![]() |
sumber gambar: pinterest.com |
Curhat Mengenai Pekerjaan Menjadi Sebuah Kebutuhan
Semua orang, dalam suatu masa, pasti pernah curhat mengenai pekerjannya, kepada siapapun itu.
Bahkan, bisa dibilang curhat mengenai pekerjaan adalah jenis curhat yang tidak akan pernah ada habisnya. Selalu akan ada sesuatu yang tidak disukai, tidak diharapkan, atau tidak beres mengenai apapun pekerjaan yang kita lakukan. Khususnya karyawan kantor, yang mencakup banyak profesi di dalamnya, mulai dari administrasi, marketing, sekretaris, keuangan, auditor, legal, appraisal, pengacara, dan lain sebagainya. Itu baru jenis pekerjaan kerah putih, padahal banyak profesi di luar itu yang juga bisa tersandung masalah ketidakberesan pekerjaan.
Tidak perlu disebutkan satu persatu, terlalu banyak.
Intinya, kita semua pernah mengeluh. Saya tidak mengecualikan diri sendiri lho, karena saya termasuk bagian dari sebuah sistem organisasi yang disebut perusahaan, dimana banyak peraturan yang harus ditaati, termasuk tanggung jawab yang harus diemban. Rasanya semakin bertambah masa kerja saya, bukannya semakin mahir menyelesaikan masalah, malah semakin tenggelam dalam masalah. Mengingat setiap tahun pasti akan ada tuntutan untuk perusahaan tumbuh semakin maju, maka disitulah muncul "tantangan-tantangan" untuk semua karyawan perusahaan, yakni tantangan untuk terus memaksimalkan potensi diri demi kesuksesan bersama.
Kalau sudah berada dalam situasi demikian, keluhan sudah pasti bermunculan. Haha.
Oke. Berhenti dulu. Astaga, baru kalimat pembuka saja saya sudah langsung curhat...
Jadi begitulah. Semua yang menjalani sebuah profesi pasti mengalami pasang surut emosi dalam mengemban tanggung jawabnya. Rasanya tidak ada orang yang tidak menemui masalah dalam pekerjaannya, sekecil apapun itu. Jika sudah menemui masalah dan masuk ke sesi curhat mengenai pekerjaan, wah... kita pasti akan mencari seseorang yang mampu menampung segala keluh kesah, sekaligus memberi pembelaan dan solusi, atau sekedar mendengarkan apa yang kita bicarakan. Benar, kan?
Perilaku tersebut tidak salah kok, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. KIta memiliki keinginan untuk didengar dan dilihat orang lain. Harus ada tempat pelampiasan untuk mengeluarkan keluh kesah. Itulah mengapa media sosial menjadi tempat paling populer saat ini untuk menyampaikan keluh kesah, mengingat kemudahan fasilitas "sharing"-nya, ditambah jaringan yang luas.
Curhat seolah menjadi sebuah kebutuhan di era modern.
Teguran "Halus" dari Fumio Sasaki
Bicara mengenai keluhan pekerjaan, kurang lengkap rasanya jika tidak membahas mengenai pekerjaan itu sendiri. Sebelum membicarakan hal itu, saya akan menguraikan dulu alasan saya menulis.
Jadi begini. Saya sedang membaca sebuah buku berjudul "Goodbye, Things" karya penulis Jepang, Fumio Sasaki. Buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan bisa dengan mudah kalian temui di toko buku besar, atau jika sulit mencarinya, silahkan pesan saja melalui online store atau membaca versi e-book-nya.
![]() |
sumber gambar: ebooks.gramedia.com |
Apa kiranya kalimat Fumio Sasaki yang berhasil menggerakkan saya untuk kembali membuka laptop dan menyerbu www.blogger.com? Kalimat itu merupakan pemaparan singkat mengenai bagaimana kebutuhan kita sebenarnya sudah tercukupi, namun keinginan untuk mendapatkan hal yang lain akan selalu ada. Uniknya, Fumio mengambil contoh dalam hal pekerjaan.
Begini penggalan kalimatnya, saya ambil dari halaman 30:
"Namun, ingatlah saat kita betul-betul ingin diterima bekerja. Budaya pekerjaan mungkin tidak sesuai harapan. Atasan kita menyebalkan, atau bahkan seluruh jajaran manajemen sudah bobrok. Hal-hal ini tidak mengubah fakta bahwa kita pernah mengirim lamaran kerja, pernah muncul di wawancara -- bukan karena terpaksa, tapi karena ingin. Dengan begitu, sebetulnya, keinginan kita bekerja di perusahaan itu sudah terkabul. Pasti kita juga pernah merasa senang, walaupun hanya sesaat, ketika menerima surat pernyataan diterima bekerja."
Kalimat itu saya baca tepat saat istirahat makan siang di kantor. Entah kenapa waktunya bisa pas sekali, karena di hari itu, tepatnya di pagi hari, saya baru saja mengalami masalah pelik di kantor, terkait dengan angka laporan yang membuat kepala ini terasa pecah.
Apa yang ditulis oleh Fumio Sasaki seolah mengingatkan saya pada masa-masa awal bekerja. Saya ingat persis, saat itu saya sedang di ambang kehancuran (secara fisik dan mental) karena bekerja di sebuah perusahaan properti, nyaris terus-menerus tanpa henti. Rasanya seperti zombi saja. Hampir seluruh sendi kehidupan saya hancur perlahan. Kemudian, datanglah tawaran untuk menjadi staf akuntansi di perusahaan dagang (tempat saya bekerja saat ini). CV dikirim, wawancara dijadwalkan, tes kesehatan dilalui, dan... pada suatu hari, saya menerima kabar menggembirakan itu. Saya diterima bekerja di tempat baru!
Yeah!
Hm... kalau diingat lagi sekarang, memang saya sempat berteriak gembira saat itu (tidak terang-terangan, tentu saja, karena saya masih berada di kantor lama). Rasanya seperti dibebaskan dari penjara (ups, bukan berarti kantor lama saya mirip penjara atau bagaimana, itu hanya kiasan) dan bisa menghirup angin segar. Senyum lebar terpampang kemana saja saya pergi. Tidak sabar untuk segera bekerja di kantor baru.
Politik Kantor: Mitos atau Fakta?
Tahun demi tahun saya lalui bekerja di perusahaan baru. Jelas, bidang pekerjaan saya berbeda dengan kantor sebelumnya, dan butuh waktu yang tidak sebentar untuk bisa beradaptasi. Seiring berjalannya waktu, masalah terus muncul, tanggung jawab semakin besar dan sederet rintangan lainnya. Apakah saya mengeluh? Tentu saja, layaknya semua karyawan lain yang mengalami hari-hari berat di kantor. Apakah saya sempat memutuskan untuk resign? Oh, tidak usah ditanya lagi, hal semacam itu sempat menghantui saya bertahun-tahun, hingga saya bingung sendiri apakah masih layak untuk bekerja atau tidak.
Kini, selama satu tahun ke belakang, saya sadar bahwa mengeluh tidak ada gunanya. Bukan berarti saya berhenti mengeluh. Tetap saja saya curhat kepada beberapa orang tertentu, namun diimbangi dengan tindakan nyata untuk membereskan masalah yang menimpa. Tidak mudah memang, bahkan beberapa masih belum beres. Untungnya, saya menemukan kesibukan lain yang menyenangkan, untuk sekedar membebaskan diri dari tekanan pekerjaan.
Selain itu, saya mulai menyeleksi siapa saja yang bisa saya ajak bicara dan menghabiskan waktu bersama di kantor. Bergaul dengan semua orang di lingkungan kantor memang hal yang bagus, untuk menambah relasi dan semacamnya, tapi "menghabiskan waktu bersama dan bertukar pikiran secara personal"... nah menurut saya, itu yang harus diseleksi. Lingkungan kantor bukan lagi lingkungan sekolah yang dramanya seputar kisah cinta remaja, guru yang menyebalkan atau tumpukan PR, namun sudah dibalut dengan politik kantor. Dramanya mengerikan.
Tidak banyak yang menyadari hal ini memang, karena sebagian karyawan melalui hari-harinya dengan halus, atau bahkan membantah hal-hal semacam itu. Politik kantor bukan barang baru, semua kantor memilikinya, dari yang paling halus sampai keji sekalipun. Saat manusia dihadapkan dengan kekuasaan dan uang, rasanya tidak ada yang namanya "rekan kerja sebagai teman atau sahabat", yang berlaku adalah "siapa yang menang dan siapa yang kalah". Apa kita bisa tidak terlibat hal-hal semacam itu? Bisa saja, dengan menjadi karyawan normal. Jangan mendengar gosip apapun. Jangan terlibat dengan kegiatan apapun selain pekerjaan. Berlaku sopan. Datang tepat waktu, pulang tepat waktu juga. Selesai.
Sayangnya, saya tidak bisa seperti itu, meski menginginkannya berkali-kali. Selalu saja ada momen tidak menyenangkan yang membuat saya berada di "medan pertempuran ego", dimana saya harus jeli memilih siapa yang bisa dijadikan kawan atau lawan. Bukan hal yang mudah untuk memikirkan semuanya secara bijaksana dan profesional. Itulah yang menyebabkan stres.
Hal-hal semacam ini sayangnya tidak diajarkan di bangku kuliah. Kita akan tahu jika sudah mengalaminya langsung. Jika kita salah langkah memilih bertukar pikiran dengan orang yang lisannya tidak bisa dipercaya (misalnya), jangan kaget jika omongan kita disebarkan dan faktanya diputar balik, menghancurkan kredibilitas kita. Oh, saya pernah mengalaminya pada masa awal bekerja dan butuh waktu lama untuk membereskan hal-hal semacam ini. Itu baru satu contoh, padahal masih banyak lagi.
Jadi, menyeleksi dengan siapa saja kita bertukar pikiran terkait pekerjaan di kantor itu perlu. Saya merasa bersyukur memiliki beberapa rekan kerja yang memang saya percaya untuk menuangkan keluh kesah.
"You write your life story by the choices you make" -- Helen Mirren
![]() |
sumber gambar: blogs.edweek.org |
Saya berani menaruh kalimat di atas karena memang demikianlah adanya. Banyak orang yang mengeluh mengenai pekerjaan, merasa dirinya tidak diberi pilihan dalam hidup, sehingga harus menekuni pekerjaan yang tidak dia sukai. Itulah cikal bakal ketidakberesan dalam pekerjaan kita: tidak adanya gairah dalam menekuni profesi.
Ah, kembali lagi ke masalah klasik: passion. Saya pernah menulis mengenai ini di artikel sebelumnya, dan saat itu saya merasa sebagai korban dari kemauan orang tua. Ilmu yang saya peroleh di bangku kuliah, sekaligus profesi yang saya jalankan saat ini merupakan pilihan yang disodorkan oleh keluarga. Pilihan tersebut mereka ambil dengan landasan rekam jejak saya di ilmu tersebut. Diharapkan, dengan lebih mendalaminya di bangku kuliah, maka saya akan lebih mudah memperoleh pekerjaan nantinya.
Setelah enam tahun mendalami ilmu tersebut (tiga tahun jalur diploma, tiga tahun jalur strata... oh, tolong jangan tanyakan kenapa harus dua kali kuliah dan bisa selama itu, karena saya tipe mahasiswa yang sulit fokus akan skripsi dengan dalih "sibuk"), akhirnya memang saya mendapatkan pekerjaan yang diimpi-impikan keluarga: menjadi karyawan kantor di sebuah perusahaan, memperoleh gaji setiap bulan. Sesederhana itu. Diharapkan, jenjang karir saya mulus, hingga kemudian berhasil menjadi "orang", demikian istilah yang biasa saya dengar (istilah yang lucu sebenarnya, karena bukankah selama ini kita semua adalah orang?).
Bertahun-tahun saya menjalani profesi ini, jika ada masalah dalam pekerjaan, di dalam hati saya selalu menyalahkan pilihan yang diberikan keluarga. Seolah mereka harus menanggung kejadian buruk yang saya alami. Datang pagi pulang malam, lembur di weekend, tumpukan dokumen tanpa pernah berhenti, pola makan yang kadang tidak teratur, mata yang sudah amburadul jarak pandangnya (hei layar komputer, kamu penyebabnya!) dan seabrek masalah lain. Oh belum lagi ditambah masalah politik kantor. Tumpukan stres.
Jika dipikirkan lebih seksama, sebenarnya peran keluarga sudah tidak ada lagi selama saya menjalani profesi ini, jadi kenapa saya harus menyalahkan mereka? Benar kata Fumio Sasaki: "Hal-hal ini tidak mengubah fakta bahwa kita pernah mengirim lamaran kerja, pernah muncul di wawancara -- bukan karena terpaksa, tapi karena ingin".
Itu semua pilihan pribadi saya juga sebenarnya. Saya memilih untuk mengikuti kata keluarga, memilih untuk tidak menyakiti hati mereka, memilih untuk tidak berani ambil resiko dengan memberontak, memilih untuk mendamaikan situasi dengan menjalani ini semua. Jika menemui masalah, ya seharusnya sayalah yang harus disalahkan, kenapa berani memilih jalan seperti ini? Begitu, kan?
Tanggung Jawab Menjalani Pilihan
Nah, ini segmen terakhir dari artikel saya, sekaligus menjadi kunci untuk memikirkan pilihan yang kita ambil terkait profesi. Jika tadi saya bicara mengenai pilihan pribadi, kini setelah kalian memahami bahwa itu semua murni kehendak kalian, selanjutnya yang dibutuhkan adalah: tanggung jawab.
Eng ing eng. Sampailah kita ke kalimat yang bisa membuat orang mendesah kesal. Tanggung jawab. Kenapa harus ada tanggung jawab di bagian akhir? Karena tanpa adanya hal itu, maka saya jamin kalian akan terus-menerus melakukan curhat mengenai pekerjaan seraya menyalahkan situasi. Saya tidak melarang kalian curhat sama sekali. Curhat terkait pekerjaan itu menurut saya perlu, karena kita butuh didengar (karena saya sendiri pun masih melakukannya). Kalau ada yang bisa mengatasi masalah pekerjaan tanpa curhat dalam bentuk apapun (melalui teman, media sosial, keluarga, orang tersayang, atau melalui ibadah) dan tetap bertahan, wah... berarti hebat sekali. Mungkin saja ada, tapi saya sendiri belum pernah menemui yang seperti itu.
Begini. Coba kalian pikir. Jika masalah pekerjaan dipendam, justru merusak emosi, menggerogoti jiwa dari dalam, kemudian bisa mendorong kita bertindak yang paling terburuk. Pernah mendengar ada orang depresi karena pekerjaan hingga bunuh diri, kan? Atau depresi karena pekerjaan hingga gila, atau bahkan melukai secara fisik orang-orang terdekat? Jangan main-main dengan kondisi kejiwaan seperti ini.
Yang ingin saya tekankan disini adalah tentang curhat yang berakhir dengan menyalahkan situasi, misalnya, "Coba gue ga ngambil kerjaan tambahan ini, jadi ngga kelar-kelar kerjaannya!", "Coba gue dulu ambil kuliah hukum aja!" "Ini semua gara-gara si A!" dan lainnya.
Bagi kalian yang pernah melontarkan kalimat semacam itu, coba tenangkan diri. Tarik napas dalam-dalam dan sebaiknya cerna kembali apa yang diutarakan Fumio Sasaki di bukunya. Tenang, masih ada waktu untuk membenahi diri.
Ingat, kalian bekerja saat ini awalnya adalah dari pilihan sadar kalian sendiri untuk melakukannya. Tekanan pihak lain mungkin ada, tapi kalian sebenarnya bisa memilih untuk menolak hal tersebut. Tidak berani menolak karena takut menyakiti perasaan berbagai pihak? Berarti kalian berada dalam posisi yang sama seperti saya saat itu, sehingga pilihan yang bisa diambil adalah "berdamai dengan situasi". Dengan demikian, maka kita harus berani menanggung segala resiko yang ada.
Tidak ingin berdamai dengan situasi? Ya sudah, jangan lakukan apapun. Merajuklah, merengeklah, menangislah, atau apapun itu agar pihak lain mengabulkan permintaan kalian. Selalu ada cara untuk menyelesaikan sebuah masalah, dan pilihan ada di tangan kalian. Jika sudah bisa memilih, maka selanjutnya bertanggung jawablah atas pilihan tersebut, tidak perlu menyalahkan situasi jika kenyataannya tidak seindah harapan.
Sulit? Memang, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Saya sendiri juga belum sempurna dalam menerapkannya. Tapi setidaknya Fumio Sasaki telah memberi saya pencerahan. Terima kasih, Fumio!
Kini, saat tenggelam dalam masalah pekerjaan, saya akan mencoba kembali mengingat untuk apa tepatnya alasan saya memilih bekerja di tempat ini pertama kalinya. Tanpa sebuah alasan yang kuat, dengan mudah kita akan terombang-ambing dengan keadaan.
Ingat, semua ini adalah pilihan kita sendiri. Dedikasikan diri dalam pilihan yang telah kita buat. Belum ada kata terlambat untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Sedikit demi sedikit merubah pola pikir, daripada tidak sama sekali.
Selamat bekerja!
-Bayu-
Catatan selama proses menulis:
Saya mendengarkan lagu Kacey Musgraves yang berjudul "Lonely Weekend" (diambil dari album Golden Hour) selama proses menulis artikel ini.
Begitu mengetahui album Golden Hour memenangi kategori paling bergengsi di Grammy Award 2019 (yakni Album of The Year), maka tidak butuh waktu lama bagi saya untuk segera mencarinya di Spotify dan langsung jatuh hati, karena telinga saya sudah familiar dan menyukai genre pop-country seperti ini. Album ini mengingatkan saya akan karya Taylor Swift di album-album awal kemunculannya. Lagu Lonely Weekend sendiri sangat ear cathcy, jenis country yang dibalut dengan pop lembut (malah terkesan sangat pop), metode ampuh untuk menjaring banyak pendengar di luar sana, yang biasanya akan langsung mengernyit begitu mendengar kata "country" (khususnya di negara ini).
Notable lyric of this song:
Even if you got somebody in your mind
It's alright to be alone sometimes
![]() |
sumber gambar: en.wikipedia.org |