id |
Asoy, Bayu ngeblog lagi! Selamat kembali menorehkan keresahan. Hehe.
BalasHapusBerhubung saya belum menonton keduanya, rasanya saya enggak akan mengomentari film tersebut.
Kalau soal menerima kenyataan hidup yang sering kali mengecewakan dan terasa memble, saya bisa membahasnya banyak.
Entah sudah berapa kali saya juga kecewa akan kenyataan, tapi seperti yang kamu tulis, bisa jadi karena saya menderita oleh harapan yang terlalu tinggi. Sayalah yang menyakiti diri sendiri. Hahaha. Tapi setelahnya adalah pilihan lain, mau tetap terpuruk atau mencoba menerimanya. Meski emang enggak mudah, tapi adakah pilihan lain selain terus memasang harapan bakal ada hari yang lebih baik dari hari ini? Entah hari itu bakal datang atau tidak, tapi seenggaknya kudu bertahan. Daripada memikirkan hasil, bagaimana jika menikmati prosesnya? Kita memang perlu rencana masa depan, tapi kan kita hidup buat hari ini. Terlalu fokus ke masa depan, sampai-sampai bekerja terlalu keras dan memforsir tubuh, sehingga lupa akan kesehatan.
Ditambah lagi melihat kesuksesan orang lain. Jadi membanding-bandingkan hidup sendiri. Jelas-jelas kita sadar bahwa patokan sukses setiap orang berbeda. Lalu karena belakangan ini segalanya kerap diukur oleh materi, kalau hari ini belum punya ini-itu atau mencapai apalah, berpikir telah gagal sebagai manusia. Terus frustrasi.
Untuk menutup komentar ini, saya ingin meminjam lirik Fateh garapan Morgue Vanguard x Still, "Berjanji kepada Tuhan untuk menyelesaikan hidup tanpa penyesalan. Hingga udara yang kauhirup mengantar pesan sederhana tentang hidup yang menolak padam."
Halo Yoga. Iya nih, kembali menorehkan keresahan, haha.
HapusSelalu ada harapan akan hari yang lebih baik ke depannya, meski sepesimis apapun kelihatannya. Sayang, sebagian besar orang susah untuk terus bertahan menyalakan harapan itu, termasuk gue sendiri hehe.
Bener Yog: "Bagaimana jika menikmati prosesnya?" Toh masa depan juga ngga ada yang akan tahu, daripada cemas mikirin apa yang akan terjadi, mending nikmatin prosesnya. Hidup itu terjadinya ya di hari ini, bukan di masa depan, apalagi di masa lalu.
Duh, kalo membanding-bandingkan kesuksesan orang lain... rasanya ga bisa dibantah ya kalo itu sumber stres masyatakat modern, hehe. Tetangga punya apa, iri. Rekan kerja karirnya melejit, iri, dan masih banyak lagi contohnya. Yup, patokan sukses setiap orang beda, jadi ini yang harus ditanemin dalam pikiran.
Wah, penutup yang bagus. Thanks Yog :D
Ah, pernyataan "sang jenius di balik Hereditary" menurut saya terlalu berlebihan. Saya juga penggemar berat film horor, tapi ngantuk dan hampir ketiduran nonton Hereditary. Tidak menyeramkan. Sama sekali.
BalasHapusMakanya pas hype Midsommar, saya tidak berencana nonton. Kalau sempat, nonton. Kalau tidak juga tidak apa. Hype-nya sudah ketinggian sementara saya kecewa dengan Hereditary-nya. Haha.
Soal memikirkan hal buruk yang belum terjadi, saya pikir semua orang juga begitu. Saya kira otak kita memang diprogram untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang belum terjadi, baik atau buruk. Hehe.
Wah, Firman... kayaknya kita beda pendapat nih ya tentang "Hereditary" hehe. It's okay, persepsi setiap penonton beda-beda.
HapusHype-nya Midsommar emang tinggi, dimana-mana banyak yang ngeberitain. Apalagi pas tahu penayangannya diundur karena faktor LSF, wah... langsung pada berasumsi ini itu. Setelah penayangan perdananya pun, penonton langsung terbelah opininya. Ada yang suka karena absurdnya, ada yang merasa biasa aja, ada yang ga suka sama sekali, banyak deh. Malah jadi perbincangan dimana-mana.
Ya, bener. Otak kita jadi semacam benteng strategi untuk mengantisipasi kemungkinan baik atau buruk ke depannya ya, hehe.
Hai Bayuuuuuu! Wah aku senang banget pas kamu nulis lagi, apalagi ini nulis SOAL MIDSOMMAR WAGILAAAAAAK. Jujur aku lagi semangat-semangatnya pengen baca tulisan sana sini soal Midsommar karena terpukau sama filmnya. Aku juga haus pengen bahas ini sama orang-orang tapi masih banyak yang belum nonton. Aku jadi kepikiran pengen bahas sama kamu, Bay. Wkakaka.
BalasHapusNah iya bener sih. Pas aku nonton Midsommar itu agak ngantuk pas tengah-tengah karena alurnya lambat bener. Terus pas selesai nonton aku ngebatin, "Lebih manusiawi Hereditary anjir." Tapi karena sepanjangan nonton aku selain ngerasa gelisah juga ngerasa baper, aku mikirnya malah Midsommar ini bukan film horor tapi film drama percintaan wkakaka. Horor dan gorenya malah jadi bumbu-bumbunya aja. Bukan berarti jelek juga sih. Cuman gimana, ya. Ini tuh kayak metafora dari hubungan pacaran yang nggak sehat dan mau putus tapi nggak tau caranya gimana. Metafora dari hubungan yang melelahkan. Karakter Dani yang depresif sukanya curhat mulu dan ngerasa ngerepotin Christian dan Christian yang bertahan sama Dani hanya karena demi bertanggung jawab atas Dani (kasarnya dia kasihan, bukan karena sayang, dan itu brengsek ya kan?) itu bikin aku relateeeeeeeeee banget. Pun dengan ending-nya yang aaarrrgh kenapa Ari Aster bisa kepikiran gila begitu sih. Gila tapi indah dan melegakan. Suka banget. Astaga, Bay. Aku mau nangis ngetik ini wkakaka.
Kalau soal Tully, aku udah lama sih nontonnya jadi lupa-lupa ingat kesannya gimana. Yang jelas pas adegan 'threesome' itu bikin aku ngerasa aneh sih. Eh pas tau endingnya ngono, aku spontan nganga terus tepuk tangan wkaka gila ya. Jadi ibu ternyata 'seberat' itu :(
Soal ekspektasi... aku ngerasa iya sih bener ekspektasi yang nggak ketinggian itu bisa ngehancurin mood banget. Kalau soal jalan-jalan misalnya, aku pasang ekspektasi serendah-rendahnya. Nggak mau ngebayangin yang indah-indah. Yang penting perjalanannya mudahan lancar. Terus nggak suka jalan yang direncanakan jauh-jauh hari. Sering banget soalnya melenceng dari ekspektasi. Jadi bener kali ya kata orang, let it flow aja. Kalau kita memproduksi pikiran dan ekspektasi berlebihan, bisa jadi masalah buat kita.
Ehehe udah lama nggak komen panjang jadi sok iye gitu ya aku huhu maafin :(
Eh ekspektasi yang ketinggian maksudnya wkaka
HapusHai Ichaaa! Hehe. Lama ga saling sapa di blog (maksudnya, gue yang kelamaan vakum :p)
HapusGa pa2 kok komen panjang, malah seneng bisa tuker pikiran.
Midsommar emang GILA, atau lebih tepatnya: Ari Aster GILA. Gue suka istilah yang lo pake: "Gila tapi indah dan melegakan". Filmnya jelas bukan untuk penikmat horor/thriller yang maksimal, tapi iya juga ya Cha, ini sebenernya bisa dibilang film drama percintaan, bahkan semacem metafora, atau istilah yang lo sebut: "metafora dari hubungan yang melelahkan". Ari Aster menuangkan konsepnya sendiri tentang hal itu lewat film ini. Sama kayak Chritopher Nolan yang ngebuat film "Interstellar" dengan balutan Sci-Fi, tapi sebenernya menyisipkan makna cinta di situ.
Wah wah wah... gue malah dapet pencerahan nih tentang Midsommar pas baca komen lo hehe.
Alur yang lambat di awal sampe tengah bener-bener menyiksa mental penonton. Gue sendiri kadang suka nguap-nguap ga jelas gitu. Tapi untung sinematografinya mantap, jadi mata ini dimanjakan. Penggambaran karakter Dani ama Christian diolah Ari Aster sedemikian rupa, hingga konflik mereka jadi adonan untuk film ini. Endingnya pun bukan jenis yang dipikirin orang kebanyakan.
Secara keseluruhan, gue sampe sekarang masih galau ngasih nilai berapa, karena di satu sisi kecewa ama kategori film thriller yang diemban Midsommar, tapi di sisi lain ga bisa memungkiri kalo absurdnya bukan jenis absurd yang kampret, tapi absurd yang... apa ya istilah tepatnya... "berseni". Begitulah. Punya kelasnya sendiri si Midsommar ini. Jenis film yang bisa dituangkan dalam beragam opini. Hm, keliatannya emang itu tujuan si Ari Aster: mengembalikan lagi ke penonton, makna yang bisa mereka ambil.
Tully gue suka Cha, ga nyangka gue dibuat kagum sama pengolahannya. Hehe, iya tuh, adegan "threesome" yang bikin kening berkerut.
Wah, kalo jalan-jalan, gue bisa berada di dua kubu: pasang ekspektasi tinggi, ama rendah juga. Pas masang tinggi, untungnya sih sebagian besar terpenuhi, tapi pas ngga terpenuhi, keselnya cuma bisa ditelen sendiri haha. Kalo gue lagi berekspektasi rendah, ya udah, ikut arus. Yang penting jangan sampe pikiran kita jadi terbebani macem-macem. Kadang malah suka kepikiran mulu kalo ekspektasinya kelewat tinggi haha.
Makasih, Cha!