Maaf Buku-buku di Rak, E-Book Ternyata Lebih Praktis

sumber gambar: pcmag.com
*PERINGATAN AWAL: Karena ini artikel pertama saya di tahun 2018 setelah vakum selama kurang lebih empat bulan, maka saya hampir tidak bisa menghentikan kata demi kata yang terus mengalir keluar dari benak saat mencoba kembali menulis. Bisa jadi mode edit yang saya miliki belum sempurna, jadi mohon maaf kalau artikelnya panjang lebar. Untuk kalian yang tidak suka artikel panjang, silahkan ditutup saja, masih banyak artikel di blog lain yang mungkin sesuai dengan selera kalian. Bagi kalian yang tetap ingin lanjut membaca... terima kasih banyak.*

"You can't buy happiness, but you can buy a book, and that's kind of the same thing
-- Anonymous


Hobi: Membaca Buku

Nama saya Bayu, dan saya suka membaca buku.

Jika ada deretan pertanyaan umum yang selalu ditanyakan di selembar kertas atau media apapun tentang jati diri kita, dan kebetulan ada bagian "Hobi", maka tanpa ragu saya selalu menulis "membaca buku". Harus diakui, itu bukan jenis hobi yang terlihat jantan atau membuat orang langsung memberi label "orang keren" pada kita.

Berdasarkan pengalaman, setelah saya mengatakan bahwa hobi saya membaca buku, atau saat orang lain kebetulan mengetahui saya suka membaca buku, kebanyakan akan langsung mengaitkan dengan penampilan saya, ditambah kacamata yang bertengger, kemudian terbitlah sebuah kesimpulan sederhana di pikiran mereka (terlihat dari sorot matanya, sangat jelas), seolah berkata: "Oh... kutu buku."

Begitulah.

Tapi tidak masalah. Untuk apa saya harus berbohong mengenai hobi yang satu itu? Lagipula, itu bukan sesuatu yang bisa dipamerkan ke semua orang dengan mata berbinar-binar sembari berkata, "Lihat nih, gue mah sukanya baca buku. Keren, kan? Lo kayak gitu juga ngga?" Tidak, tidak! Bagi saya, membaca lebih kepada kebutuhan kok, sama seperti makan. Rasanya ada yang kurang kalau sehari saja tidak membuka buku untuk dibaca, meski hanya satu atau dua halaman. Apakah kalian memamerkan diri ke semua orang jika bisa makan setiap hari? Tidak seperti itu, kan?

Keanggunan Sebuah Buku Berbentuk Fisik

Begitu melihat deretan buku di rak perpustakaan, toko buku atau rak-rak buku pribadi di rumah seseorang, selalu muncul kekaguman tersendiri. Seperti melihat harta karun saja rasanya. Saya senang sekali menelusuri setiap rak, memandangi beragam buku yang tertata disana dengan desain sampul berbeda-beda, kemudian menyentuhkan jemari ke salah satu buku untuk merasakan teksturnya. Gelombang kekaguman tersebut semakin menjadi tatkala saya meraih salah satu buku dan membuka halaman demi halaman. Khusus buku-buku yang masih terbitan baru, ada semacam bau khusus yang menjadi penanda, dan aromanya menyenangkan.

Oke, tampaknya deskripsi tersebut terlalu berlebihan jika dibaca oleh orang-orang yang tidak terlalu menggemari buku. Bisa jadi mereka akan berkata, "Eh buset, buku begini aja apa bagusnya? Bukannya sama aja ya tiap buku?"

Sepintas, memang tampak sama, dengan bentuknya yang kotak dan memuat berlembar-lembar halaman. Cenderung kaku dan membosankan. Namun, ada beberapa perbedaan yang mungkin hanya bisa disadari dan dikagumi oleh orang-orang yang menggemari aktivitas membaca buku. Mungkin di antara kalian ada yang juga mengalami sensasi memegang buku fisik sama seperti yang saya rasakan.

Bertahun-tahun saya menjadi penggemar buku fisik. Saya membeli novel atau buku non fiksi yang menarik perhatian, meminjam di perpustakaan atau sekedar meminjam melalui teman (dalam hal ini, terkendala masalah finansial, alias tidak sanggup membeli). Minat saya pada buku berbentuk fisik melahirkan sebuah ide tersendiri yang kemudian pernah saya tuangkan dalam sebuah artikel di blog ini, berjudul "Nyaman Membaca Buku yang Memiliki Fisik". Artikel itu seolah menjadi sebuah pernyataan keras dan tegas bahwa saya, Bayu Rohmantika Yamin, menyukai dan selalu akan menyukai buku yang berbentuk fisik. 

"The art challenges the technology, and the technology inspire the art" 
-- John Lasseter
sumber gambar: libguides.library.cityu.edu.hk
Buku Digital, Sang Penantang Yang Merusak Tatanan

Perubahan akan selalu terjadi, tak terkecuali untuk indutri buku. Begitu teknologi menyeruak dalam kehidupan masyarakat hampir di semua sektor, hal itu merubah beberapa tatanan yang awalnya adalah sebuah pola turun-temurun, berubah menjadi pola baru yang... bisa dianggap membawa manfaat, bisa juga dianggap membahayakan. Saya menggunakan istilah "anggapan" karena menurut saya, hasil dari perkembangan teknologi sejatinya akan menimbulkan pro kontra, dan itu semua kembali kepada persepsi masing-masing.

Nah, untuk kasus buku, perkembangan teknologi yang hadir menghasilkan sebuah perubahan radikal: lembaran buku diubah menjadi bentuk digital (e-book). Ribuan hingga jutaan lembar bisa masuk ke dalam satu media tertentu, dan ditampilkan melalui satu layar. Bahkan, untuk semakin membuatnya mudah dikonsumsi oleh berbagai kalangan, buku pun bisa dibuat versi audio-nya (audio book), alias lembaran tersebut tidak perlu dibaca, tapi hanya perlu telinga untuk mendengarkan versi sadurannya. Jenis ini berguna untuk mereka yang mengalami masalah pada indra penglihatan.

Saya akan menekankan pada e-book saja di artikel ini. Apakah membaca e-book bisa disamakan dengan pengalaman membaca buku fisiknya langsung? Kemudahan akses jelas menjadi incaran, dimana hanya melalui satu layar saja, semua lembaran buku bisa dibaca. Tidak perlu repot-repot membawa buku yang tebal. Cukup siapkan media elektronik. Semudah itu.

Oke, saya memang sempat memandang aneh pada mereka-mereka yang mengkonsumsi buku dalam bentuk e-book, meski saya tahu bahwa itu semua pilihan masing-masing. Saya sempat berpikir, mereka-mereka yang menikmati e-book itu seperti... apa ya? Seperti melihat berbagai tempat di belahan dunia lain dengan Google Street View, tapi tidak merasakan langsung tempatnya. Tidak merasakan sensasi traveling. Nah, rasanya seperti itu. Sama-sama melihat, namun tidak benar-benar merasakan.

Dalam hati, saya mengikrarkan kesetiaan pada buku fisik, sampai kapan pun. Dalam hal musik, saya boleh saja mulai menyukai versi digitalnya ketimbang versi fisik (CD, kaset dan semacamnya), namun untuk urusan buku... saya tetap mencintai versi fisik. Itulah yang saya tanamkan kuat-kuat dalam benak bertahun-tahun lamanya.

"What's cheaper than a gallon of gas? An e-book. Save a dollar, stay home and read!" 
-- Shandy L. Kurth
Menjilat Ludah Sendiri

Saat membeli sebuah buku, saya cenderung melihat prosesnya sebagai bentuk investasi di masa depan. Bukan berarti buku bisa sebagai aset investasi (mungkin dalam kasus khusus, bisa), namun lebih kepada "membeli dulu, bisa dibaca kemudian, sebelum stoknya kehabisan" (apakah kalian juga seperti ini?). Pola konsumtif tersebut menyebabkan saya menumpuk banyak buku di rumah, sebagian besar masih dikemas sampul plastik versi toko alias belum dibuka sama sekali. Bukan sebuah kebiasaan yang baik tentu saja, apalagi dampaknya secara finansial bisa membuat stres, hehe.

Tumpukan buku tersebut semakin menjadi saat saya mulai bingung mengatur waktu membaca di tengah kesibukan aktivitas sehari-hari. Tingkat pembelian buku lebih tinggi ketimbang tingkat menamatkan membaca buku. Belum lagi kalau bukunya tebal, bisa memakan waktu lama untuk menamatkannya, sementara saat membeli sebuah buku, setebal apapun itu, hanya butuh beberapa menit untuk menyelesaikan transaksinya. Di satu titik, saya merasa kewalahan dan hampir putus asa. Bagaimana ini? Sampai tua renta mungkin saya tidak akan sanggup menyelesaikannya jika pola terkutuk itu terus berulang!

Suatu hari, saat saya memandangi dengan merana ke arah tumpukan buku di rak yang sebagian besar belum tersentuh itu, saya berpikir bagaimana caranya agar semua bisa terbaca, sekaligus menekan hasrat untuk membeli yang baru. Saya pernah mencoba untuk menerapkan prinsip membaca cepat, namun hasilnya berantakan. Susah sekali. Akhirnya, saya memutuskan untuk membuat jadwal membaca, minimal satu hari satu bab, atau setidaknya empat sampai lima halaman, dan ini sebuah keharusan. Untuk buku baru, pembelian hanya yang benar-benar dibutuhkan (atau, seri novel yang digemari). 

Setelah menjalaninya selama beberapa minggu, rencana tersebut langsung menemui kegagalan karena begitu sampai di rumah setelah lelah bekerja seharian, saya sama sekali melupakan buku yang harus dibaca. Atau saat harus dibawa di dalam tas, ujung-ujungnya malah tidak dibaca, hanya menambah beban saja. Alasan klasik: malas (sama seperti menulis di blog ini, ups). Jika dulu saya selalu mengagung-agungkan "membaca bagai kebutuhan" dan sebagainya, ternyata saya tersandung masalah tak terelakkan: minat baca saya mulai berkurang! Astaga, ini tidak boleh dibiarkan. Saya harus mengembalikannya ke keadaan semula.

Setelah melakukan analisa kembali pada pola aktivitas sehari-hari yang saya lakukan, sepertinya saya butuh sesuatu yang praktis untuk dibawa sekaligus dinikmati jika menyangkut bahan bacaan, khususnya buku. Pilihan jatuh kepada ponsel pintar, yang memang bisa memuat sebuah buku, namun dalam bentuk e-book.

AH, TIDAK!!!

Bagaimana mungkin saya berpaling ke e-book? Tidak, tidak, tidak! Setelah bergulat dengan pemikiran ini selama berhari-hari, saya akhirnya merelakan diri mencoba membaca e-book. Tidak ada salahnya dicoba. Penasaran juga kenapa ada orang yang mau membeli e-book. Ternyata pembelian sebuah e-book cukup mudah juga ya, kita dapat menemukannya melalui ponsel pintar, tinggal pilih saja opsi pembayarannya. Bagai mengunjungi toko buku, namun tanpa benar-benar melihat buku fisiknya. Hm... di beberapa bagian pun koleksinya tidak selengkap toko buku. Oke, mungkin ke depannya akan semakin lengkap, semoga saja.

Akhirnya, sebuah e-book pun berhasil terbeli. Setelah mengumpulkan niat penuh, saya mencoba mulai membaca buku elektronik tersebut. Pada awalnya, mata saya lelah menatap ponsel terus-menerus, dan saat membacanya, semua terasa palsu, dibuat-buat. Membuka lembaran e-book tidak memiliki sensasi menyenangkan seperti membuka sebuah lembaran buku. Tidak ada bau buku yang khas, tidak ada tekstur yang bisa disentuh dengan tangan, tidak ada suara saat membolak-balik halaman dengan cepat, dan yang terpenting: tidak ada kepuasan saat memegangnya. Semua e-book bentuknya sama, ya itu-itu saja: digital. Kenapa bentuk seperti ini bisa laku di pasaran, ya?

Seorang bijak pernah berkata, bahwa sebuah kebiasaan timbul dari melakukan hal secara berulang-ulang, meskipun itu tidak terasa menyenangkan awalnya. Jika ingin membiasakan hal-hal positif, maka lakukan rutinitas tersebut secara konsisten, dan kita akan terperangah melihat hasilnya. Sepertinya, itulah yang terjadi pada saya. E-book yang awalnya saya pandang remeh (melihatnya saja sudah tidak tahan), lama-lama menimbulkan kecanduan tersendiri.

Benar, kecanduan. E-book merevolusi cara berpikir saya akan aktivitas membaca. Mudah sekali membuka e-book di tengah keramaian, tidak seperti buku fisik, khususnya yang berukuran tebal. Tidak perlu memakan banyak tempat di tas, bahkan bisa dimasukkan kantong, karena menyatu dengan ponselnya. Orang-orang juga tidak akan terlalu peduli apa yang saya lihat di layar ponsel, mungkin mereka berpikir saya sedang melihat linimasa media sosial, padahal saya sedang membaca e-book

Tidak butuh pengaturan macam-macam pada e-book (mungkin sedikit pengaturan warna latar belakang, ukuran huruf dan semacamnya yang merupakan pengaturan minor). Cukup membuka ponsel pintar, kemudian membuka aplikasi khusus (saya menggunakan Google Play Books), pilih buku yang diinginkan, dan silahkan dibaca. Seperti memasuki perpustakaan pribadi, namun dalam versi yang sangat praktis.

Oya, satu hal lagi: harga e-book lebih murah daripada harga normal buku fisik, dan jika ada diskon menarik untuk pembelian e-book, membeli tiga e-book bisa setara satu buah harga buku fisik, dengan kapasitas yang tidak membutuhkan banyak tempat. Bandingkan dengan membeli obralan buku fisik. Meskipun saya bisa mendapatkan tiga buku fisik obralan setara harga satu buku normal, tetap saja butuh tempat untuk ketiga buku baru tersebut. E-book tidak seperti itu. Hanya dibutuhkan kapasitas memori dalam ponsel untuk menampungnya. Jika kita bisa berhemat dalam penggunaan memori, maka menempatkan banyak e-book dalam satu ponsel tidak menjadi kendala besar.

Astaga, rasanya benar-benar seperti membawa perpustakaan berjalan! Kemana saja saya selama ini, ya?

Sentilan dari Novel Karya Fredrik Backman

Ide mengenai tema artikel kali ini mulanya muncul setelah membaca novel karya Fredrik Backman berjudul "My Grandmother Asked Me To Tell You She's Sorry". Saya mendapatkan e-book ini dari Google Play Books. Novel ini sungguh bagus. Saya tidak menyesal membelinya. Lagipula, harga e-book-nya lebih murah dari versi buku fisik, tentu saja, hehe. Itu baru harga normal e-book-nya ya, belum lagi jika ada diskon, bisa sangat murah tentunya.

Ah, sebuah suguhan penuh kehangatan dan ketulusan yang diracik oleh Fredrik Backman, novelis asal Swedia ini, sanggup membuat saya tersenyum-senyum sendiri saat membacanya. Novel ini bercerita mengenai Elsa, gadis berumur tujuh tahun yang mengalami kesedihan saat Nenek kesayangannya meninggal. Bukan meninggalkan benda berharga untuk Elsa, sang Nenek malah meninggalkan sepucuk surat yang berisikan misi khusus, dimana sang Nenek meminta Elsa untuk menyampaikan permintaan maaf wanita tua tersebut kepada beberapa orang yang tertera dalam surat.

Misi mudah? Tidak, karena surat tersebut tidak mudah ditemukan, masing-masing seperti kepingan puzzle yang harus disusun. Disinilah letak petualangannya. Novel ini bukan novel anak-anak biasa yang berisikan keceriaan dan petualangan manis, namun lebih ke pencarian makna kehidupan. Ya, saya sendiri heran betapa pintarnya Fredrik Backman menyelipkan banyak makna hidup melalui jalan pikiran seorang gadis kecil. Tidak terkesan menggurui, namun mengalir lancar begitu saja. Alurnya sungguh menarik untuk diikuti, dan ada semacam perasaan hangat yang mengalir di dada begitu menemukan beberapa pesan "mendalam" yang kerap ditemukan di beberapa bab.

sumber gambar: goodreads.com
Saya tidak akan menceritakan lebih lanjut, atau mendeskripsikan ulasan mendalam, karena -- jika kalian mengenal saya melalui tulisan-tulisan sebelumnya -- hal itu tidak akan saya lakukan, mengingat blog ini bukan blog ulasan apa pun. Saya hanya tertarik mengambil beberapa bagian unik dari sebuah hal yang saya temukan. Kali ini, di novel "My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry" (astaga, judulnya panjang sekali ya), ada satu bagian menarik yang kemudian memantik ide untuk menulis.

Di bab 17 berjudul "Roti Kayu Manis", Elsa berhasil menemukan salah satu subyek penerima pesan sang Nenek, yaitu seorang wanita berprofesi psikoterapis. Elsa dibawa masuk ke ruangan wanita itu dan dia menemukan dinding kantornya dipenuhi rak buku. Hal itulah yang membuatnya takjub sekaligus heran, karena Elsa seorang pecinta buku juga, namun dia memilikinya dalam iPad, alias dalam bentuk e-book.

Berikut saya tampilkan beberapa dialog yang ada di bab 17 tersebut, saat Elsa akhirnya mengutarakan keterkejutannya melihat rak penuh buku (kutipan ini disadur dengan beberapa edit tampilan untuk memudahkan pemahaman):

Elsa     : Aku tidak pernah melihat begitu banyak buku, ini hampir sinting. Memangnya kau tidak pernah mendengar iPad?
Wanita : Aku menyukai buku.
Elsa      : Kau pikir aku tidak suka buku? Kau bisa menyimpan bukumu di iPad. Kau tidak perlu menaruh jutaan buku di kantormu.
Wanita  : Aku menyukai buku fisik.
Elsa      : Kau bisa memiliki semua jenis buku di iPad.
Wanita  : Bukan itu yang kumaksud dengan 'buku'. Maksudku 'buku' dengan jaket, kover, halaman...
Elsa      : Sebuah buku adalah teks. Dan, kau bisa membaca teks di iPad!
Wanita  : Aku suka memegang buku ketika membaca.
Elsa      : Kau bisa memegang iPad.
Wanita  : Maksudku aku suka membuka halamannya.
Elsa      : Kau bisa membuka halaman di iPad.
...
Elsa      : Tapi, kau tahu, lakukan apa yang kau suka! Milikilah jutaan buku! Aku hanya bertanya. Sebuah buku tetaplah buku jika kau membacanya di iPad. Sup tetaplah sup dalam mangkuk apa pun.

Nah, itulah sekelumit dialog yang ada di bab 17. Saya membacanya sembari tersenyum-senyum sendiri, membayangkan apa yang diutarakan oleh si wanita, sama persis seperti yang saya rasakan dulu. Saya menyukai buku fisik, itu saja intinya. Argumen yang saya punya kurang lebih sama seperti milik si wanita. Saya menyukai buku dengan cover, dengan halaman kertas, dan sensasi memegang sebuah buku, bukan media elektronik. 

Kini, argumen tersebut luntur seiring ketertarikan saya pada e-book. Membeli e-book semakin mudah berkat kerjasama beberapa operator telekomunikasi Indonesia dengan Google, dimana saya tidak perlu memasukkan nomor kartu kredit atau nomor voucher untuk membeli sebuah e-book. Cukup sediakan pulsa memadai, pilih buku yang ingin dibeli (bahkan kita bisa mengunduh beberapa halaman awalnya dulu secara gratis, untuk mendapat gambaran mengenai isi buku), kemudian tinggal pilih beli. Karena saya telah mengatur pembelian menggunakan pulsa telepon, maka saya cukup memasukkan password akun di Google, kemudian... e-book siap diunduh versi lengkapnya. Saya kerap menggunakan jaringan wi-fi saat mengunduh, demi kelancaran proses tersebut. Dalam sekejap (tidak ada semenit jika jaringan kuat dan bukunya tidak memuat banyak halaman), saya sudah bisa menikmati e-book tersebut.

Mudah, bukan?

Kini, saya membeli e-book khusus untuk buku-buku yang tidak berada dalam daftar "wajib punya". Buku-buku yang berada di dalam daftar itu berisikan novel-novel dari penulis favorit, seri favorit, atau buku luar biasa yang menggugah pemahaman saya akan sesuatu secara drastis. Itu yang saya maksudkan dengan buku wajib punya. Di luar kategori itu, saya memilih membeli e-book-nya saja (saya tidak merekomendasikan kalian untuk mengunduh versi bajakannya ya, mari budayakan mengapresiasi jerih-payah penulis). Selain lebih murah, menghemat tempat juga, karena rak buku saya di rumah sepertinya sudah mengibarkan bendera putih, tanda menyerah harus menampung buku-buku hasil perilaku konsumtif saya. 

Lucunya, selama menjalani pola baru membaca e-book ini, saya mendapati bahwa lebih cepat menamatkan sebuah e-book daripada buku fisik, karena e-book lebih sering dibaca sepanjang jam-jam yang tidak produktif, juga di waktu-waktu dimana saya bisa mencuri waktu (saat antre misalnya). Kalau saya sedang bersama orang lain saat situasi tersebut muncul, saya cenderung mengisi waktu dengan berbincang-bincang. Namun, lain halnya saat sendiri. Tangan saya akan refleks mengeluarkan ponsel pintar dan membaca e-book.

Jadi, disaat orang lain lebih memilih melihat linimasi media sosial (khususnya Instagram, yang hampir sebagian besar itulah yang saya lihat saat melirik sekilas ke layar ponsel orang lain, ups), bercakap-cakap dengan lempar-melempar emoji melalui pesan instan, bermain game, mengambil foto selfie, mengutak-atik playlist di Spotify, atau aktivitas apa pun yang bisa mereka lakukan dengan ponsel pintarnya, saya memilih membaca e-book saja.

Bahagia itu sederhana. Benar kok.

Dilema muncul saat saya justru lebih memfokuskan pada e-book daripada buku fisik yang ada di rak. Saya merasa seperti sedang berselingkuh. Saya mengkhianati mereka. Dulu saya mengagung-agungkan buku fisik, kini mengabaikan begitu saja. Buku-buku fisik yang ada di rak pasti cemburu karena saya jarang menjamah mereka lagi. Situasi ini pernah memunculkan semacam perasaan bersalah dalam diri saya, sehingga dalam beberapa bulan terakhir, saya kembali menjadwalkan membaca buku fisik, minimal dua atau tiga lembar setiap harinya, lebih sering di malam hari sebelum tidur atau saat jeda sejenak dari pekerjaan yang memusingkan di kantor. Meski kecepatan menamatkannya tidak seperti e-book, yah... setidaknya saya tidak menelantarkan buku-buku fisik tersebut. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, bukan?

Jadi, Buku Fisik atau E-Book?

Setelah panjang lebar menguraikan pengalaman membaca dengan buku fisik dan e-book di atas, sampailah kita pada segmen terakhir dari artikel ini: lebih pilih mana, buku fisik atau e-book nih? 

Hm. Semua kembali kepada pilihan tiap individu. Teknologi muncul sejatinya untuk memudahkan manusia dalam beraktivitas, sehingga perubahan radikal yang dihasilkannya dalam berbagai bidang, harus dipandang sebagai jalan menuju peradaban manusia modern yang efektif dan efisien. Bisnis musik dalam bentuk fisik telah berdarah-darah menghadapi gempuran musik digital, bahkan sebagian besar tokonya memilih tutup, memberi jalan toko musik digital merajalela. Kini, toko musik digital harus kembali menghadapi tantangan baru: layanan streaming, dimana masyarakat tidak perlu lagi membeli musik digital satu per satu, melainkan disediakan langsung akses penuh ke layanan perpustakaan musiknya (alias bisa memutar lagu apa pun yang mereka mau, secara legal!), cukup dengan membayar biaya berlangganan, atau bahkan bisa dinikmati secara gratis dengan risiko susupan iklan. 

Sama halnya dengan buku digital, yang mulai menancapkan kukunya pada peta industri perbukuan. Mungkin di masa mendatang kita akan jarang menemui lagi toko buku fisik, digantikan toko buku online. Duh, untuk prediksi yang ini, semoga tidak terjadi ya, karena saya masih mencintai toko buku dengan segala sensasi menyenangkannya.

Sekali lagi, perubahan akan selalu terjadi, dan kembali ke diri kita sendiri, maukah menerima perubahan tersebut dan menikmati hasilnya? Saya akui, buku fisik memang tak tergantikan, namun karena saya tidak sanggup menanggung beban untuk membawanya kemana-mana, kini saya lebih memilih e-book yang praktis untuk kebutuhan mayoritas buku bacaan, sementara buku fisik menempati posisi kedua. Bahkan, mungkin saja di masa mendatang saya tertarik mencoba mendengarkan audio book. Siapa tahu?

Jadi, jawaban saya apa nih? Mana yang lebih bagus, buku fisik atau e-book? Jawabannya... buku fisik. E-book boleh saja menawarkan seluruh kepraktisan yang bisa disodorkannya, namun untuk urusan kenyamanan tingkat tinggi, tetap buku fisik jagoannya. Jadi, untuk segi praktis, e-book juara, tapi dari segi kenyamanan, buku fisik juaranya, sehingga jika harus dirangkum menjadi sebuah pertanyaan "Bagus mana?" saya akan menjawab, "Bagus buku fisik, lah!"

Mungkin saat ini buku-buku fisik yang ada di rak buku saya sedang bersuka cita dan tersenyum senang mengetahui hal ini. Tapi, bisa jadi juga mereka bersungut, "Tadi awalnya kekeuh banget ama buku fisik, terus berpaling ke e-book yang lebih murah meriah, eh ujung-ujungnya ternyata masih suka buku fisik. Gimana sih? Konsisten dong ama pilihan. Kalo suka buku fisik, ya dibaca dong buku-buku fisiknya, jangan baca e-book mulu! Sempit tahu lemari ini!"

Fiuh. Untunglah dialog itu semua hanya ada di dalam imajinasi saya saja ya, hehe. Eh... tapi, kok saya jadi merinding ya melihat tumpukan buku-buku di rak? Seperti sedang diawasi saja. Apakah mereka benar-benar marah telah ditelantarkan? Tapi saya masih tetap membaca mereka kok, meski cuma beberapa halaman per hari. Serius. Tidak ada alasan bagi mereka untuk marah, kan?

Ah, sudahlah. Kenapa akhirnya malah melantur begini?

-Bayu-




Catatan selama proses menulis:

Tidak perlu waktu lama untuk memilih musik apa yang cocok didengarkan untuk menjaga mood tetap muncul sepanjang proses menulis artikel di atas, karena sebuah sajian musik indie rock milik Castlecomer berjudul "Fire Alarm" jelas memenuhi kriteria yang saya butuhkan. Tak disangka, lagu yang dibawakan oleh band asal Australia ini ternyata dengan mudah membuat saya menggali ide menulis dan melancarkan proses mengetik huruf demi huruf di atas keyboard laptop.

Penggalan lirik yang menarik dari lagu ini:
Try to make a little conversation, with the demons in my mind
Everybody has a first word problem, taking up their precious time

sumber gambar: qobuz.com

READ MORE - Maaf Buku-buku di Rak, E-Book Ternyata Lebih Praktis
 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.