![]() |
Samudera yang luas terlihat indah dari permukaan, namun tidak ada yang tahu seberapa kelam isinya. Kurang lebih seperti itulah kehidupan seseorang. sumber gambar: videezy.com |
"It is better to offer no excuse than a bad one" -- George Washington
Fenomena Serial Drama "Big Little Lies"
Saya tidak terlalu banyak menonton serial televisi, baik lokal maupun internasional.
Menurut saya, menonton film lebih mengasyikkan, karena ceritanya langsung dapat dipastikan habis dalam durasi pemutaran yang dibatasi jam. Yah, meskipun ada film yang memiliki akhir cerita menggantung, setidaknya jika kita membicarakan judul satu film, kita tahu bahwa ceritanya berkisar tentang apa saja yang terjadi sepanjang durasinya, tidak lebih. Hal berbeda jika kita membicarakan serial televisi. Sudah menjadi petunjuk tak tertulis bahwa kita harus menonton keseluruhan episode dalam serial tersebut untuk dapat memahami inti ceritanya.
Begitulah. Itu yang menyebabkan saya kurang tertarik mengikuti serial televisi, khawatir tidak konsisten mengikuti perkembangannya. Jadi, saat Emmy Award 2017 tahun lalu mengumumkan deretan pemenangnya untuk kategori komedi, drama, seri terbatas dan film untuk televisi, saya hanya membacanya sepintas lalu, tidak seantusias melihat nama pemenang Oscar atau Grammy. Jika kalian belum tahu, Emmy Award adalah penghargaan untuk insan pertelevisian di Amerika Serikat. Gengsinya setara dengan Oscar (untuk film), Grammy (untuk musik), dan Tony (untuk teater). Sehingga, jika ada orang yang bisa memenangi keempat piala tersebut sepanjang hidupnya (disebut EGOT, gabungan dari inisial keempat acara), bisa dipastikan dia memiliki bakat emas di bidang hiburan.
Kembali ke Emmy Award 2017. Saya membaca deretan pemenangnya. Veep, The Crown, Saturday Night Live, Big Little Lies, Atlanta, The Handmaid's Tale... ah, oke. Saat itu sebenarnya saya sudah menangkap pola unik: banyak pemenang dari "The Handmaid's Tale", juga "Big Little Lies". Oke. Sampai disitu saja. Tidak ada keinginan dan kebutuhan untuk mencari tahu tentang kedua serial tersebut.
Nyatanya.... semua berubah saat saya mendengar lagu Michael Kiwanuka berjudul "Cold Little Heart" melalui Spotify suatu hari. Saya sungguh menyukainya, dan penasaran mencari tahu lebih lanjut. Ada satu fakta menarik yang saya temukan: Lagu ini menjadi lagu pembuka di serial "Big Little Lies"! Ingatan saya langsung kembali ke hasil pemenang Emmy Award. Wah, saya cukup terkejut lagu "Cold Little Heart" bisa ditempatkan menjadi lagu pembuka. Bukan meremehkan, hanya saja melalui poster "Big Little Lies" yang ada di internet, saya merasa serial itu berisikan drama antar wanita yang mungkin memuat dialog-dialog panjang (termasuk gosip) dan permainan emosi melalui teriakan dan makian. Ini poster yang saya maksud:
![]() |
sumber gambar: pinterest.com |
Jika lagu "Cold Little Heart" yang bernuansa sedikit kelam dipasang sebagai pembuka serial dengan poster di atas, pikiran saya langsung menyimpulkan sesuatu: sepertinya ini bukan serial televisi biasa saja. Sorot mata mereka pasti menyimpan sesuatu, apalagi tagline-nya adalah: "Kehidupan yang sempurna berarti kebohongan yang sempurna". Nah lho, apa maksudnya itu? Sedikit demi sedikit, penasaran mulai merasuk dalam benak, dan akhirnya saya mendapat fakta menarik: lima pemain serial ini dinominasikan dalam Emmy Award dan Golden Globe Award, dengan hasil tiga pemain berhasil memperoleh piala di kedua ajang tersebut: yakni Nicole Kidman (Lead Actress), Alexander Skarsgard (Supporting Actor) dan Laura Dern (Supporting Actress). Dua lainnya harus puas hanya masuk nominasi, yakni Reese Witherspoon (Lead Actress) dan Shailene Woodley (Supporting Actress).
Ditambah, serial ini memenangkan Emmy Award untuk kategori "Outstanding Limited Series", artinya Serial Terbatas/Miniseri Terbaik. Apakah saya harus menontonnya? Hm... Entahlah.
Seolah menggoda saya, kanal HBO Signature suatu hari menayangkan seluruh episode "Big Little Lies" lengkap, maraton selama dua hari untuk total tujuh episode. Apakah ini semacam tantangan? Bisa jadi. Saya mengatur waktu untuk menonton semua episodenya, dan sungguh terkesima. Ternyata menonton tanpa ekspektasi apa pun bisa membuat saya terkejut akan hasilnya.
Penelusuran lebih lanjut melalui internet membuahkan hasil lagi: serial ini ternyata diadaptasi dari novel laris karya Liane Moriarty, penulis asal Australia yang karyanya telah diterjemahkan ke banyak bahasa. Novel "Big Little Lies" berhasil menembus pasar Amerika Serikat dan kemudian diangkat menjadi serial televisi populer. Ah, saya selalu suka pada materi film/serial yang diangkat dari bahan tulisan. Tertarik untuk menelusuri kisah aslinya, saya akhirnya membaca buku tersebut.
"The mistake ninety-nine percent of humanity made, was being ashamed of what they were, lying about it, trying to be somebody else"
Hati-Hati, Satu Masalah yang Disembunyikan Erat Bisa Menjadi Sebuah Bom Waktu
Inilah yang bisa saya rangkum setelah membaca novel dan menonton serial "Big Little Lies". Kisahnya berpusat pada tiga wanita utama, sesuai poster di atas: Celeste (diperankan Nicole Kidman), Madeline (diperankan Reese Witherspoon) dan Jane (diperankan Shailene Woodley). Ketiga wanita tersebut adalah ibu dari anak-anak yang masih duduk di bangku TK.
Kita akan disuguhi kisah Madeline yang cerewet, penuntut dan emosional menghadapi keluarganya dan keluarga mantan suaminya; kisah Jane yang pendiam dengan masa lalu kelam, serta harus berjuang membuktikan anaknya bukanlah seorang perisak (pelaku bullying); dan terakhir... kisah Celeste. Dari ketiga wanita utama, mungkin Celeste adalah sosok yang paling terlihat sempurna dari luar: cantik, pintar, kaya, suami tampan, tidak sombong, kedua anak kembar yang sehat... bisa dibilang sempurna, bukan?
Ternyata, kesempurnaan Celeste itu justru menyimpan banyak luka. Yang tidak disadari Madeline dan Jane, Celeste harus berjuang menghadapi suaminya yang berperilaku sopan di luar, namun saat di rumah... bisa bertindak kejam (ini bukan spoiler, karena ending twist-nya lebih mengejutkan). Celeste lihai menutupi semuanya, bahkan dari sahabatnya sendiri. Saat kejadian demi kejadian terus merusak jiwa dan fisiknya, Celeste mulai meragukan kehidupan pernikahan dia sendiri. Demi melindungi kedua putranya, Celeste merencanakan sesuatu, sebuah rencana yang tanpa disangka malah menyeret Madeline dan Jane ke dalam pusaran konflik yang lebih menakutkan, karena berujung pada hilangnya nyawa seseorang. Wow.
Oke, dari beberapa isu yang coba diangkat Liane Moriarty di dalam novel (dan kesemuanya merupakan isu berbobot, harus diakui), saya tertarik membahas mengenai citra diri. Isu ini mungkin tidak sesanter isu lainnya jika membicarakan "Big Little Lies", namun cukup menggelitik saya. Mengapa? Karena sedemikian dekatnya isu ini dengan kehidupan sehari-hari, dan mungkin cenderung dianggap remeh.
Selain itu, saya coba memfokuskan hanya pada karakter Celeste, sebuah karakter yang membuktikan bahwa penampilan seseorang tidaklah mencerminkan kondisi kehidupan pribadinya. Celeste selalu mengalihkan pikirannya dari masalah dengan menganggapnya enteng. Dia merasa bahwa apa yang dialaminya banyak dialami orang lain juga, hanya sebuah masalah biasa dalam pernikahan. Baik Celeste maupun suaminya, Perry, sama-sama ingin menampakkan yang baik-baik saja di luar. Celeste tidak ingin orang lain mengasihani dan mengetahui masalah yang dia alami, karena... sekali lagi, bisa saja semua orang mengalaminya juga. Bukan masalah besar.
Berikut kutipan yang diambil dari halaman 429 mengenai isu di atas:
Perry sudah memasang foto mereka memakai kostum di Facebook. Itu akan membuat mereka terlihat sebagai orang yang mempunyai selera humor, lucu, menyenangkan, tidak terlalu serius, serta peduli terhadap sekolah dan masyarakat setempat. Foto itu melengkapi foto-foto lain yang dipasang tentang perjalanan mereka ke luar negeri serta acara-acara kebudayaan yang mahal. Malam kuis di sekolah adalah acara yang tepat untuk pencitraan saja.
Celeste tidak perlu berpura-pura senang. Apa pun yang suaminya pilih pasti sempurna. Ia selalu bangga dirinya mampu memilih kado dengan tepat, tetapi Perry lebih jago lagi. Saat terakhir kali pergi ke luar negeri, Perry menemukan tutup botol sampanye pink yang sangat menyolok. "Aku melihatnya sekilas dan langsung teringat Madeline," katanya. Tentu saja Madeline menyukainya. Hari ini akan sempurna dalam segala hal. Foto-foto Facebook tidak akan berbohong. Penuh suka cita. Hidup Celeste penuh suka cita. Itu fakta.
"The rules are simple: they lie to us, we know they're lying, they know we know they're lying, but they keep lying to us, and we keep pretending to believe them"
Semua Orang Punya Masalah, Termasuk Diri Saya Sendiri
Meski Celeste tahu kehidupannya bermasalah, dia memasang tameng pertahanan, yang akhirnya membentuk aturan tak tertulis mengenai citra diri dia di depan publik: "Tampilkan yang baik, jangan biarkan mereka melihat sisi rapuh dan buruk diri saya. Jangan beri mereka bahan untuk bergunjing."
Coba kalian simak dialog di bawah ini (ada di dalam salah satu episodenya yang berjudul "Burning Love"), dimana saat itu Celeste sedang berbincang dengan konselor pernikahan, yang terkejut mendapati Celeste baru paham mengenai tingkah laku suaminya:
Konselor: Aku tidak mengerti mengapa kamu baru menyadarinya sekarang, karena aku jelas merasakannya. Apakah kamu telah memberi tahu orang lain mengenai penyerangan ini?
Celeste: Tidak.
Konselor: Kenapa tidak?
Celeste: Aku tidak tahu.
Konselor: Coba cari tahu jawabannya.
Celeste: Mungkin harga diriku muncul dari bagaimana orang lain melihatku.
Konselor: (tertawa kecil) Maaf. Aku hanya kagum pada pasien yang memiliki kesadaran diri yang besar di balik cangkang keras penolakan.
Nah, itu dia. Kalimat yang berwarna biru menunjukkan jawaban mengapa Celeste menyimpan semua masalahnya sendiri. Celeste tidak ingin orang lain tahu bahwa dirinya bermasalah, bahwa rumah tangganya hancur dari dalam, bahwa dirinya sama rapuh seperti orang lain, bahwa kehidupannya tidak sempurna seperti yang orang lain kira. Semua itu tersembunyi dalam selubung cangkang nyaman.
Celeste tidak ingin harga dirinya hancur, itu saja.
Apakah membangun cangkang kerahasiaan ini bagus? Bisa iya bisa tidak. Bagus untuk kepentingan menyembunyikan rahasia, karena rahasia tidak seharusnya diumbar begitu saja. Buruk jika kita menyimpannya terlalu lama dan tidak pernah dikeluarkan dalam cara yang sehat. Hal tersebut bisa menggerogoti kita dari dalam, dan sampai saatnya tiba, semua akan pecah meluap, menimbulkan konflik lain. Mungkin ada baiknya coba disalurkan dengan cara yang sehat, bisa dengan menemui mereka yang lebih paham, atau sekedar bercerita kepada orang terpercaya. Bisa juga mendekatkan diri pada ajaran agama, karena bisa jadi jiwa kita sedang butuh penyegaran dan tuntunan batin.
Jika disambungkan dengan kehidupan orang lain di sekeliling kita, mudah menemukan cangkang-cangkang semacam itu, bukan? Karena saya yakin, hampir semua orang melakukannya. Kita bersembunyi di cangkang aman masing-masing. Yang membedakan hanya ketebalannya saja. Mereka yang bersembunyi di cangkang lemah cenderung lebih terbuka pada orang lain, tahu pasti kapan harus bercerita, kapan harus disimpan. Sementara yang memiliki cangkang tebal, bisa dipastikan akan menutup diri rapat-rapat, hanya orang tertentu saja yang bisa mengaksesnya. Sisi ekstrem dari cangkang tebal adalah stres mendalam, karena terlalu menutupi fakta yang ada, tanpa mencari pemecahan solusinya.
Begitulah. Sebaiknya kalian mulai menganalisa sendiri, cangkang mana yang baik untuk kondisi kesehatan jiwa kita. Hanya kita yang tahu persis bagaimana rasanya mengalami sebuah peristiwa tidak nyaman dalam hidup. Penolakan, kematian, perpisahan, pengkhianatan dan hal-hal semacam itu... semua bisa menimbulkan masalah jika kita tidak menanganinya dengan baik. Hal pertama yang sebaiknya dilakukan saat bertemu dengan masalah adalah: mengakui kepada diri sendiri bahwa kita memiliki masalah. Mungkin terdengar sepele, namun jika kita tidak mengakuinya, kita seolah membangun tembok semu yang bertuliskan "Ah, aku baik-baik saja, kok" padahal kenyataannya tidak. Itulah awal mula bom waktu permasalahan. Setelah berani mengakui kepada diri sendiri, langkah selanjutnya adalah menemukan solusi, yang mana penanganannya bisa berbeda satu sama lain.
Tentang Rasa Sakit Emosional dan Pengaruh Pikiran
Saya jadi teringat muatan buku "The Subtle Art of Not Giving A F**k" (diterjemahkan menjadi "Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat") karangan Mark Manson. Di halaman 179, dia menulis mengenai derita adalah bagian dari proses, demikian tulisannya: Seperti halnya seseorang yang mengalami rasa sakit fisik untuk membentuk tulang dan otot yang lebih kuat, seseorang harus mengalami sakit emosional untuk mengembangkan ketangguhan emosional yang lebih besar, rasa percaya diri yang lebih kuat, belas kasih yang meningkat, dan secara umum hidup yang lebih bahagia.
Benar. Sakit emosional akan selalu datang menghampiri, dalam segala kondisi. Tidak ada satu orang pun yang mengalami momen "baik-baik saja" sepanjang hidupnya, karena kita semua memiliki masalah. Semua orang pasti menjalani ujian kehidupan dari Tuhan. Sama seperti kisah Celeste. Boleh saja kita tidak membiarkan orang lain tahu, tapi itu hanya akan menggerogoti diri kita perlahan. Mengesampingkan masalah justru membuat masalah itu semakin membesar sedikit demi sedikit.
Bos saya pernah berkata, "Jangan pernah nyimpen bom waktu masalah. Kalo masih bisa diselesaikan segera, selesaikan." Tentu saja bos saya mengacu pada permasalahan dalam pekerjaan, namun saran tersebut bisa diaplikasikan dalam permasalahan hidup apa saja. Ironisnya, bom waktu itulah yang sempat saya alami beberapa waktu belakangan ini, haha. Itulah sebabnya mengapa kisah "Big Little Lies" menjadi semacam pengingat, bahwa saya tidak boleh lagi menyimpan masalah terlalu rapat. Saya berulang kali mengatakan kepada diri sendiri bahwa saya baik-baik saja, padahal kenyataannya tidak.
Saya pun mulai berpikir mengenai bom waktu yang saya pendam. Ugh, rasanya sama sekali tidak mengenakkan. Terasa menyesakkan setiap kali teringat. Entah karena pengaruh "Big Little Lies" atau apa, suatu hari saya memberanikan diri bercerita ke orang lain (dalam hal ini kakak pertama saya, yang selalu dapat melihat jika ada sesuatu yang tidak beres dalam diri ini). Saya mengakui masalah yang membebani pikiran. Setelah bercerita, saya tersadar. Astaga, pikiran adalah sumber segala masalah! Semua ketakutan hanya ada di pikiran. Saya tahu tentang ini (bahkan saya pernah menuliskannya, duh), namun tidak berani mengakuinya. Selalu begitu.
Biang keladi pola pikir ini sama seperti yang ditulis Mamon dalam bukunya yang berjudul "Bahagia Itu Sederhana" (halaman 39), yaitu: Jarak antara kesedihan dan kebahagiaan hanyalah pikiran. Pikiran adalah hal yang ajaib, ia dapat mengubah kebahagiaan menjadi kesedihan, begitu juga sebaliknya. Ah, benar sekali. Pikiran memang hal yang ajaib, sangat ajaib kalau boleh dibilang. Seseorang boleh saja ditempatkan dalam situasi paling merana dalam hidup, namun saat dia tidak membiarkan pikirannya memproduksi buah pikiran negatif, maka dengan sendirinya dia tidak terjatuh dalam lubang kesedihan. Seajaib itu.
Oke, tampaknya saya harus terus melatih pikiran untuk tidak terlalu memikirkan yang macam-macam. Jangan sampai pikiran ini membuat trik lagi untuk menjatuhkan diri saya ke lubang gelap. Bukankah itu yang dilakukan semua orang setiap harinya, bergelut dengan pikirannya masing-masing? Yang bisa menjinakkan pikiran negatifnya akan menang dan menyunggingkan senyum bahagia, sementara bagi yang kalah... harus bersiap ditindas pikirannya sendiri. Mana yang kalian pilih?
-Bayu-
Catatan tambahan:
Saya harus jujur. Awalnya, artikel ini adalah buah pemikiran kacau balau yang saya hasilkan beberapa minggu belakangan. Pernah diterbitkan seminggu yang lalu, namun menyadari bahwa pemaparannya amburadul (terima kasih kepada kakak saya yang telah mengingatkan), saya menyimpannya lagi dalam draf, dan setelah berpikir jernih, mulai menambal sulam di sana-sini. Keberanian untuk mempublikasikan ulang muncul saat seorang rekan blogger sekaligus salah satu pembaca setia blog ini, Yoga Akbar Sholihin, menanyakan tentang "hilangnya" artikel tersebut dari daftar isi blog. Hehe. Maaf, Yog. Itu semacam ledakan emosional sesaat, dan artikel revisinya sudah terbit ulang. Terima kasih telah mengingatkan :-)
Catatan terkait proses menulis artikel:
Saya mendengarkan lagu "Cold Little Heart" yang dinyanyikan oleh Michael Kiwanuka sepanjang proses menulis artikel di atas. Awalnya saya tidak terlalu menaruh perhatian pada lagu ini, namun setelah didengarkan berkali-kali, ternyata dapat membawa aura magis tersendiri dalam memantik ide menulis.
Micahel Kiwanuka adalah seorang musisi asal Inggris, pengusung genre soul, blues rock dan folk rock. Entah bagaimana dia memasukkan semua atau sebagian dari genre tersebut dalam sebuah lagu, yang pasti "Cold Little Heart" adalah suguhan musik soul dan rock yang menenangkan untuk telinga saya. Lagu ini sukses ditempatkan menjadi musik pembuka untuk miniseri "Big Little Lies" produksi HBO.
Lirik menarik yang ada di dalam lagu:
Did you ever notice
I've been ashamed all my life
I've been playing games
![]() |
sumber gambar: ebooks.gramedia.com |
"The mistake ninety-nine percent of humanity made, was being ashamed of what they were, lying about it, trying to be somebody else"
-- J.K. Rowling
Inilah yang bisa saya rangkum setelah membaca novel dan menonton serial "Big Little Lies". Kisahnya berpusat pada tiga wanita utama, sesuai poster di atas: Celeste (diperankan Nicole Kidman), Madeline (diperankan Reese Witherspoon) dan Jane (diperankan Shailene Woodley). Ketiga wanita tersebut adalah ibu dari anak-anak yang masih duduk di bangku TK.
Kita akan disuguhi kisah Madeline yang cerewet, penuntut dan emosional menghadapi keluarganya dan keluarga mantan suaminya; kisah Jane yang pendiam dengan masa lalu kelam, serta harus berjuang membuktikan anaknya bukanlah seorang perisak (pelaku bullying); dan terakhir... kisah Celeste. Dari ketiga wanita utama, mungkin Celeste adalah sosok yang paling terlihat sempurna dari luar: cantik, pintar, kaya, suami tampan, tidak sombong, kedua anak kembar yang sehat... bisa dibilang sempurna, bukan?
Ternyata, kesempurnaan Celeste itu justru menyimpan banyak luka. Yang tidak disadari Madeline dan Jane, Celeste harus berjuang menghadapi suaminya yang berperilaku sopan di luar, namun saat di rumah... bisa bertindak kejam (ini bukan spoiler, karena ending twist-nya lebih mengejutkan). Celeste lihai menutupi semuanya, bahkan dari sahabatnya sendiri. Saat kejadian demi kejadian terus merusak jiwa dan fisiknya, Celeste mulai meragukan kehidupan pernikahan dia sendiri. Demi melindungi kedua putranya, Celeste merencanakan sesuatu, sebuah rencana yang tanpa disangka malah menyeret Madeline dan Jane ke dalam pusaran konflik yang lebih menakutkan, karena berujung pada hilangnya nyawa seseorang. Wow.
Oke, dari beberapa isu yang coba diangkat Liane Moriarty di dalam novel (dan kesemuanya merupakan isu berbobot, harus diakui), saya tertarik membahas mengenai citra diri. Isu ini mungkin tidak sesanter isu lainnya jika membicarakan "Big Little Lies", namun cukup menggelitik saya. Mengapa? Karena sedemikian dekatnya isu ini dengan kehidupan sehari-hari, dan mungkin cenderung dianggap remeh.
Selain itu, saya coba memfokuskan hanya pada karakter Celeste, sebuah karakter yang membuktikan bahwa penampilan seseorang tidaklah mencerminkan kondisi kehidupan pribadinya. Celeste selalu mengalihkan pikirannya dari masalah dengan menganggapnya enteng. Dia merasa bahwa apa yang dialaminya banyak dialami orang lain juga, hanya sebuah masalah biasa dalam pernikahan. Baik Celeste maupun suaminya, Perry, sama-sama ingin menampakkan yang baik-baik saja di luar. Celeste tidak ingin orang lain mengasihani dan mengetahui masalah yang dia alami, karena... sekali lagi, bisa saja semua orang mengalaminya juga. Bukan masalah besar.
Berikut kutipan yang diambil dari halaman 429 mengenai isu di atas:
Perry sudah memasang foto mereka memakai kostum di Facebook. Itu akan membuat mereka terlihat sebagai orang yang mempunyai selera humor, lucu, menyenangkan, tidak terlalu serius, serta peduli terhadap sekolah dan masyarakat setempat. Foto itu melengkapi foto-foto lain yang dipasang tentang perjalanan mereka ke luar negeri serta acara-acara kebudayaan yang mahal. Malam kuis di sekolah adalah acara yang tepat untuk pencitraan saja.
Kutipan lain diambil dari halaman 71:
Celeste tidak perlu berpura-pura senang. Apa pun yang suaminya pilih pasti sempurna. Ia selalu bangga dirinya mampu memilih kado dengan tepat, tetapi Perry lebih jago lagi. Saat terakhir kali pergi ke luar negeri, Perry menemukan tutup botol sampanye pink yang sangat menyolok. "Aku melihatnya sekilas dan langsung teringat Madeline," katanya. Tentu saja Madeline menyukainya. Hari ini akan sempurna dalam segala hal. Foto-foto Facebook tidak akan berbohong. Penuh suka cita. Hidup Celeste penuh suka cita. Itu fakta.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Celeste menanamkan kepercayaan bahwa hidupnya penuh suka cita. Hidupnya sempurna, seperti terpampang pada foto-foto di Facebook yang Perry pasang. Celeste menghindari pemikiran negatif mengenai perilaku kejam suaminya, tidak menceritakannya kepada orang lain, menanggung semua luka sendiri.
Celeste tidak sadar, bahwa permasalahan yang disembunyikannya bisa jadi adalah... sebuah bom waktu. Tik tok. Tik tok.
Celeste tidak sadar, bahwa permasalahan yang disembunyikannya bisa jadi adalah... sebuah bom waktu. Tik tok. Tik tok.
![]() |
Jejak di pasir bisa dihapus, namun tidak dengan kenangan atau trauma, apalagi yang terkelam sumber gambar: dreamstime.com |
"The rules are simple: they lie to us, we know they're lying, they know we know they're lying, but they keep lying to us, and we keep pretending to believe them"
-- Elena Gorokhova
Semua Orang Punya Masalah, Termasuk Diri Saya Sendiri
Meski Celeste tahu kehidupannya bermasalah, dia memasang tameng pertahanan, yang akhirnya membentuk aturan tak tertulis mengenai citra diri dia di depan publik: "Tampilkan yang baik, jangan biarkan mereka melihat sisi rapuh dan buruk diri saya. Jangan beri mereka bahan untuk bergunjing."
Coba kalian simak dialog di bawah ini (ada di dalam salah satu episodenya yang berjudul "Burning Love"), dimana saat itu Celeste sedang berbincang dengan konselor pernikahan, yang terkejut mendapati Celeste baru paham mengenai tingkah laku suaminya:
Konselor: Aku tidak mengerti mengapa kamu baru menyadarinya sekarang, karena aku jelas merasakannya. Apakah kamu telah memberi tahu orang lain mengenai penyerangan ini?
Celeste: Tidak.
Konselor: Kenapa tidak?
Celeste: Aku tidak tahu.
Konselor: Coba cari tahu jawabannya.
Celeste: Mungkin harga diriku muncul dari bagaimana orang lain melihatku.
Konselor: (tertawa kecil) Maaf. Aku hanya kagum pada pasien yang memiliki kesadaran diri yang besar di balik cangkang keras penolakan.
Nah, itu dia. Kalimat yang berwarna biru menunjukkan jawaban mengapa Celeste menyimpan semua masalahnya sendiri. Celeste tidak ingin orang lain tahu bahwa dirinya bermasalah, bahwa rumah tangganya hancur dari dalam, bahwa dirinya sama rapuh seperti orang lain, bahwa kehidupannya tidak sempurna seperti yang orang lain kira. Semua itu tersembunyi dalam selubung cangkang nyaman.
Celeste tidak ingin harga dirinya hancur, itu saja.
Apakah membangun cangkang kerahasiaan ini bagus? Bisa iya bisa tidak. Bagus untuk kepentingan menyembunyikan rahasia, karena rahasia tidak seharusnya diumbar begitu saja. Buruk jika kita menyimpannya terlalu lama dan tidak pernah dikeluarkan dalam cara yang sehat. Hal tersebut bisa menggerogoti kita dari dalam, dan sampai saatnya tiba, semua akan pecah meluap, menimbulkan konflik lain. Mungkin ada baiknya coba disalurkan dengan cara yang sehat, bisa dengan menemui mereka yang lebih paham, atau sekedar bercerita kepada orang terpercaya. Bisa juga mendekatkan diri pada ajaran agama, karena bisa jadi jiwa kita sedang butuh penyegaran dan tuntunan batin.
Jika disambungkan dengan kehidupan orang lain di sekeliling kita, mudah menemukan cangkang-cangkang semacam itu, bukan? Karena saya yakin, hampir semua orang melakukannya. Kita bersembunyi di cangkang aman masing-masing. Yang membedakan hanya ketebalannya saja. Mereka yang bersembunyi di cangkang lemah cenderung lebih terbuka pada orang lain, tahu pasti kapan harus bercerita, kapan harus disimpan. Sementara yang memiliki cangkang tebal, bisa dipastikan akan menutup diri rapat-rapat, hanya orang tertentu saja yang bisa mengaksesnya. Sisi ekstrem dari cangkang tebal adalah stres mendalam, karena terlalu menutupi fakta yang ada, tanpa mencari pemecahan solusinya.
Begitulah. Sebaiknya kalian mulai menganalisa sendiri, cangkang mana yang baik untuk kondisi kesehatan jiwa kita. Hanya kita yang tahu persis bagaimana rasanya mengalami sebuah peristiwa tidak nyaman dalam hidup. Penolakan, kematian, perpisahan, pengkhianatan dan hal-hal semacam itu... semua bisa menimbulkan masalah jika kita tidak menanganinya dengan baik. Hal pertama yang sebaiknya dilakukan saat bertemu dengan masalah adalah: mengakui kepada diri sendiri bahwa kita memiliki masalah. Mungkin terdengar sepele, namun jika kita tidak mengakuinya, kita seolah membangun tembok semu yang bertuliskan "Ah, aku baik-baik saja, kok" padahal kenyataannya tidak. Itulah awal mula bom waktu permasalahan. Setelah berani mengakui kepada diri sendiri, langkah selanjutnya adalah menemukan solusi, yang mana penanganannya bisa berbeda satu sama lain.
Tentang Rasa Sakit Emosional dan Pengaruh Pikiran
Saya jadi teringat muatan buku "The Subtle Art of Not Giving A F**k" (diterjemahkan menjadi "Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat") karangan Mark Manson. Di halaman 179, dia menulis mengenai derita adalah bagian dari proses, demikian tulisannya: Seperti halnya seseorang yang mengalami rasa sakit fisik untuk membentuk tulang dan otot yang lebih kuat, seseorang harus mengalami sakit emosional untuk mengembangkan ketangguhan emosional yang lebih besar, rasa percaya diri yang lebih kuat, belas kasih yang meningkat, dan secara umum hidup yang lebih bahagia.
Benar. Sakit emosional akan selalu datang menghampiri, dalam segala kondisi. Tidak ada satu orang pun yang mengalami momen "baik-baik saja" sepanjang hidupnya, karena kita semua memiliki masalah. Semua orang pasti menjalani ujian kehidupan dari Tuhan. Sama seperti kisah Celeste. Boleh saja kita tidak membiarkan orang lain tahu, tapi itu hanya akan menggerogoti diri kita perlahan. Mengesampingkan masalah justru membuat masalah itu semakin membesar sedikit demi sedikit.
Bos saya pernah berkata, "Jangan pernah nyimpen bom waktu masalah. Kalo masih bisa diselesaikan segera, selesaikan." Tentu saja bos saya mengacu pada permasalahan dalam pekerjaan, namun saran tersebut bisa diaplikasikan dalam permasalahan hidup apa saja. Ironisnya, bom waktu itulah yang sempat saya alami beberapa waktu belakangan ini, haha. Itulah sebabnya mengapa kisah "Big Little Lies" menjadi semacam pengingat, bahwa saya tidak boleh lagi menyimpan masalah terlalu rapat. Saya berulang kali mengatakan kepada diri sendiri bahwa saya baik-baik saja, padahal kenyataannya tidak.
Saya pun mulai berpikir mengenai bom waktu yang saya pendam. Ugh, rasanya sama sekali tidak mengenakkan. Terasa menyesakkan setiap kali teringat. Entah karena pengaruh "Big Little Lies" atau apa, suatu hari saya memberanikan diri bercerita ke orang lain (dalam hal ini kakak pertama saya, yang selalu dapat melihat jika ada sesuatu yang tidak beres dalam diri ini). Saya mengakui masalah yang membebani pikiran. Setelah bercerita, saya tersadar. Astaga, pikiran adalah sumber segala masalah! Semua ketakutan hanya ada di pikiran. Saya tahu tentang ini (bahkan saya pernah menuliskannya, duh), namun tidak berani mengakuinya. Selalu begitu.
Biang keladi pola pikir ini sama seperti yang ditulis Mamon dalam bukunya yang berjudul "Bahagia Itu Sederhana" (halaman 39), yaitu: Jarak antara kesedihan dan kebahagiaan hanyalah pikiran. Pikiran adalah hal yang ajaib, ia dapat mengubah kebahagiaan menjadi kesedihan, begitu juga sebaliknya. Ah, benar sekali. Pikiran memang hal yang ajaib, sangat ajaib kalau boleh dibilang. Seseorang boleh saja ditempatkan dalam situasi paling merana dalam hidup, namun saat dia tidak membiarkan pikirannya memproduksi buah pikiran negatif, maka dengan sendirinya dia tidak terjatuh dalam lubang kesedihan. Seajaib itu.
Oke, tampaknya saya harus terus melatih pikiran untuk tidak terlalu memikirkan yang macam-macam. Jangan sampai pikiran ini membuat trik lagi untuk menjatuhkan diri saya ke lubang gelap. Bukankah itu yang dilakukan semua orang setiap harinya, bergelut dengan pikirannya masing-masing? Yang bisa menjinakkan pikiran negatifnya akan menang dan menyunggingkan senyum bahagia, sementara bagi yang kalah... harus bersiap ditindas pikirannya sendiri. Mana yang kalian pilih?
-Bayu-
Catatan tambahan:
Saya harus jujur. Awalnya, artikel ini adalah buah pemikiran kacau balau yang saya hasilkan beberapa minggu belakangan. Pernah diterbitkan seminggu yang lalu, namun menyadari bahwa pemaparannya amburadul (terima kasih kepada kakak saya yang telah mengingatkan), saya menyimpannya lagi dalam draf, dan setelah berpikir jernih, mulai menambal sulam di sana-sini. Keberanian untuk mempublikasikan ulang muncul saat seorang rekan blogger sekaligus salah satu pembaca setia blog ini, Yoga Akbar Sholihin, menanyakan tentang "hilangnya" artikel tersebut dari daftar isi blog. Hehe. Maaf, Yog. Itu semacam ledakan emosional sesaat, dan artikel revisinya sudah terbit ulang. Terima kasih telah mengingatkan :-)
Catatan terkait proses menulis artikel:
Saya mendengarkan lagu "Cold Little Heart" yang dinyanyikan oleh Michael Kiwanuka sepanjang proses menulis artikel di atas. Awalnya saya tidak terlalu menaruh perhatian pada lagu ini, namun setelah didengarkan berkali-kali, ternyata dapat membawa aura magis tersendiri dalam memantik ide menulis.
Micahel Kiwanuka adalah seorang musisi asal Inggris, pengusung genre soul, blues rock dan folk rock. Entah bagaimana dia memasukkan semua atau sebagian dari genre tersebut dalam sebuah lagu, yang pasti "Cold Little Heart" adalah suguhan musik soul dan rock yang menenangkan untuk telinga saya. Lagu ini sukses ditempatkan menjadi musik pembuka untuk miniseri "Big Little Lies" produksi HBO.
Lirik menarik yang ada di dalam lagu:
Did you ever notice
I've been ashamed all my life
I've been playing games
![]() |
sumber gambar: radiowoodstock.com
Catatan lain: Tidak ada. Sudah cukup banyak!
|
Jarak antara kesedihan dan kebahagiaan hanyalah pikiran. Pikiran adalah hal yang ajaib, ia dapat mengubah kebahagiaan menjadi kesedihan, begitu juga sebaliknya.
BalasHapusSuka banget sama kata2 itu.
Bayu tetap semangat ya!
Wah, makasih Risma. Iya, pikiran emang segitu ajaibnya. Jadi, semua berawal dari pikiran kita sendiri.
HapusRisma juga tetep semangat! :D
Tetap semangat,mas Bayu.
BalasHapusHidup terasa lebih nyaman loh kalau kita sanggup buang jauh-jauh pikiran yang negatif.
Kesedihan,kegagalan anggap saja itu suatu proses.