Seri Traveling #1: Bandara dan Pesawat Terbang

sumber gambar: rd.com
Ini adalah tulisan berseri mengenai traveling, atau lebih tepatnya pengalaman terkait traveling yang berhasil mengubah pola pikir saya. Tulisan ini bukan titipan pihak lain, sehingga jika ada nama produk yang tertulis, murni keinginan saya. Tulisan ini juga tidak serta merta merubah blog ini menjadi travel blog, mengingat di seri ini dan ke depannya, tidak akan ditemukan hal-hal semacam "panduan mengunjungi tempat A" atau "10 tips traveling di tempat B". Tidak akan seperti itu. Saya tetap akan menulis dengan cara saya sendiri, murni tulisan seorang Bayu Rohmantika Yamin. Selamat membaca.


"Jalan-Jalan" Itu Merepotkan, Melelahkan dan Mengerikan!

Apa enaknya sih "jalan-jalan"?

Itu pertanyaan yang sering saya ajukan dulu, sejak mengenyam pendidikan formal hingga menginjak tahun-tahun awal masa bekerja. Jika ada yang mengajak bepergian, saya cenderung berkutat dengan sejuta pertanyaan, semisal: "Apa yang akan saya lakukan di sana?" "Siapa saja yang ikut?" "Apa enaknya pergi ke sana?"

Semua pertanyaan itu muncul di dalam hati, bersama dengan setumpuk kekhawatiran mengenai transportasi, uang yang harus dibawa, teman mengobrol, tema percakapan, kecanggungan sosial dan semacamnya. Saya adalah seorang introvert, sehingga tidak mudah untuk keluar dari cangkang zona nyaman menuju medan-pertempuran-interaksi- sosial bernama "jalan-jalan".

Uh, mendengarkan kata itu diucapkan saja sudah membuat merinding.

Saya memiliki banyak pengalaman tidak enak dengan "jalan-jalan", mulai dari tidak memegang banyak uang, teman perjalanan yang kurang menyenangkan (terutama jika dilakukan dalam grup besar yang belum dikenal, oh itu adalah bencana besar!), kecanggungan yang harus dihadapi dengan beragam jadwal pergi yang tidak sesuai minat, deretan pose mengerikan nan melelahkan yang harus saya lakukan jika ada yang berteriak, "Eh foto yuk!" hingga acara santai yang berujung dengan kesendirian, mengingat hampir tidak ada yang sanggup mengobrol dengan saya karena kurangnya rasa antusias dalam diri ini.

Begitulah. 

"Jalan-jalan" tidak pernah ada dalam agenda hidup saya. Jika dilakukan, itu berarti saya terpaksa, atau memang saya pergi dengan orang-orang terdekat saja, karena saya bebas bertindak tanpa takut dihakimi (oke, ini lain cerita). Jadi, jika orang lain akan berteriak gembira saat ada pengumuman semacam "employee gathering" atau "family gathering" di daerah A atau B, saya mungkin satu-satunya orang yang mengerang kecewa seolah beban berat diletakkan di pundak. Terbayang sudah interaksi sosial canggung yang HARUS saya hadapi.

Fiuh. Saya memang seperti itu.

Salah satu sudut Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno Hatta
sumber gambar: tripzilla.id


Bandara yang membuat terkesima

Jika "jalan-jalan" dikaitkan dengan pengalaman mengerikan, lain lagi dengan bandar udara, atau lebih dikenal dengan sebutan bandara. Itu adalah tempat asing bagi saya, sama asingnya dengan rumah sakit. Saya menganggap bandara bukan tempat untuk saya datangi, karena saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan di sana, dengan begitu banyak papan pengumuman dan orang berlalu-lalang. Saya tidak tahu kemana kaki ini harus melangkah, kemana mata ini harus diarahkan, dan semacamnya. Lagipula, saya tidak memiliki alasan yang jelas mengapa harus naik pesawat terbang, dan jika diajak pergi ke bandara pun saya selalu menolak. Ya, saya memang seperti itu, hehe.

Ternyata, Tuhan berkehendak lain. Saat itu, tahun 2015 di kantor saya, ada semacam program keuangan baru yang harus disosialisasikan ke kantor-kantor cabang di luar Jakarta. Bukan main terkejutnya saat saya terkena jeratan tugas bernama "perjalanan dinas". Selama ini saya selalu mengira yang bisa melakukan perjalan dinas hanya divisi marketing, internal audit, IT, umum, HRD, dan level kepala unit hingga Direksi. Saya tidak mengira jika divisi Akunting akan terkena dampaknya. 

Mungkin sang bos tidak akan mengira reaksi yang muncul saat saya pertama kali diberi tanggung jawab melakukan perjalanan dinas. Saya ingat saat itu spontan bereaksi, "Ha? Saya? Kenapa saya?" begitu sang bos memberi perintah: "Kamu minggu ini pergi ke Surabaya ya, untuk ngasih sosialisasi program kas kecil."

Apalagi, perintah berikutnya adalah: "Kamu koordinasi dengan bagian sekretariat untuk tiket pesawatnya ya." Tunggu dulu, pesawat? Saya akan naik PESAWAT TERBANG? Tidak pernah terlintas di benak ini bahwa saya akan menaiki burung besi tersebut. Bayangkan, berada di awan, terjebak dalam mesin besar bersama penumpang lain. Oke, melihat pesawat dari kejauhan memang terlihat menyenangkan, tapi berada di dalamnya kan lain hal! Lagipula, saya belum pernah pergi ke bandara, dan saya tidak tahu HARUS melakukan apa!

Tenang, Bayu, ini kan hanya bandara. Hanya pesawat terbang. Semua orang bepergian dengan pesawat setiap hari dan tidak ada masalah. Oke, memang pernah tercatat kecelakaan yang menimpa, penumpang yang hilang di lautan dan semacamnya... tapi hei, lihat garis besarnya. Akhirnya saya diberi kesempatan naik pesawat terbang, bukan? Secara gratis, pula, karena dibiayai kantor. Pengalaman terbang pertama saya kala itu menggunakan maskapai Batik Air, yang masih satu grup dengan Lion Air (kita semua tahu bagaimana reputasi si singa udara ini, bukan?), jadi wajar jika perasaan takut lebih besar ketimbang kegembiraan. Di kemudian hari, saya menemukan fakta bahwa Batik Air jauh lebih baik daripada Lion Air (beda segmentasi), jadi saya cukup beruntung pengalaman pertama saya naik pesawat terbang, ya menggunakan maskapai tersebut, gratis pula.

Baiklah. Singkat cerita, setelah diberi motivasi dari orang-orang terdekat mengenai pengalaman terbang dan membaca sana-sini, akhirnya saya memberanikan diri melakukan perjalanan dinas (jika saya menolak, kemungkinan besar karir saya akan stagnan) ke Surabaya. Saya tidak membawa koper, hanya sebuah backpack berukuran sedang, sementara tiga rekan seperjalanan saya (dari divisi berbeda) menggunakan koper dan tas berbagai macam ukuran. Saya jadi merasa seperti orang konyol yang baru pertama kali naik pesawat terbang, hehe.

Ada satu hal yang langsung menyita perhatian saya saat tiba di bandara saat itu. Wow, betapa kayanya bandara akan beragam jenis manusia: bapak-bapak, ibu-ibu, wanita muda, pria bersetelan rapi, anak-anak kecil, rombongan keluarga besar yang berisik, dan semacamnya. Memang hal semacam ini bisa ditemukan juga di terminal ataupun stasiun, namun di bandara auranya berbeda! Dan pengumuman mengenai jadwal penerbangan itu! Pengumuman tersebut begitu khas, memberi informasi mengenai penerbangan dan lain hal. Ah, belum lagi deretan toko yang menjual barang-barang keren. Memasuki lebih dalam bagian bandara, terlihat lalu-lalang manusia yang menyeret koper, menenteng koran, bersetelan rapi, menyesap kopi di tangan, menelepon, memegang boarding pass...

Ya Tuhan, saya jatuh hati pada bandara. Terdengar aneh dan norak, namun itulah yang saya rasakan. Mata saya berbinar-binar menyaksikan keriuhan situasi bandara. Kemana saja saya selama ini?

Di kemudian hari, saya menemukan kebahagiaan dalam beberapa hal yang melekat pada bandara: lalu-lalang manusia segala jenis (ras, umur, bahasa, agama, jenis kelamin), toko-toko cantik yang berjejer menampilkan barang dagangan, lantai marmer, lantai berlapis karpet, desain taman-taman buatan, desain interior dengan segala tema eksotis hingga etnis, kursi pijat gratis, toilet bersih, deretan troli, area entertainment, air minum gratis, papan pengumuman jadwal pesawat terbang, papan informasi dan suara pengumuman dalam bermacam bahasa. 

Ah, bahasa-bahasa itu! Mulai dari bahasa daerah hingga bahasa asing, meluncur dari segala macam mulut, menciptakan simfoni indah yang tidak semua orang bisa rasakan. Mungkin terdengar gila, tapi entahlah... semua keriuhan tersebut selalu membuat saya tersenyum lebar. Meski jadwal pesawat terkendala gangguan (delay dan semacamnya), saya tetap mencoba melihat hal-hal unik dalam bandara, dan itu cukup mengenyahkan pikiran dari kekecewaan.

Hm, mungkin penilaian saya akan berubah jika menginjakkan kaki di bandara yang terletak di daerah terpencil. Entahlah. Bisa jadi justru saya juka menyukainya. Sampai saat itu tiba, saya tetap akan menyatakan bahwa "saya suka bandara". 

sumber gambar: videoblocks.com

Aura Magis Kabin Pesawat Terbang

Saya harus mengapresiasi setinggi mungkin usaha Orville Wright dan Wilbur Wright (atau lebih dikenal dengan Wright Bersaudara) dalam menciptakan pesawat terbang dan berhasil melakukan percobaannya di tahun 1903. Sejak itu, banyak sekali perubahan yang telah dilakukan dengan mesin pesawat terbang, hingga seperti yang kita kenal sekarang ini. 

Pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di dalam kabin pesawat adalah sebuah pengalaman yang tidak akan terlupakan. Mungkin beda rasanya jika saya menggunakan maskapai berbiaya rendah, tapi intinya, saya bersyukur bisa merasakan aura kabin pesawat, sebuah pengalaman yang sulit dideskripsikan. Saat orang lain sibuk menata barang bawaan di dalam bagasi kabin (berebut tempat satu sama lain), sibuk memasang sabuk pengaman, sibuk mencari tempat duduk (bahkan ada yang sengaja duduk di sebelah jendela padahal nomor kursinya tidak di situ, dengan harapan tempat tersebut tidak diduduki orang lain, dan beberapa menit kemudian dia harus menanggung resikonya, alias dipindah paksa), sibuk meminta ini itu kepada pramugari, sibuk bermain dengan perangkat genggam masing-masing, sibuk membolak-balik bahan bacaan, sibuk mengobrol dan semacamnya, yang saya lakukan saat itu adalah... duduk tenang selama sekitar sepuluh menit, benar-benar menikmati suasananya.

Mencoba khidmat menikmati pengalaman baru.

Untuk kedua kalinya di hari itu, saya merasa jatuh hati lagi, kali ini pada kabin pesawat terbang! Saya menyukai suasana di dalamnya, bagaimana semua penumpang diletakkan di tempat tertutup ini, siap diterbangkan di angkasa, menuju satu tujuan bersama. Saya suka bagaimana cara pramugari memeragakan prosedur keselamatan, bagaimana pilot memberitahukan posisi pesawat, bagaimana suara mesin menderu, bagaimana megahnya bentangan sayap pesawat dilihat dari jendela, bagaimana ramahnya pramugari melayani penumpang, bagaimana bunyi notifikasi sabuk pengaman untuk dikencangkan, dan hal-hal kecil semacam itu.

Oh, di kemudian hari bahkan saya suka sekali menikmati bahan bacaan di dalam pesawat (majalah dan koran yang disediakan); menikmati hidangan yang disajikan (bahkan dalam kelas ekonomi sekalipun, hidangannya lengkap dan cukup mengenyangkan); menikmati sajian entertainment lengkap dalam layar yang ditempel ke kursi di hadapan kita; menikmati pengalaman ke kamar kecil di atas ketinggian; menikmati deretan kursi 2-2, 3-3 atau 3-4-3; hingga menikmati fasilitas yang mau tidak mau saya kenakan saat harus menempuh perjalanan berjam-jam lintas negara.


Pesawat Terbang: Jika Indah Dikagumi, Jika Rusak Dicaci

Entahlah dengan orang lain, namun bagi saya, merasakan sekelumit pengalaman di dalam kabin pesawat sungguh menyenangkan, berbeda dengan jenis transportasi lain (saya belum pernah mencoba kapal pesiar atau transportasi mewah lain, mungkin pengalamannya lebih maksimal). Turbulensi yang dirasakan saat berada di ketinggian memang bukan pengalaman indah (saya bahkan terpaksa menutup mata saat melihat kilasan petir di kejauhan saat pesawat mengalami turbulensi lumayan hebat di penerbangan tengah malam dan pilot terus-menerus memberi instruksi untuk tetap memasang sabuk pengaman), namun suka tidak suka, turbulensi adalah bagian dari terbang itu sendiri. Jadi, cukup berdoa dan percayakan pada kemampuan sang pilot. Apapun yang terjadi, itu semua sudah kehendak Allah SWT. 

Lagipula, apakah kalian tahu bahwa moda transportasi teraman adalah pesawat terbang? Serius. Lalu, moda transportasi apa yang menyumbang kecelakaan terbesar? Mobil. Sekarang perhatikan saja, masih banyak orang nekat bepergian dengan mobil setiap harinya, dan mereka tidak terlalu heboh berada di dalam mobil seakan-akan setiap menit akan terjadi kecelakaan, berbeda dengan pesawat terbang yang bagi sebagian orang... merupakan tempat yang sangat mengerikan. Saat satu pesawat terbang mengalami kecelakaan, beritanya setara dengan kecelakaan alam semacam tsunami atau gempa bumi.

Secara logika, jika kita saja tidak terlalu panik berada dalam mobil yang mencatat jumlah kecelakaan terbesar, kenapa harus panik berada di dalam kabin pesawat terbang yang notabene menjadi moda transportasi teraman? Oke, mungkin karena pesawat terbang berada di atas ketinggian, sementara mobil tetap di darat, sehingga kita tidak terlalu panik berada di dalam mobil yang melaju. Ibaratnya, mau meninggal sekalipun, kemungkinan terbesar tetap berada di darat. Jika menggunakan pesawat terbang, resikonya lebih menakutkan karena ada potensi meledak di udara, hilang dari radar, hingga jatuh di lautan, begitu?

Oke. Sekali lagi saya tekankan: Apapun yang terjadi, itu semua sudah kehendak Allah SWT. Jika kita berdiam diri di rumah sekalipun, apakah kita bisa menjamin tidak akan ada nasib buruk yang menimpa? Tidak bisa, bukan?

Saya jadi teringat ucapan seorang teman saat berita kecelakaan Lion Air JT 610 baru-baru ini menjadi heboh di masyarakat. Saat itu dengan santainya dia mengatakan, "Oke, kesimpulannya, kita ga perlu naik pesawat terbang lagi. Kemana-mana pake angkutan laen aja lah." Wow. Bayangkan jika ratusan juta masyarakat Indonesia berpikiran sama seperti dia, bisa bangkrut maskapai penerbangan lokal kita! Menyalahkan satu kecelakaan pesawat terbang dan melakukan generalisasi pada keseluruhan moda transportasi itu bukanlah tindakan bijak. Menurut saya, tidak perlu bereaksi demikian. Kita semua sudah dewasa, berpendidikan dan mampu mengambil keputusan dengan data yang matang. 

Jika misalnya kita tidak menginginkan lagi bepergian menggunakan maskapai A karena reputasinya buruk dan semacamnya, menurut saya itu masih wajar, toh itu semua pilihan hidup, bukan? Atau jika merasa takut berlebihan pada pesawat terbang, cukup menjadi konsumsi sendiri saja. Tidak bijak rasanya jika melakukan penilain negatif secara keseluruhan dan menghembuskan isu-isu panik.

Semoga kalian tidak demikian.


"Discovering you by traveling to new places" -- Rene Suhardono

Perjalanan yang Merubah Pola Pikir

Demikianlah pengalaman pertama saya bepergian dengan pesawat terbang, dimana akhirnya saya malah jatuh hati pada bandara dan pesawat terbang itu sendiri. Ternyata kehendak Tuhan justru mengantarkan saya melihat sudut pandang baru. Setelah Surabaya, akhirnya saya mendapat kesempatan melakukan perjalanan dinas ke beberapa tempat di luar pulau Jawa menggunakan pesawat terbang. Pekerjaan yang saya lakukan di tempat tujuan memang tidak bisa dibilang menyenangkan (bahkan terkadang sangat menguras tenaga dan emosi), namun sebisa mungkin saya mencoba menikmati perjalanan menggunakan pesawat terbang. Hanya itu yang bisa saya nikmati, hehe.

Perjalanan mandiri dengan dana pribadi baru saya berani lakukan saat mendapat rezeki tambahan dari kantor. Waktu itu saya memutuskan pergi ke salah satu kawasan wisata di daerah Indonesia Tengah, dan benar-benar menikmati setiap detiknya. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat menggembirakan, terus terasa hingga saat ini. Pikiran dan jiwa saya seolah tercerahkan lagi, dan entah kenapa, rasa penasaran dan ketagihan itu terus muncul.

Astaga, saya ingin terus bepergian!

Rencana baru pun disusun. Saya mulai membeli koper, beberapa pakaian yang pantas untuk bepergian, sepatu nyaman untuk berjalan jauh, buku panduan traveling (dari e-book hingga buku fisik), menonton vlog-vlog mengenai traveling, merancang destinasi impian, dan yang tak kalah pentingnya... menabung untuk tujuan traveling berikutnya. Saya bukanlah karyawan yang digaji dengan nominal fantastis untuk posisi yang saya emban saat ini, namun saya harus bersyukur karena masih diberi rezeki. Jadi, sebisa mungkin setiap pemasukan dan pengeluaran saya perhitungkan secara masak, agar misi traveling saya terpenuhi.

Ah, rasanya tidak cukup semua hal mengenai traveling ini saya uraikan dalam satu artikel. Untuk itulah saya membuatnya menjadi semacam seri, karena masih banyak poin-poin yang bisa dibahas dalam sudut pandang saya: mengenai tujuan traveling, paspor, kebutuhan finansial, destinasi impian, hingga oleh-oleh. 

Saya memberi subjudul terakhir dengan "Perjalanan yang Merubah Pola Pikir" karena memang demikian adanya. Ingat, dulu saya sangat tidak suka dengan yang namanya "jalan-jalan". Ya, sekarang jika masih ada yang mengajak bepergian pun, sepertinya saya masih akan tetap menimbang ini-itu sih (sangat menyeleksi teman seperjalanan), tapi bukan berarti saya lantas berdiam diri. Jika dulu saya hanya menolak tegas dan kembali ke rutinitas, kini saya dengan bangga langsung menyusun rencana jalan-jalan versi pribadi, karena destinasi impian saya bisa saja berbeda dengan orang lain, dan bagi saya tidak masalah jika harus bepergian sendiri sekalipun. Bisa dipastikan gelora "introvert" dalam diri saya lah yang bertugas mengambil alih dalam kasus demikian.

Intinya, jika orang lain memiliki jadwal liburan ke tempat A atau B, saya juga punya kok. Saya bukan lagi Bayu yang mengurung diri dalam kamar dengan tumpukan buku karena tidak suka bepergian. Saya bukan lagi Bayu yang hanya bisa mengernyit pada orang-orang yang berlibur ke tempat-tempat wisata menarik (saat itu saya tidak iri, tapi merasa bingung apa asyiknya traveling).

Bahkan, bisa jadi destinasi liburan saya tidak terpikirkan oleh teman-teman yang lain lho. Kenapa? Karena pilihan destinasi traveling merupakan privasi bagi saya, sehingga saya nyaris menutup rapat semuanya. Ini memang aneh dan tidak wajar, tapi ya... beginilah saya, hehe. Mohon dimaklumi.

"Kenapa juga traveling aja dirahasiain sih? Takut dikira sombong? Emang ngga update di medsos? Atau malu ketahuan pergi kemana?" Hm... jawabannya tidak sesederhana itu, rasanya butuh artikel tersendiri untuk dituangkan. Saya akan mencoba menuliskannya di seri-seri traveling selanjutnya saja ya. 

Artikel ini sudah terlalu panjang, astaga! Haha. Beginilah jika sudah lama tidak menulis, inginnya semua ide ditumpahkan dalam satu tulisan. Bagi kalian yang bertanya-tanya apakah genre blog saya sudah berubah menjadi travel blog, mohon simpan pikiran tersebut, karena saya tetaplah personal bloger yang menulis apa saja yang terlintas dalam benak, sepanjang hal tersebut bisa dimaknai lebih mendalam. 

Saya akan menutup artikel ini dengan kutipan menarik dari Claudia Kaunang dalam bukunya yang berjudul "Traveling Is Possible!", yaitu: "Pergilah melihat dunia, karena dengan cara itulah kita baru bisa menghargai negeri sendiri".

Sampai jumpa di artikel seri traveling berikutnya. 

-Bayu-





Catatan selama proses menulis:


Saya memutar lagu 
Enya yang berjudul "Orinoco Flow" terus-menerus selama proses
menulis. Entahlah dengan orang lain, tapi bagi saya, lagu ini sungguh memikat dengan cara yang sulit dijelaskan. Enya adalah penyanyi berdarah Irlandia yang mengusung genre new age, celtic dan pop. Lagu "Orinoco Flow" adalah komposisi musik new age yang sungguh membuai dan membuat ide-ide di kepala saya menari riang.

Notable lyric of this song:

From Peru to Cebu, feel the power of Babylon
From Bali to Cali, far beneath the Coral Sea


sumber gambar: open.spotify.com


READ MORE - Seri Traveling #1: Bandara dan Pesawat Terbang
 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.