![]() |
sumber gambar: wiseworkplace.com.au |
"Take chances, makes mistakes. That's how you grow" -- Mary Tyler Moore
Sandra Bullock... Oh, Sandra Bullock!
Entah kenapa, ada beberapa film yang saat ditonton ulang untuk kedua kalinya, justru terasa lebih "mengena".
Kasusnya terjadi pada film "Loving Vincent" (yang telah saya ulas di artikel sebelumnya). Kini, kasus kedua adalah film "The Blind Side". Sebenarnya saya sudah pernah menonton film ini bertahun-tahun yang lalu, saat gegap gempita Academy Award 2010 berkembang, dimana sang aktris utama, Sandra Bullock, sukses memperoleh piala Oscar untuk pertama kali melalui perannya di sana. Satu nominasi lagi diperoleh untuk kategori paling bergengsi, Best Motion Picture of The Year alias Film Terbaik, meski harus kalah dari "The Hurt Locker".
Saat pertama kali menonton, saya tidak menemukan kekuatan drama yang disuguhkan, entah apa yang salah dengan pikiran saya saat itu. Haha. Tipe film perjuangan from zero to hero seperti ini sudah sering dibuat oleh Hollywood, dengan beragam judul dan genre. Jujur, saya tidak terlalu menyukai apa yang disuguhkan "The Blind Side", dengan jalinan kisah standar dan kurang menggigit.
Jadi, saat mencoba menonton ulang, saya memasang ekspektasi rendah, dan terkesima dengan hasilnya! Ternyata, film ini adalah kisah nyata yang diangkat ke layar lebar. Hal yang paling menyentuh saya adalah motif perjuangan Sandra Bullock. Memerankan seorang ibu bernama Leigh Anne Tuohy, dia membuka hatinya untuk menerima keberadaan seorang pemuda kulit hitam, Michael "Big Mike" Oher, pemuda yang dari segi apapun tampak tidak menjanjikan kehidupan berarti. Serius. Leigh Anne sudah memiliki karir sukses, keluarga mapan (seorang suami dan dua anak), namun hati kecilnya menyatakan ada sesuatu yang spesial di dalam diri Michael, sehingga diputuskanlah untuk mengadopsinya sebagai anak.
Entah kenapa, ada beberapa film yang saat ditonton ulang untuk kedua kalinya, justru terasa lebih "mengena".
Kasusnya terjadi pada film "Loving Vincent" (yang telah saya ulas di artikel sebelumnya). Kini, kasus kedua adalah film "The Blind Side". Sebenarnya saya sudah pernah menonton film ini bertahun-tahun yang lalu, saat gegap gempita Academy Award 2010 berkembang, dimana sang aktris utama, Sandra Bullock, sukses memperoleh piala Oscar untuk pertama kali melalui perannya di sana. Satu nominasi lagi diperoleh untuk kategori paling bergengsi, Best Motion Picture of The Year alias Film Terbaik, meski harus kalah dari "The Hurt Locker".
Saat pertama kali menonton, saya tidak menemukan kekuatan drama yang disuguhkan, entah apa yang salah dengan pikiran saya saat itu. Haha. Tipe film perjuangan from zero to hero seperti ini sudah sering dibuat oleh Hollywood, dengan beragam judul dan genre. Jujur, saya tidak terlalu menyukai apa yang disuguhkan "The Blind Side", dengan jalinan kisah standar dan kurang menggigit.
Jadi, saat mencoba menonton ulang, saya memasang ekspektasi rendah, dan terkesima dengan hasilnya! Ternyata, film ini adalah kisah nyata yang diangkat ke layar lebar. Hal yang paling menyentuh saya adalah motif perjuangan Sandra Bullock. Memerankan seorang ibu bernama Leigh Anne Tuohy, dia membuka hatinya untuk menerima keberadaan seorang pemuda kulit hitam, Michael "Big Mike" Oher, pemuda yang dari segi apapun tampak tidak menjanjikan kehidupan berarti. Serius. Leigh Anne sudah memiliki karir sukses, keluarga mapan (seorang suami dan dua anak), namun hati kecilnya menyatakan ada sesuatu yang spesial di dalam diri Michael, sehingga diputuskanlah untuk mengadopsinya sebagai anak.
Benar, sebagai anak, alias sebagai bagian dari keluarga Tuohy.
Keputusan tersebut jelas mendapat pertentangan, terlebih dari teman-teman Leigh Anne, yang mencibir tanpa ragu. Jangan lupa, masyarakat Amerika masih bersinggungan dengan isu ras, apalagi keluarga Tuohy dianggap "keluarga berkelas". Meski demikian, Leigh Anne tetap pada pendiriannya, malah dia memasukkan Michael ke dalam klub football, keputusan berani yang akhirnya mengubah hidup pemuda tersebut.
Oh Sandra Bullock... saya ingin mengucapkan terima kasih. Kekuatan peranmu membuat film ini sungguh terasa personal, karena saya tahu benar bagaimana kegigihan seorang ibu memperjuangan masa depan anaknya.
Keputusan tersebut jelas mendapat pertentangan, terlebih dari teman-teman Leigh Anne, yang mencibir tanpa ragu. Jangan lupa, masyarakat Amerika masih bersinggungan dengan isu ras, apalagi keluarga Tuohy dianggap "keluarga berkelas". Meski demikian, Leigh Anne tetap pada pendiriannya, malah dia memasukkan Michael ke dalam klub football, keputusan berani yang akhirnya mengubah hidup pemuda tersebut.
Oh Sandra Bullock... saya ingin mengucapkan terima kasih. Kekuatan peranmu membuat film ini sungguh terasa personal, karena saya tahu benar bagaimana kegigihan seorang ibu memperjuangan masa depan anaknya.
![]() |
Salah satu adegan dalam film The Blind Side, dimana Leigh Anne (diperankan Sandra Bullock) sedang mengarahkan Michael bagaimana caranya bermain football yang benar sumber gambar: cnn.com |
"If you are not willing to take the unusual, you will have to settle for the ordinary"
-- Jim Rohn
-- Jim Rohn
Astaga, Kamu yang Seharusnya Lebih Malu!
Jadi, apa sebenarnya motif Leigh Anne dalam mengadopsi Michael? jawabannya muncul dalam salah satu adegan, dimana ada dialog yang melibatkan Leigh Anne dan teman-temannya (Beth dan Elaine), kurang lebih begini:
Beth : Menurutku apa yang kamu lakukan itu hebat. Membuka rumahmu untuknya... honey, kau telah mengubah hidup anak itu.
Leigh Anne : Tidak, dialah yang telah mengubah hidupku.
Elaine : (tertawa menghina) Dan itu bagus untukmu. Tapi cobalah serius, Leigh Anne, tidakkah kamu cemas pada Collins (putrimu sendiri)? Maksudku, dia adalah gadis cantik berkulit putih, dan dia (Michael) berbadan besar dan berkulit hitam.
Leigh Anne : Shame on you!
Beth : Menurutku apa yang kamu lakukan itu hebat. Membuka rumahmu untuknya... honey, kau telah mengubah hidup anak itu.
Leigh Anne : Tidak, dialah yang telah mengubah hidupku.
Elaine : (tertawa menghina) Dan itu bagus untukmu. Tapi cobalah serius, Leigh Anne, tidakkah kamu cemas pada Collins (putrimu sendiri)? Maksudku, dia adalah gadis cantik berkulit putih, dan dia (Michael) berbadan besar dan berkulit hitam.
Leigh Anne : Shame on you!
Ungkapan "Shame on you" yang dilemparkan Leigh Anne bisa diartikan menjadi "Kau seharusnya malu pada dirimu sendiri!" atau "Dasar kau tak tahu malu!", kurang lebih demikian. Dari percakapan di atas, Elaine menganggap bahwa Leigh Anne seharusnya tidak mencampur seorang anak laki-laki berkulit hitam dengan putrinya sendiri yang berkulit putih dalam satu rumah. Elaine khawatir putri Leigh Anne akan merasa terintimidasi dan terhina.
Lihat? Teman Leigh Anne masih terjebak dalam pola pikir rasial, yang dianggapnya benar demi menjaga keutuhan kelas sosial, sementara Leigh Anne tahu kalau pandangan semacam itu salah. Tanpa lempar argumen lebih lanjut, Leigh Anne hanya merespon dengan satu kalimat menusuk: "Shame on you!"
Apakah akhirnya Leigh Anne menyerah? Tidak, sama sekali tidak. Dengan gigih dia memberi Michael pendidikan layak, kebutuhan sandang dan pangan mencukupi, hingga kesempatan bergabung dalam klub football. Mengacu pada dialog di atas, bisa dipahami mungkin saja yang membuat Leigh Anne berjuang mati-matian adalah karena sesungguhnya bukan dirinya yang mengubah Michael, melainkan Michael-lah yang mengubah dia.
Lihat? Teman Leigh Anne masih terjebak dalam pola pikir rasial, yang dianggapnya benar demi menjaga keutuhan kelas sosial, sementara Leigh Anne tahu kalau pandangan semacam itu salah. Tanpa lempar argumen lebih lanjut, Leigh Anne hanya merespon dengan satu kalimat menusuk: "Shame on you!"
Apakah akhirnya Leigh Anne menyerah? Tidak, sama sekali tidak. Dengan gigih dia memberi Michael pendidikan layak, kebutuhan sandang dan pangan mencukupi, hingga kesempatan bergabung dalam klub football. Mengacu pada dialog di atas, bisa dipahami mungkin saja yang membuat Leigh Anne berjuang mati-matian adalah karena sesungguhnya bukan dirinya yang mengubah Michael, melainkan Michael-lah yang mengubah dia.
![]() |
sumber gambar: highperformanceadvocates.com |
"Nobody can stop you but you. And shame on you if you're the one who stops yourself"
-- Damon Wayans
-- Damon Wayans
Serangan Verbal (Menggunakan Kata-Kata) Dalam Suasana Informal Sehari-hari
Melihat karakter Leigh Anne yang dengan berani melemparkan kalimat, "Shame on you!" kepada orang yang telah menghinanya, saya jadi malu pada diri sendiri. Saya belum sampai taraf seperti itu. Kebanyakan serangan verbal yang mengarah ke saya dibalut dalam bentuk gurauan, sehingga seolah tidak serius, padahal bisa saja itu serius. Jika saya langsung melontarkan kalimat, "Dasar, lo ngga tahu malu!" maka pasti balasannya adalah: "Ya elah... gue cuma becanda, bro! Baper amat."
Nah, begitulah. Jadi serangan verbal yang mengarah kepada saya selalu dianggap gurauan, sehingga saya memilih tersenyum miris, atau ikut bergurau. Untuk kasus yang lebih serius, saya memilih tersenyum saja atau diam. Biasanya respon ini lebih ampuh untuk membuat orang tersebut tidak lagi melontarkan serangan verbal seperti itu.
Saya tertarik mengangkat pengalaman seorang teman di kantornya. Jadi begini. Dia adalah seorang karyawan yang berusaha mengeluarkan usaha terbaik dalam pekerjaan. Saat dia terlihat tekun bekerja sementara orang lain memilih malas-malasan di jam kerja (bermain game, mengobrol panjang lebar dengan orang lain, merokok, dan semacamnya), ada seorang karyawan usil berkata, "Kerja itu ngga usah terlalu serius, gaji gue juga ngga jauh beda sama lo, santai aja kali. Masih ada besok!"
Seperti mayoritas serangan verbal dalam kantor, kalimat itu tentu saja dianggap gurauan, sehingga mengundang beberapa teman lain ikut tertawa. Saya sendiri mungkin akan tertawa miris saat diserang seperti itu, namun tidak dengan teman satu ini. Dia langsung membalas, "Yang penting gue kerja bener, ngga makan gaji buta."
Nah, hal-hal seperti itu yang bisa disamakan dengan ungkapan "Shame on you!" milik Leigh Anne. Dalam "The Blind Side", Leigh Anne mendapat serangan verbal berupa rasisme, yang mana itu tampak berat dan serius, sehingga dia melontarkan serangan verbal balasan, bukti keteguhan hatinya membela sikap.
Oke. Kita selalu menganggap kalau tema SARA adalah tema berat dan tidak seharusnya dijadikan gurauan, namun... hei, bukankah dalam keseharian kita, begitu banyak serangan verbal dalam bentuk gurauan dalam obrolan informal? Tidak berupa SARA kok. Coba saja perhatikan. Apakah kalian familiar dengan gurauan terkait kondisi fisik, selera akan sesuatu hal, jabatan, harta, keturunan, pilihan pendidikan, tingkat kecerdasan dan lain sebagainya? Pokoknya, yang tidak dianggap "berat" dan menggunakan pembelaan "cuma gurauan".
Bagi para pelontar gurauan, sebagian besar menganggap itu cuma sepele, jadi mereka tidak berharap para korbannya serius menanggapi, apalagi memasukkannya dalam hati. Astaga, apakah saya baru saja menggunakan istilah "korban"? Hm, sepertinya berat sekali ya, tapi memang kenyataanya begitu kok. Meski dalam suasana informal, tetap saja ada pelaku serangan verbal dan ada pula korban serangan verbal. Jujur, saya sendiri pernah berada di kedua sisi tersebut, sebagai pelaku dan juga korban, hehe. Hal-hal semacam itu sudah lumrah soalnya, jadi kalau dipikir-pikir lagi sekarang, saya jadi merasa bersalah sendiri kepada mereka-mereka yang pernah saya serang secara verbal.
Kenapa saya mengangkat isu ini? Karena beberapa waktu belakangan, saya pernah menjadi korban dalam sebuah serangan verbal bertubi-tubi yang cukup menusuk perasaan. Ironisnya, sang pelaku tidak merasa saya terluka (mungkin karena saya tertawa kikuk saat itu), sehingga dia bebas mengoceh sesuka hati. Setelah saya analisa mendalam, ternyata si pelaku ini kerap melontarkan serangan verbal juga ke orang lain, dan dia tidak menganggapnya serius. Analisa lebih lanjut didapat sebuah kesimpulan: bisa jadi ini karma bagi saya, karena dulu pernah mengoceh sesuka hati kepada beberapa orang, menganggapnya sebagai gurauan, padahal bisa saja orang itu terluka secara batin.
Waduh. Jadi ini semacam pembalasan sepertinya, sebuah pengingat dari Tuhan.
Oke. Melalui artikel ini, saya ingin berterima kasih kepada si pelaku serangan verbal ke saya itu (tidak perlu diumbar identitasnya), karena atas jasamu, saya merasakan sendiri pedihnya hati diiris oleh lisan. Serius. Butuh waktu lama untuk kembali memompa semangat positif dan bangkit. Kini, saya berjanji kepada diri sendiri bahwa saya berusaha tidak akan melontarkan serangan verbal ke orang lain, meski sebatas gurauan (batasnya sendiri masih agak kabur, jadi saya dalam tahap belajar juga). Saya akan berusaha memproses semua dulu dalam otak, sebelum terlontar oleh lisan.
Bagi saya, pilihan hidup orang lain adalah pilihan mereka sendiri, selama mereka yakin dan teguh akan pendiriannya. Termasuk mereka-mereka yang percaya diri akan kondisi fisiknya, selera memilih sesuatu, pola pikir, asmara, finansial, dan pernik hidup lain. Saya memandang orang demikian dengan hormat, tidak berani mencampuri lebih dalam urusan hidupnya kecuali diizinkan untuk menyumbang saran. Tidak perlu menghakimi dengan membabi buta pula juga, karena saya sendiri pun masih bergulat dengan permasalahan hidup sendiri.
Well, sebagai penutup, mari kembali lagi ke pembahasan karakter Leigh Anne dalam film "The Blind Side". Beranikah kita seperti dirinya yang melontarkan kalimat "Shame on you" pada mereka yang mencibir? Leigh Anne yakin bahwa tindakannya benar dan manusiawi, saat orang lain justru mempertanyakan "ketidaknormalan perilakunya". Saya sendiri sih belum berani, hehe, karena ya itu tadi... serangan verbal yang diterima lebih sering berada dalam suasana informal, sehingga jika saya melontarkan serangan balasan semacam: "Dasar, lo ngga tahu malu udah ngomong begitu!" maka dapat dipastikan jawabannya adalah...
"Ya elah, baper amat sih lu! Gue cuma bercanda kali..."
Begitulah. Lagipula, mayoritas serangan verbal yang mengarah ke saya sepertinya gurauan semata kok, jadi... ya sudahlah. Untuk saat ini, bertahan dari serangan verbal tampaknya lebih mudah ketimbang melontarkan balasan berupa, "Shame on you!"
Hm... atau mungkin di masa mendatang, saat serangan verbal tersebut sudah masuk ranah yang berat, saya akan mengingat karakter Leigh Anne dan mengumpulkan segenap keberanian untuk mengatakan, "Shame on you!". Dengan demikian, saya bisa tahu bagaimana rasanya setelah melemparkan balasan semacam itu.
Nah, begitulah. Jadi serangan verbal yang mengarah kepada saya selalu dianggap gurauan, sehingga saya memilih tersenyum miris, atau ikut bergurau. Untuk kasus yang lebih serius, saya memilih tersenyum saja atau diam. Biasanya respon ini lebih ampuh untuk membuat orang tersebut tidak lagi melontarkan serangan verbal seperti itu.
Saya tertarik mengangkat pengalaman seorang teman di kantornya. Jadi begini. Dia adalah seorang karyawan yang berusaha mengeluarkan usaha terbaik dalam pekerjaan. Saat dia terlihat tekun bekerja sementara orang lain memilih malas-malasan di jam kerja (bermain game, mengobrol panjang lebar dengan orang lain, merokok, dan semacamnya), ada seorang karyawan usil berkata, "Kerja itu ngga usah terlalu serius, gaji gue juga ngga jauh beda sama lo, santai aja kali. Masih ada besok!"
Seperti mayoritas serangan verbal dalam kantor, kalimat itu tentu saja dianggap gurauan, sehingga mengundang beberapa teman lain ikut tertawa. Saya sendiri mungkin akan tertawa miris saat diserang seperti itu, namun tidak dengan teman satu ini. Dia langsung membalas, "Yang penting gue kerja bener, ngga makan gaji buta."
Nah, hal-hal seperti itu yang bisa disamakan dengan ungkapan "Shame on you!" milik Leigh Anne. Dalam "The Blind Side", Leigh Anne mendapat serangan verbal berupa rasisme, yang mana itu tampak berat dan serius, sehingga dia melontarkan serangan verbal balasan, bukti keteguhan hatinya membela sikap.
Oke. Kita selalu menganggap kalau tema SARA adalah tema berat dan tidak seharusnya dijadikan gurauan, namun... hei, bukankah dalam keseharian kita, begitu banyak serangan verbal dalam bentuk gurauan dalam obrolan informal? Tidak berupa SARA kok. Coba saja perhatikan. Apakah kalian familiar dengan gurauan terkait kondisi fisik, selera akan sesuatu hal, jabatan, harta, keturunan, pilihan pendidikan, tingkat kecerdasan dan lain sebagainya? Pokoknya, yang tidak dianggap "berat" dan menggunakan pembelaan "cuma gurauan".
Bagi para pelontar gurauan, sebagian besar menganggap itu cuma sepele, jadi mereka tidak berharap para korbannya serius menanggapi, apalagi memasukkannya dalam hati. Astaga, apakah saya baru saja menggunakan istilah "korban"? Hm, sepertinya berat sekali ya, tapi memang kenyataanya begitu kok. Meski dalam suasana informal, tetap saja ada pelaku serangan verbal dan ada pula korban serangan verbal. Jujur, saya sendiri pernah berada di kedua sisi tersebut, sebagai pelaku dan juga korban, hehe. Hal-hal semacam itu sudah lumrah soalnya, jadi kalau dipikir-pikir lagi sekarang, saya jadi merasa bersalah sendiri kepada mereka-mereka yang pernah saya serang secara verbal.
Kenapa saya mengangkat isu ini? Karena beberapa waktu belakangan, saya pernah menjadi korban dalam sebuah serangan verbal bertubi-tubi yang cukup menusuk perasaan. Ironisnya, sang pelaku tidak merasa saya terluka (mungkin karena saya tertawa kikuk saat itu), sehingga dia bebas mengoceh sesuka hati. Setelah saya analisa mendalam, ternyata si pelaku ini kerap melontarkan serangan verbal juga ke orang lain, dan dia tidak menganggapnya serius. Analisa lebih lanjut didapat sebuah kesimpulan: bisa jadi ini karma bagi saya, karena dulu pernah mengoceh sesuka hati kepada beberapa orang, menganggapnya sebagai gurauan, padahal bisa saja orang itu terluka secara batin.
Waduh. Jadi ini semacam pembalasan sepertinya, sebuah pengingat dari Tuhan.
Oke. Melalui artikel ini, saya ingin berterima kasih kepada si pelaku serangan verbal ke saya itu (tidak perlu diumbar identitasnya), karena atas jasamu, saya merasakan sendiri pedihnya hati diiris oleh lisan. Serius. Butuh waktu lama untuk kembali memompa semangat positif dan bangkit. Kini, saya berjanji kepada diri sendiri bahwa saya berusaha tidak akan melontarkan serangan verbal ke orang lain, meski sebatas gurauan (batasnya sendiri masih agak kabur, jadi saya dalam tahap belajar juga). Saya akan berusaha memproses semua dulu dalam otak, sebelum terlontar oleh lisan.
Bagi saya, pilihan hidup orang lain adalah pilihan mereka sendiri, selama mereka yakin dan teguh akan pendiriannya. Termasuk mereka-mereka yang percaya diri akan kondisi fisiknya, selera memilih sesuatu, pola pikir, asmara, finansial, dan pernik hidup lain. Saya memandang orang demikian dengan hormat, tidak berani mencampuri lebih dalam urusan hidupnya kecuali diizinkan untuk menyumbang saran. Tidak perlu menghakimi dengan membabi buta pula juga, karena saya sendiri pun masih bergulat dengan permasalahan hidup sendiri.
Well, sebagai penutup, mari kembali lagi ke pembahasan karakter Leigh Anne dalam film "The Blind Side". Beranikah kita seperti dirinya yang melontarkan kalimat "Shame on you" pada mereka yang mencibir? Leigh Anne yakin bahwa tindakannya benar dan manusiawi, saat orang lain justru mempertanyakan "ketidaknormalan perilakunya". Saya sendiri sih belum berani, hehe, karena ya itu tadi... serangan verbal yang diterima lebih sering berada dalam suasana informal, sehingga jika saya melontarkan serangan balasan semacam: "Dasar, lo ngga tahu malu udah ngomong begitu!" maka dapat dipastikan jawabannya adalah...
"Ya elah, baper amat sih lu! Gue cuma bercanda kali..."
Begitulah. Lagipula, mayoritas serangan verbal yang mengarah ke saya sepertinya gurauan semata kok, jadi... ya sudahlah. Untuk saat ini, bertahan dari serangan verbal tampaknya lebih mudah ketimbang melontarkan balasan berupa, "Shame on you!"
Hm... atau mungkin di masa mendatang, saat serangan verbal tersebut sudah masuk ranah yang berat, saya akan mengingat karakter Leigh Anne dan mengumpulkan segenap keberanian untuk mengatakan, "Shame on you!". Dengan demikian, saya bisa tahu bagaimana rasanya setelah melemparkan balasan semacam itu.
-Bayu-
Catatan selama proses menulis:
Vladimir John Ondrasik III atau dikenal dengan nama panggungnya, Five For Fighting, kerap menghasilkan musik-musik alternative soft rock dengan iringan piano yang kental, disertai lirik indah. Salah satu karya dari musisi asal Amerika Serikat ini berjudul "Chances", lagu bernapaskan pop rock yang lebih dulu muncul di album Slice, sebelum akhirnya diboyong ke dalam album soundtrack "The Blind Side". Lagu ini muncul saat credit title bergulir di akhir film. Lirik dan aransemennya yang menyentuh membuat saya terus-menerus memutarnya sepanjang proses menulis.
![]() |
sumber gambar: movieinsider.com |