Jangankan Memperjuangkan Minat, Menemukannya Saja Belum Tentu Berhasil

Salah satu sudut dalam museum Van Gogh di Amsterdam, Belanda
sumber gambar: pinterest.com
"What would life be if we had no courage to attempt anything?" -- Vincent Van Gogh

Film Animasi "Loving Vincent" yang Dibuat dengan Kreatifitas Tinggi

Film animasi selalu menarik perhatian saya.

Dari semua film animasi yang pernah saya tonton, baru ada satu film yang mampu menyihir saya sedemikian rupa saat melihat adegan demi adegannya, yakni film "Loving Vincent". Adegannya dibuat menggunakan LUKISAN TANGAN DENGAN CAT MINYAK! Saya paham bahwa melukis satu kanvas penuh saja butuh proses yang tidak sebentar. Bayangkan jika kita harus melukis setiap adegan demi adegan film!

Nyatanya, itulah yang dilakukan 125 pelukis profesional dari berbagai penjuru dunia (sayangnya, dari Indonesia tidak ada) di studio Loving Vincent di Polandia dan Yunani. Mereka memilih 120 karya asli Vincent Van Gogh untuk ide dasar adegan demi adegan. Setelah itu, aktor dan aktris terpilih akan memerankan tiap adegan dalam studio berlatar green screen. Hasil pengambilan gambarnya akan dipoles oleh bantuan CGI (Computer-Generated Imagery) untuk detail lokasi, properti dan lainnya. Kemudian, proses kreatif nan melelahkan pun dimulai: menyerahkan hasil adegan film kepada para pelukis, untuk dilukis setiap pergerakan adegannya dengan lukisan cat minyak, manual! Hasil kerja keras tersebut menghasilkan 65.000 frame yang menjadi dasar pergerakan animasi.

Ckck. Bukankah itu bisa disebut sebuah proyek ambisius dan penuh perjuangan? Hebatnya lagi, semua adegan dilukis menggunakan gaya khas sapuan kuas Vincent Van Gogh, karena memang film ini didedikasikan untuk mengenang dirinya.

Proses melelahkan para pelukis di dalam studio untuk film "Loving Vincent"
sumber gambar: nightflight.com
Saya mengetahui film ini pertama kali melalui ajang Academy Awards (Oscar) 2018, karena film tersebut dinominasikan dalam kategori "Best Animated Feature Film". Saat menontonnya di bioskop pun saya hanya tertarik akan pergerakan animasinya. Indah sekali. Jujur, saya tidak mengenal siapa itu Vincent Van Gogh. Hehe. Yang saya tahu, dia adalah salah satu pelukis terkenal di dunia. Itu saja. 
Dari kiri ke kanan: Perbandingan karya asli ("Portrait of Armand Roulin" - 1888), tampilan di adegan dan foto pemeran di studio green screen
sumber gambar: aintitcool.com
Saat ditonton, alur film cukup membosankan , pokoknya tidak terlalu spesial. Di beberapa adegan bahkan saya tertidur (mungkin pengaruh menonton di malam hari juga). Entahlah, seperti ada sesuatu yang kurang. Saya menikmatinya sebatas melihat keindahan tampilan lukisannya saja, tidak lebih. Kenapa juri Oscar menganggapnya menarik?

Beberapa bulan kemudian, tanpa sengaja saya menemukan e-book "Lust For Life" saat sedang mencari buku untuk dibaca. Novel karya Irving Stone yang terbit di tahun 1934 ini mengisahkan tentang kehidupan Vincent Van Gogh. Saya jadi teringat salah satu adegan dalam film "Loving Vincent", saat Marguerite Gatchet (diperankan Saoirse Ronan) berkata pada Armand Roulin (diperankan Douglas Booth): "Kau ingin tahu lebih banyak tentang kematiannya (Vincent Van Gogh), tapi apa yang kamu ketahui tentang kehidupannya?"

Benar sekali. Bisa jadi saya tidak memahami film "Loving Vincent" karena saya tidak mengenal siapa itu Vincent Van Gogh, mengetahui satu karyanya pun belum pernah. Jadi, apa salahnya mencoba mencari tahu? Saya pun bertekad mengenal siapa sebenarnya pelukis itu melalui novel "Lust For Life". Hasilnya? Sukses menjungkirbalikkan emosi saya, dalam artian positif! Novel ini sungguh menyentuh. Akhirnya, saya menonton ulang "Loving Vincent" dan... tersenyum senang karena mulai bisa mengikuti alurnya, sekaligus memahami adegan demi adegan. Ah, terasa sangat indah begitu ditonton kedua kalinya.

sumber gambar: ebooks.gramedia.com
"Great things are done by a series of a small things brought together" 
-- Vincent Van Gogh

Untuk Memahami Seseorang, Kita Harus Mengenal Lebih Dalam Tentang Kehidupannya

Vincent Willem Van Gogh adalah seorang pelukis beraliran pasca-impresionis asal Belanda. Di dalam novel, kita diajak menyelami kehidupannya, mulai dari penyalur karya seni di London (Inggris), sebagai misionaris Kristen di Borinage (Belgia), keterlibatan penuh awal sebagai pelukis di Etten (Belanda), pembelajaran melukis dan percobaan dengan cat minyak di Den Haag (Belanda), ketekunan melukis di Nuenen (Belanda), perkenalan dengan para pelukis lain di Paris (Perancis), eksperimen dengan warna cerah di Arles (Perancis), masa depresi di Saint Remy (Perancis) hingga masa akhir hidupnya yang kelam di Auvers (Perancis).

Ada satu poin yang menarik untuk dibahas dari novel ini, yakni passion atau minat. Setelah menggeluti beberapa profesi, Vincent akhirnya sadar bahwa dunianya berwarna cerah saat dirinya melukis. Awalnya, dia hanya iseng membuat sketsa para penambang batu bara di Borinage. Ledakan gairahnya itulah yang akhirnya membuat dia sadar akan minatnya: menangkap ekspresi dan nyawa semua yang terlihat oleh matanya, menjadi sebuah lukisan.

Berikut saya kutip perkataan Vincent kepada adiknya, Theo, mengenai minat melukis ini (halaman 136):

"...Theo, apakah kau sadar apa artinya ini? Setelah waktu bertahun-tahun yang terbuang AKHIRNYA AKU MENEMUKAN JATI DIRIKU! Aku akan menjadi pelukis. Aku pasti akan menjadi pelukis. Aku yakin itu. Karena itulah aku gagal dalam semua pekerjaan lain, karena itu bukan jalanku. Tapi kini aku telah mengerti satu hal dimana aku tidak akan pernah gagal."

"The Self Portrait" (1889), salah satu karya terkenal dari Vincent Van Gogh, sekaligus menunjukkan potret dirinya sendiri
sumber gambar: en.wikipedia.org
Itulah yang membuat Vincent akhirnya melukis bagai kesetanan, dalam artian dia melukis seolah tidak akan ada hari lain. Dengan gigih dia menggoreskan sketsa demi sketsa; mempelajari teknik melukis melalui pelukis lain dan juga hasil lukisan mereka; menuangkan apa yang dilihatnya ke atas kanvas; bereksperimen dengan guratan, emosi subyek, sapuan warna, teknik pencahayaan; juga menanamkan kepercayaan pada dirinya sendiri bahwa lukisannya akan semakin baik dari hari ke hari.

Berikut kutipan pemikiran Vincent yang saya ambil dari halaman 442:

"... Dia tidak puas dengan dirinya sendiri dan apa yang sedang dilakukannya, tetapi dia tetap memiliki sedikit harapan bahwa akhirnya itu akan lebih baik."

"...Namun, satu-satunya waktu saat dia merasa hidup adalah ketika dia sedang bekerja keras dengan karyanya.

Ada kalanya Vincent memang sempat menyerah saat mengetahui hasil lukisannya tidak mengalami kemajuan, namun berkat dorongan motivasi sang adik, akhirnya dia kembali bangkit dan meneruskan disiplinnya dalam melukis. Menyerah dan bangkit. Terus melukis tanpa lelah. Mungkin itulah sebabnya dia menjadi seorang pelukis sejati.

Vincent hidup untuk melukis, bukan melukis untuk hidup, karena -- seperti yang tertera di novel -- keadaan finansialnya tidak bagus. Sepanjang hidupnya, Vincent hanya berhasil menjual satu karya! Kerap kali dia menahan lapar berhari-hari karena tidak memiliki uang untuk sekedar membeli roti atau kopi hitam. Itu semua tidak menyurutkan semangatnya untuk terus melukis, hebat sekali.

Coba simak kutipan di bawah ini (halaman 442):

"Hasrat untuk sukses telah meninggalkan Vincent. Dia berkarya karena baginya itu kewajiban, karena berkarya menghindarkannya dari sakit mental, karena berkarya bisa mengalihkan pikirannya."

"...dia tidak bisa hidup tanpa sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri, yang merupakan hidupnya -- kekuatan dan kemampuan untuk mencipta."

Wah. Jika saya menjadi Vincent, mungkin saya sudah menyerah dengan kondisi yang ada. Haha. Oh, jangan lupakan satu kendala lagi: Vincent sudah kenyang mendapat cibiran dari orang lain terkait kecintaannya pada melukis dan kemelaratan yang dia derita. Dia bahkan dicap aneh, gila, pengangguran liar dan semacamnya.

Apakah Vincent gentar? Tidak, karena masih ada satu orang di dunia yang menganggapnya hebat dan sepenuhnya waras, yakni Theo, adiknya sendiri sekaligus malaikat penyelamat. Jadi, banjiran makian tidak menjadi masalah selama Theo masih menyiraminya dengan kasih sayang. Theo sendiri bisa dibilang sebagai satu-satunya orang yang setia mendukung Vincent secara finansial maupun emosional sepanjang hayatnya. Theo menjadi satu titik kelemahan terbesar Vincent, yang pada akhirnya justru menyeret dia ke dalam jurang depresi saat mengetahui sang adik tertimpa cobaan hidup. Theo ibarat matahari bagi Vincent. Vincent boleh saja terpuruk, namun matahari akan selalu dapat menyinarinya. Justru saat sinar matahari meredup, Vincent otomatis kehilangan arah.

Ah, saya merinding sendiri saat menuliskan artikel ini. Novel "Lust For Life" sungguh bagus, menyajikan kisah pilu Vincent Van Gogh. Ternyata tidak semua pelukis besar benar-benar "berjaya" di masa hidupnya ya. Saya pikir Vincent Van Gogh menuai kesuksesan saat dia hidup, nyatanya tidak. Hidup Vincent bisa dibilang "menyakitkan dan tragis". Saat membaca bagian dimana Vincent mendapat kebahagiaan, saya ikut merasa bahagia, sementara saat Vincent ditimpa kemalangan, saya ikut sedih. Ini terdengar konyol, namun itulah yang saya rasakan. 

Mungkin memang benar bahwa untuk memahami seseorang, kita harus menyelami kehidupannya terlebih dahulu. Bisa jadi kita menganggap seseorang bodoh dan kikuk, padahal nyatanya dia berwawasan luas. Lihat apa yang terjadi pada nama harum Vincent Van Gogh kini. Dia dianggap sebagai pelukis besar aliran pasca-impresionis, dan harga lukisannya bisa mencapai triliunan rupiah! Sebuah museum didirikan untuk mengabadikan karyanya, dan banyak pelukis menjadikannya idola. Luar biasa. 

Kegigihan memperjuangkan minatlah yang membawa Vincent hingga sejaya ini. Ironisnya, semua dia peroleh setelah dirinya meninggal dunia.

"I put my heart and my soul into my work, and have lost my mind in the process"
-- Vincent Van Gogh
"The Starry Night" (1889), salah satu karya paling terkenal dari Vincent Van Gogh yang banyak diperbincangkan dan dianalisis pecinta seni
sumber gambar: en.wikipedia.org

"Life always brings difficulties, that is true, but the good side of it is that it gives energy"
-- Vincent Van Gogh

Apa Minat Kamu dalam Hidup?

Oh, itu pertanyaan membingungkan. Saya sendiri pasti akan susah menjawabnya. Saya menyukai hal-hal seperti menonton film, membaca buku, menulis dan hal-hal yang terkait dengan unsur kreatifitas, tapi jika harus disimpulkan menjadi sebuah minat, ehm... saya sendiri belum yakin. Apakah menulis adalah minat saya? Bisa jadi, soalnya saat menulis sebuah artikel, saya merasa tenggelam dalam dunia lain, dunia dimana hanya saya saja yang bisa menikmatinya.

Oke, jika memang menuangkan ide ke dalam sebuah tulisan dan menyebarkan manfaat ke orang lain adalah minat saya, lalu mengapa saya masih merasa kurang percaya diri menunjukkannya ke orang lain? Menurut saya, minat akan membuat kita berseri-seri saat memberitahukannya ke orang lain. Bagi saya, tidak demikian. Seringkali saya menutup rapat tulisan yang saya buat, bahkan tidak menginginkan sembarang orang melihatnya. Konyol memang, apalagi media ini adalah blog, dimana penyebarannya melalui internet, dan internet bisa diakses siapa saja. Haha. Ditambah, saya juga belum berniat memonetisasi minat ini.

Begitulah. Intinya, saya sendiri masih meragukan minat dalam hal tulis-menulis. Mungkin saya harus menyerap semangat Vincent Van Gogh dalam memperjuangkan minat, agar saya menjadi penulis yang konsisten dan terus belajar memperbaiki diri, tak peduli hujatan orang lain, dan memang berkarya karena sudah menjadi kewajiban.

Atau... jangan-jangan ini memang minat saya, namun saya tidak berani mengakuinya? Mungkin tekanan internal dalam diri yang mengkerdilkan minat ini. Jika Vincent Van Gogh saja mau berusaha melukis setiap hari, setiap saat, bahkan dalam keadaan lapar sekalipun... akankah saya melakukan hal yang sama dalam menulis? Apakah saya berani memperjuangkan keinginan ini dan terus maju, apapun resikonya? 

Entahlah. Saya harus berkontemplasi lebih dalam jika menyangkut masalah minat, masih terus mencari. Saya pernah membaca bahwa menemukan minat adalah proses yang harus melibatkan kejujuran diri sendiri, dan tidak ada satu orang pun yang dapat menerka minat orang lain selain orang itu sendiri. Tes secanggih apapun hanya akan mencoba mengarahkan, bukan memutuskan. Artinya, pencarian minat adalah murni perjalanan ke dalam diri sendiri, menanyakan pertanyaan sama terus-menerus: apa sesungguhnya minat saya dalam menjalani hidup?

Aduh, berat sekali ya pertanyaannya. Jangankan berkontemplasi mencari minat dalam hidup, kebanyakan kita justru memikirkan isu lain, mulai dari remeh hingga besar, bukan? Akui saja, pencarian minat sepertinya bukan sesuatu yang penting di masyarakat kita. Sedari kecil, kadang kita menemukan hal-hal menarik dari sebuah aktivitas, yang mungkin saja berawal dari hobi, dan menjurus ke arah minat untuk dijadikan profesi suatu saat... namun seiring pendewasaan diri, tidak semuanya berhasil mempertahankan minat tersebut. 

Atau lebih tepatnya, tidak semua orang diperbolehkan mengikuti kata hati untuk meneruskan minat tersebut sebagai profesi. Pola pikir masyarakat kita masih berkutat pada profesi-profesi yang dianggap menguntungkan secara finansial dan berada dalam zona aman, tidak benar-benar profesi yang sejalan dengan minat kita. Lagipula, siapa yang mau repot-repot mencari tahu minat diri sendiri saat setiap hari harus disibukkan mengurus masalah sandang, pangan dan papan?

Pada akhirnya, sebagian besar dari kita menyerah pada keadaan, mengikuti arus, mengekang minat ke dalam penjara terdalam di hati. Minat tersebut, yang benihnya bisa saja muncul sejak kanak-kanak, menjadi lemah karena tidak dipupuk setiap hari. Dan... jadilah sebuah masyarakat seperti yang jamak kita lihat saat ini, dimana hidup sekedar untuk memastikan sandang, pangan dan papan terpenuhi, karena memang itulah yang selalu menjadi isu paling penting dalam hidup. Perjuangan untuk memenuhi standar ekonomi masyarakat, bukan perjuangan memenuhi minat. Akan selalu ada seribu alasan untuk menyalahkan berbagai pihak, bukan malah merenungkan kenapa minat tersebut tidak diperjuangkan.

Jadi, pertanyaan yang lebih tepat saya ajukan sekarang bukanlah "Apa minat kamu dalam hidup?" melainkan: "Apakah kamu sudah menemukan minat kamu dalam hidup, dan berani memperjuangkannya?"

-Bayu-





Catatan selama proses menulis:


Saya mendengarkan album soundtrack "Loving Vincent" yang berisikan materi komposisi karya Clint Mansell selama proses menulis artikel di atas.

Mengingat film "Loving Vincent" adalah sebuah persembahan indah dan penuh seni dari ratusan pelukis dunia dan pengagum karya Vincent Van Gogh, maka musik pengiringnya pun dibuat dengan baik untuk mengiringi adegan demi adegan. Dari 14 musik score yang ada di album, saya sengaja memutar dua lagu terus-menerus, yakni "The Night Cafe" dan "The Yellow House", karena musiknya sungguh menenangkan dan menghanyutkan. Daya magisnya sanggup membuat saya menulis nyaris tanpa henti.

Saya tidak tahu apa saja yang menjadi inspirasi Clint Mansell saat menyusun komposisi kedua musik score tersebut, tapi yang pasti keduanya mengalun indah dengan caranya masing-masing.
sumber gambar: amazon.com

READ MORE - Jangankan Memperjuangkan Minat, Menemukannya Saja Belum Tentu Berhasil

Akui Saja, Kita Semua Memang Punya Masalah Hidup Masing-Masing

Samudera yang luas terlihat indah dari permukaan, namun tidak ada yang tahu seberapa kelam isinya. Kurang lebih seperti itulah kehidupan seseorang.
sumber gambar: videezy.com
"It is better to offer no excuse than a bad one" -- George Washington


Fenomena Serial Drama "Big Little Lies"

Saya tidak terlalu banyak menonton serial televisi, baik lokal maupun internasional. 

Menurut saya, menonton film lebih mengasyikkan, karena ceritanya langsung dapat dipastikan habis dalam durasi pemutaran yang dibatasi jam. Yah, meskipun ada film yang memiliki akhir cerita menggantung, setidaknya jika kita membicarakan judul satu film, kita tahu bahwa ceritanya berkisar tentang apa saja yang terjadi sepanjang durasinya, tidak lebih. Hal berbeda jika kita membicarakan serial televisi. Sudah menjadi petunjuk tak tertulis bahwa kita harus menonton keseluruhan episode dalam serial tersebut untuk dapat memahami inti ceritanya.

Begitulah. Itu yang menyebabkan saya kurang tertarik mengikuti serial televisi, khawatir tidak konsisten mengikuti perkembangannya. Jadi, saat Emmy Award 2017 tahun lalu mengumumkan deretan pemenangnya untuk kategori komedi, drama, seri terbatas dan film untuk televisi, saya hanya membacanya sepintas lalu, tidak seantusias melihat nama pemenang Oscar atau Grammy. Jika kalian belum tahu, Emmy Award adalah penghargaan untuk insan pertelevisian di Amerika Serikat. Gengsinya setara dengan Oscar (untuk film), Grammy (untuk musik), dan Tony (untuk teater). Sehingga, jika ada orang yang bisa memenangi keempat piala tersebut sepanjang hidupnya (disebut EGOT, gabungan dari inisial keempat acara), bisa dipastikan dia memiliki bakat emas di bidang hiburan.

Kembali ke Emmy Award 2017. Saya membaca deretan pemenangnya. Veep, The Crown, Saturday Night Live, Big Little Lies, Atlanta, The Handmaid's Tale... ah, oke. Saat itu sebenarnya saya sudah menangkap pola unik: banyak pemenang dari "The Handmaid's Tale", juga "Big Little Lies". Oke. Sampai disitu saja. Tidak ada keinginan dan kebutuhan untuk mencari tahu tentang kedua serial tersebut.

Nyatanya.... semua berubah saat saya mendengar lagu Michael Kiwanuka berjudul "Cold Little Heart" melalui Spotify suatu hari. Saya sungguh menyukainya, dan penasaran mencari tahu lebih lanjut. Ada satu fakta menarik yang saya temukan: Lagu ini menjadi lagu pembuka di serial "Big Little Lies"! Ingatan saya langsung kembali ke hasil pemenang Emmy Award. Wah, saya cukup terkejut lagu "Cold Little Heart" bisa ditempatkan menjadi lagu pembuka. Bukan meremehkan, hanya saja melalui poster "Big Little Lies" yang ada di internet, saya merasa serial itu berisikan drama antar wanita yang mungkin memuat dialog-dialog panjang (termasuk gosip) dan permainan emosi melalui teriakan dan makian. Ini poster yang saya maksud:


sumber gambar: pinterest.com
Ketiga mata wanita di dalam poster (dari kiri ke kanan: Nicole Kidman, Reese Witherspoon dan Shailene Woodley) terlihat misterius, terutama Nicole Kidman. Jelas bukan deretan pemain biasa, kalau boleh dibilang. Dua diantaranya adalah aktris papan atas, yaitu Nicole dan Reese, yang sudah pernah mencicipi kebahagiaan membawa pulang piala Oscar. 

Jika lagu "Cold Little Heart" yang bernuansa sedikit kelam dipasang sebagai pembuka serial dengan poster di atas, pikiran saya langsung menyimpulkan sesuatu: sepertinya ini bukan serial televisi biasa saja. Sorot mata mereka pasti menyimpan sesuatu, apalagi tagline-nya adalah: "Kehidupan yang sempurna berarti kebohongan yang sempurna". Nah lho, apa maksudnya itu? Sedikit demi sedikit, penasaran mulai merasuk dalam benak, dan akhirnya saya mendapat fakta menarik: lima pemain serial ini dinominasikan dalam Emmy Award dan Golden Globe Award, dengan hasil tiga pemain berhasil memperoleh piala di kedua ajang tersebut: yakni Nicole Kidman (Lead Actress), Alexander Skarsgard (Supporting Actor) dan Laura Dern (Supporting Actress). Dua lainnya harus puas hanya masuk nominasi, yakni Reese Witherspoon (Lead Actress) dan Shailene Woodley (Supporting Actress).

Ditambah, serial ini memenangkan Emmy Award untuk kategori "Outstanding Limited Series", artinya Serial Terbatas/Miniseri Terbaik. Apakah saya harus menontonnya? Hm... Entahlah.

Seolah menggoda saya, kanal HBO Signature suatu hari menayangkan seluruh episode "Big Little Lies" lengkap, maraton selama dua hari untuk total tujuh episode. Apakah ini semacam tantangan? Bisa jadi. Saya mengatur waktu untuk menonton semua episodenya, dan sungguh terkesima. Ternyata menonton tanpa ekspektasi apa pun bisa membuat saya terkejut akan hasilnya.

Penelusuran lebih lanjut melalui internet membuahkan hasil lagi: serial ini ternyata diadaptasi dari novel laris karya Liane Moriarty, penulis asal Australia yang karyanya telah diterjemahkan ke banyak bahasa. Novel "Big Little Lies" berhasil menembus pasar Amerika Serikat dan kemudian diangkat menjadi serial televisi populer. Ah, saya selalu suka pada materi film/serial yang diangkat dari bahan tulisan. Tertarik untuk menelusuri kisah aslinya, saya akhirnya membaca buku tersebut.

sumber gambar: ebooks.gramedia.com

"The mistake ninety-nine percent of humanity made, was being ashamed of what they were, lying about it, trying to be somebody else"
-- J.K. Rowling

Hati-Hati, Satu Masalah yang Disembunyikan Erat Bisa Menjadi Sebuah Bom Waktu

Inilah yang bisa saya rangkum setelah membaca novel dan menonton serial "Big Little Lies". Kisahnya berpusat pada tiga wanita utama, sesuai poster di atas: Celeste (diperankan Nicole Kidman), Madeline (diperankan Reese Witherspoon) dan Jane (diperankan Shailene Woodley). Ketiga wanita tersebut adalah ibu dari anak-anak yang masih duduk di bangku TK. 

Kita akan disuguhi kisah Madeline yang cerewet, penuntut dan emosional menghadapi keluarganya dan keluarga mantan suaminya; kisah Jane yang pendiam dengan masa lalu kelam, serta harus berjuang membuktikan anaknya bukanlah seorang perisak (pelaku bullying); dan terakhir... kisah Celeste. Dari ketiga wanita utama, mungkin Celeste adalah sosok yang paling terlihat sempurna dari luar: cantik, pintar, kaya, suami tampan, tidak sombong, kedua anak kembar yang sehat... bisa dibilang sempurna, bukan?

Ternyata, kesempurnaan Celeste itu justru menyimpan banyak luka. Yang tidak disadari Madeline dan Jane, Celeste harus berjuang menghadapi suaminya yang berperilaku sopan di luar, namun saat di rumah... bisa bertindak kejam (ini bukan spoiler, karena ending twist-nya lebih mengejutkan). Celeste lihai menutupi semuanya, bahkan dari sahabatnya sendiri. Saat kejadian demi kejadian terus merusak jiwa dan fisiknya, Celeste mulai meragukan kehidupan pernikahan dia sendiri. Demi melindungi kedua putranya, Celeste merencanakan sesuatu, sebuah rencana yang tanpa disangka malah menyeret Madeline dan Jane ke dalam pusaran konflik yang lebih menakutkan, karena berujung pada hilangnya nyawa seseorang. Wow.

Oke, dari beberapa isu yang coba diangkat Liane Moriarty di dalam novel (dan kesemuanya merupakan isu berbobot, harus diakui), saya tertarik membahas mengenai citra diri. Isu ini mungkin tidak sesanter isu lainnya jika membicarakan "Big Little Lies", namun cukup menggelitik saya. Mengapa? Karena sedemikian dekatnya isu ini dengan kehidupan sehari-hari, dan mungkin cenderung dianggap remeh.

Selain itu, saya coba memfokuskan hanya pada karakter Celeste, sebuah karakter yang membuktikan bahwa penampilan seseorang tidaklah mencerminkan kondisi kehidupan pribadinya. Celeste selalu mengalihkan pikirannya dari masalah dengan menganggapnya enteng. Dia merasa bahwa apa yang dialaminya banyak dialami orang lain juga, hanya sebuah masalah biasa dalam pernikahan. Baik Celeste maupun suaminya, Perry, sama-sama ingin menampakkan yang baik-baik saja di luar. Celeste tidak ingin orang lain mengasihani dan mengetahui masalah yang dia alami, karena... sekali lagi, bisa saja semua orang mengalaminya juga. Bukan masalah besar.

Berikut kutipan yang diambil dari halaman 429 mengenai isu di atas:


Perry sudah memasang foto mereka memakai kostum di Facebook. Itu akan membuat mereka terlihat sebagai orang yang mempunyai selera humor, lucu, menyenangkan, tidak terlalu serius, serta peduli terhadap sekolah dan masyarakat setempat. Foto itu melengkapi foto-foto lain yang dipasang tentang perjalanan mereka ke luar negeri serta acara-acara kebudayaan yang mahal. Malam kuis di sekolah adalah acara yang tepat untuk pencitraan saja.

Kutipan lain diambil dari halaman 71:

Celeste tidak perlu berpura-pura senang. Apa pun yang suaminya pilih pasti sempurna. Ia selalu bangga dirinya mampu memilih kado dengan tepat, tetapi Perry lebih jago lagi. Saat terakhir kali pergi ke luar negeri, Perry menemukan tutup botol sampanye pink yang sangat menyolok. "Aku melihatnya sekilas dan langsung teringat Madeline," katanya. Tentu saja Madeline menyukainya. Hari ini akan sempurna dalam segala hal. Foto-foto Facebook tidak akan berbohong. Penuh suka cita. Hidup Celeste penuh suka cita. Itu fakta.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Celeste menanamkan kepercayaan bahwa hidupnya penuh suka cita. Hidupnya sempurna, seperti terpampang pada foto-foto di Facebook yang Perry pasang. Celeste menghindari pemikiran negatif mengenai perilaku kejam suaminya, tidak menceritakannya kepada orang lain, menanggung semua luka sendiri.

Celeste tidak sadar, bahwa permasalahan yang disembunyikannya bisa jadi adalah... sebuah bom waktu. Tik tok. Tik tok.

Jejak di pasir bisa dihapus, namun tidak dengan kenangan atau trauma, apalagi yang terkelam
sumber gambar: dreamstime.com


"The rules are simple: they lie to us, we know they're lying, they know we know they're lying, but they keep lying to us, and we keep pretending to believe them"

-- Elena Gorokhova


Semua Orang Punya Masalah, Termasuk Diri Saya Sendiri

Meski Celeste tahu kehidupannya bermasalah, dia memasang tameng pertahanan, yang akhirnya membentuk aturan tak tertulis mengenai citra diri dia di depan publik: "Tampilkan yang baik, jangan biarkan mereka melihat sisi rapuh dan buruk diri saya. Jangan beri mereka bahan untuk bergunjing."

Coba kalian simak dialog di bawah ini (ada di dalam salah satu episodenya yang berjudul "Burning Love"), dimana saat itu Celeste sedang berbincang dengan konselor pernikahan, yang terkejut mendapati Celeste baru paham mengenai tingkah laku suaminya:

Konselor: Aku tidak mengerti mengapa kamu baru menyadarinya sekarang, karena aku jelas merasakannya. Apakah kamu telah memberi tahu orang lain mengenai penyerangan ini?

Celeste: Tidak.
Konselor: Kenapa tidak?
Celeste: Aku tidak tahu.
Konselor: Coba cari tahu jawabannya.
Celeste: Mungkin harga diriku muncul dari bagaimana orang lain melihatku.
Konselor: (tertawa kecil) Maaf. Aku hanya kagum pada pasien yang memiliki kesadaran diri yang besar di balik cangkang keras penolakan.

Nah, itu dia. Kalimat yang berwarna biru menunjukkan jawaban mengapa Celeste menyimpan semua masalahnya sendiri. Celeste tidak ingin orang lain tahu bahwa dirinya bermasalah, bahwa rumah tangganya hancur dari dalam, bahwa dirinya sama rapuh seperti orang lain, bahwa kehidupannya tidak sempurna seperti yang orang lain kira. Semua itu tersembunyi dalam selubung cangkang nyaman.

Celeste tidak ingin harga dirinya hancur, itu saja.

Apakah membangun cangkang kerahasiaan ini bagus? Bisa iya bisa tidak. Bagus untuk kepentingan menyembunyikan rahasia, karena rahasia tidak seharusnya diumbar begitu saja. Buruk jika kita menyimpannya terlalu lama dan tidak pernah dikeluarkan dalam cara yang sehat. Hal tersebut bisa menggerogoti kita dari dalam, dan sampai saatnya tiba, semua akan pecah meluap, menimbulkan konflik lain. Mungkin ada baiknya coba disalurkan dengan cara yang sehat, bisa dengan menemui mereka yang lebih paham, atau sekedar bercerita kepada orang terpercaya. Bisa juga mendekatkan diri pada ajaran agama, karena bisa jadi jiwa kita sedang butuh penyegaran dan tuntunan batin. 

Jika disambungkan dengan kehidupan orang lain di sekeliling kita, mudah menemukan cangkang-cangkang semacam itu, bukan? Karena saya yakin, hampir semua orang melakukannya. Kita bersembunyi di cangkang aman masing-masing. Yang membedakan hanya ketebalannya saja. Mereka yang bersembunyi di cangkang lemah cenderung lebih terbuka pada orang lain, tahu pasti kapan harus bercerita, kapan harus disimpan. Sementara yang memiliki cangkang tebal, bisa dipastikan akan menutup diri rapat-rapat, hanya orang tertentu saja yang bisa mengaksesnya. Sisi ekstrem dari cangkang tebal adalah stres mendalam, karena terlalu menutupi fakta yang ada, tanpa mencari pemecahan solusinya.

Begitulah. Sebaiknya kalian mulai menganalisa sendiri, cangkang mana yang baik untuk kondisi kesehatan jiwa kita. Hanya kita yang tahu persis bagaimana rasanya mengalami sebuah peristiwa tidak nyaman dalam hidup. Penolakan, kematian, perpisahan, pengkhianatan dan hal-hal semacam itu... semua bisa menimbulkan masalah jika kita tidak menanganinya dengan baik. Hal pertama yang sebaiknya dilakukan saat bertemu dengan masalah adalah: mengakui kepada diri sendiri bahwa kita memiliki masalah. Mungkin terdengar sepele, namun jika kita tidak mengakuinya, kita seolah membangun tembok semu yang bertuliskan "Ah, aku baik-baik saja, kok" padahal kenyataannya tidak. Itulah awal mula bom waktu permasalahan. Setelah berani mengakui kepada diri sendiri, langkah selanjutnya adalah menemukan solusi, yang mana penanganannya bisa berbeda satu sama lain.


Tentang Rasa Sakit Emosional dan Pengaruh Pikiran

Saya jadi teringat muatan buku "The Subtle Art of Not Giving A F**k" (diterjemahkan menjadi "Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat") karangan Mark Manson. Di halaman 179, dia menulis mengenai derita adalah bagian dari proses, demikian tulisannya: Seperti halnya seseorang yang mengalami rasa sakit fisik untuk membentuk tulang dan otot yang lebih kuat, seseorang harus mengalami sakit emosional untuk mengembangkan ketangguhan emosional yang lebih besar, rasa percaya diri yang lebih kuat, belas kasih yang meningkat, dan secara umum hidup yang lebih bahagia.

Benar. Sakit emosional akan selalu datang menghampiri, dalam segala kondisi. Tidak ada satu orang pun yang mengalami momen "baik-baik saja" sepanjang hidupnya, karena kita semua memiliki masalah. Semua orang pasti menjalani ujian kehidupan dari Tuhan. Sama seperti kisah Celeste. Boleh saja kita tidak membiarkan orang lain tahu, tapi itu hanya akan menggerogoti diri kita perlahan. Mengesampingkan masalah justru membuat masalah itu semakin membesar sedikit demi sedikit. 

Bos saya pernah berkata, "Jangan pernah nyimpen bom waktu masalah. Kalo masih bisa diselesaikan segera, selesaikan." Tentu saja bos saya mengacu pada permasalahan dalam pekerjaan, namun saran tersebut bisa diaplikasikan dalam permasalahan hidup apa saja. Ironisnya, bom waktu itulah yang sempat saya alami beberapa waktu belakangan ini, haha. Itulah sebabnya mengapa kisah "Big Little Lies" menjadi semacam pengingat, bahwa saya tidak boleh lagi menyimpan masalah terlalu rapat. Saya berulang kali mengatakan kepada diri sendiri bahwa saya baik-baik saja, padahal kenyataannya tidak. 

Saya pun mulai berpikir mengenai bom waktu yang saya pendam. Ugh, rasanya sama sekali tidak mengenakkan. Terasa menyesakkan setiap kali teringat. Entah karena pengaruh "Big Little Lies" atau apa, suatu hari saya memberanikan diri bercerita ke orang lain (dalam hal ini kakak pertama saya, yang selalu dapat melihat jika ada sesuatu yang tidak beres dalam diri ini). Saya mengakui masalah yang membebani pikiran. Setelah bercerita, saya tersadar. Astaga, pikiran adalah sumber segala masalah! Semua ketakutan hanya ada di pikiran. Saya tahu tentang ini (bahkan saya pernah menuliskannya, duh), namun tidak berani mengakuinya. Selalu begitu.

Biang keladi pola pikir ini sama seperti yang ditulis Mamon dalam bukunya yang berjudul "Bahagia Itu Sederhana" (halaman 39), yaitu: Jarak antara kesedihan dan kebahagiaan hanyalah pikiran. Pikiran adalah hal yang ajaib, ia dapat mengubah kebahagiaan menjadi kesedihan, begitu juga sebaliknya. Ah, benar sekali. Pikiran memang hal yang ajaib, sangat ajaib kalau boleh dibilang. Seseorang boleh saja ditempatkan dalam situasi paling merana dalam hidup, namun saat dia tidak membiarkan pikirannya memproduksi buah pikiran negatif, maka dengan sendirinya dia tidak terjatuh dalam lubang kesedihan. Seajaib itu.

Oke, tampaknya saya harus terus melatih pikiran untuk tidak terlalu memikirkan yang macam-macam. Jangan sampai pikiran ini membuat trik lagi untuk menjatuhkan diri saya ke lubang gelap. Bukankah itu yang dilakukan semua orang setiap harinya, bergelut dengan pikirannya masing-masing? Yang bisa menjinakkan pikiran negatifnya akan menang dan menyunggingkan senyum bahagia, sementara bagi yang kalah... harus bersiap ditindas pikirannya sendiri. Mana yang kalian pilih?

-Bayu-






Catatan tambahan:


Saya harus jujur. Awalnya, artikel ini adalah buah pemikiran kacau balau yang saya hasilkan beberapa minggu belakangan. Pernah diterbitkan seminggu yang lalu, namun menyadari bahwa pemaparannya amburadul (terima kasih kepada kakak saya yang telah mengingatkan), saya menyimpannya lagi dalam draf, dan setelah berpikir jernih, mulai menambal sulam di sana-sini. Keberanian untuk mempublikasikan ulang muncul saat seorang rekan blogger sekaligus salah satu pembaca setia blog ini, Yoga Akbar Sholihin, menanyakan tentang "hilangnya" artikel tersebut dari daftar isi blog. Hehe. Maaf, Yog. Itu semacam ledakan emosional sesaat, dan artikel revisinya sudah terbit ulang. Terima kasih telah mengingatkan :-)


Catatan terkait proses menulis artikel:

Saya mendengarkan lagu "Cold Little Heart" yang dinyanyikan oleh Michael Kiwanuka sepanjang proses menulis artikel di atas. Awalnya saya tidak terlalu menaruh perhatian pada lagu ini, namun setelah didengarkan berkali-kali, ternyata dapat membawa aura magis tersendiri dalam memantik ide menulis.

Micahel Kiwanuka adalah seorang musisi asal Inggris, pengusung genre soul, blues rock dan folk rock. Entah bagaimana dia memasukkan semua atau sebagian dari genre tersebut dalam sebuah lagu, yang pasti "Cold Little Heart" adalah suguhan musik soul dan rock yang menenangkan untuk telinga saya. Lagu ini sukses ditempatkan menjadi musik pembuka untuk miniseri "Big Little Lies" produksi HBO.

Lirik menarik yang ada di dalam lagu:
Did you ever notice
I've been ashamed all my life
I've been playing games

sumber gambar: radiowoodstock.com



Catatan lain: Tidak ada. Sudah cukup banyak!

READ MORE - Akui Saja, Kita Semua Memang Punya Masalah Hidup Masing-Masing
 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.