Senang Kalau Ada Konflik?

sumber gambar: storiesfromschoolaz.org
Kisah "Drama" Kecil Dalam Proses Mengantre

Saya tidak suka mengantre.

Sayangnya, banyak hal dalam hidup ini yang mengharuskan terbentuknya kegiatan mengantre, mulai dari mengantre perizinan ini itu, mengantre naik kendaraan umum, hingga mengantre mendapatkan pelayanan makanan di restoran. Saya ingin menceritakan sedikit "drama" terkait proses mengantre yang sempat saya lihat beberapa saat lalu.

Saat itu, saya sedang mengantre untuk membayar di sebuah minimarket. Saya antre di urutan keempat, begini urutan antreannya agar kalian mendapat gambaran utuh:

Pengantre pertama: seorang laki-laki, mungkin mahasiswa (dia yang sedang dilayani kasir, kebetulan belanjaannya cukup banyak sehingga proses pembayaran agak lama)
Pengantre kedua: Bapak A
Pengantre ketiga: seorang ibu-ibu dengan anak laki-laki kecil
Pengantre keempat: saya
Pengantre kelima: Bapak B

Karena kasir yang melayani hanya satu dan antrian terlihat cukup panjang, salah satu staf minimarket berinisiatif membuka satu layanan kasir lagi untuk membantu. Melihat peluang tersebut, si ibu-ibu dengan anak laki-lakinya (yang mana merupakan pengantre ketiga) langsung bergerak ke kasir kedua, sembari meletakkan barang belanjaannya di meja kasir. Jujur, saya salut dengan kecepatannya membaca peluang, bahkan sebelum si kasir kedua sempat berkata, "Silahkan, bisa disini bayarnya."

Merasa tersalip, pengantre kedua (si Bapak A) kesal. Kurang lebih begini percakapan yang terjadi:
Bapak A : Bu, antre dong, kan harusnya saya duluan!
Ibu         : Saya buru-buru, Pak. Lagian kenapa Bapak ngga bergerak duluan? 
Bapak A : Lha, mana saya tahu kalo mas-masnya buka? (maksudnya, membuka layanan kasir kedua) Mas-nya juga, saya duluan mestinya ini!
Mas Kasir : Maaf Pak, udah terlanjur saya input (sembari tersenyum kikuk).
Ibu          : Ya udah sih Pak, nah tuh udah selesai si mas-masnya (maksudnya, pengantre pertama telah selesai dilayani sehingga si Bapak A bisa membayar di kasir pertama).

Si Bapak A hanya bisa bersungut-sungut kesal. Saya diam saja, tidak berusaha membela pihak manapun. Mungkin seharusnya saya membela si Bapak A, tapi buat apa saya ikut campur lebih lanjut, lagipula kedua-duanya telah dilayani oleh kasir. Saya tahu bahwa si Bapak A kesal karena dua hal: (1) budaya antre harus ditegakkan (2) egonya terluka karena disalip antrean oleh orang lain, sehingga dia berusaha menyelamatkan wibawanya.

Jujur, jika saya berada di posisi si Bapak A, saya mungkin akan diam saja, karena antriannya hanya tinggal satu. Lagipula, sulit rasanya beradu argumen dengan tipe ibu-ibu seperti itu. Lebih baik mengalah, meski seharusnya saya menghormati proses mengantre. Biarlah. Ada kalanya adu argumen tidak akan membuahkan hasil baik jika kita jeli melihat situasi. Menurut saya, akhirnya semua hanya berporos pada satu hal: membela kepentingan diri sendiri, membela ego masing-masing. Konflik akan selalu muncul jika setiap orang maunya menang membela ego.


"Conflict is drama, and how people deal with conflict shows you the kind of people they are
-- Stephen Moyer

Konflik Seperti Terangkum Dalam Film "Night Bus"

Bicara mengenai konflik, saya jadi ingat sebuah film Indonesia berjudul "Night Bus" yang sempat saya tonton belum lama ini. Film ini pernah diputar di layar terbatas saat rilis awalnya di bulan April 2017, namun berkat kemenangannya sebagai Film Terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2017, film tersebut kembali dirilis ke publik untuk meraih perhatian lebih banyak orang. Sayang, pemutarannya terbatas. Beruntung saya mendapatkan kesempatan menonton di salah satu bioskop dekat kantor.

Oke. Secara ringkas, "Night Bus" adalah film drama-thriller, bercerita mengenai bus Babad yang membawa supir, kondektur dan sekelompok penumpang warga sipil menuju kota Sampar. Mereka bisa pergi ke sana setelah mengantongi izin berangkat, karena sebelumnya Sampar sempat diselimuti konflik bersenjata antara tentara pemerintah dan kelompok Samerka (Sampar Merdeka). Mereka semua berharap situasi sudah membaik. Saat di tengah jalan, bis disusupi oleh seseorang yang terluka dan mengaku membawa pesan untuk kelompok Samerka. Sejak detik itulah nuansa film bergerak mencekam, dan perjalanan para penumpang bis menjadi perjalanan menembus malam yang tidak sama seperti biasanya, karena kini mereka harus berjuang mempertahankan nyawa.


sumber gambar: sinopsisfilmbioskopterbaru.com
Jika film ini hanya terjebak dalam pakem thriller, mungkin tak ubahnya film slasher/gore kebanyakan. Untunglah sang pembuat film memasukkan unsur drama yang menyuntikkan "nyawa" ke dalam pembangunan film secara keseluruhan. Diadaptasi dari cerpen "Selamat" karya Teuku Rifnu Wikana (yang merangkap sebagai produser, aktor, dan penulis naskah sekaligus, dimana ketiga-tiganya berbuah piala Citra untuknya!), film berdurasi 135 menit ini menjadi sebuah gelaran luar biasa yang menyorot satu tema: konflik.

Konflik digelar sedemikian padat dan tumpang tindih, seakan-akan terus memborbardir penonton dengan nuansa mencekam. Ironisnya, ada saja pihak yang mengambil keuntungan dari konflik semacam itu, sehingga mereka kerap "memeliharanya", berharap agar konflik tidak pernah usai. Film ini menyajikan gambaran demikian.

Selepas menonton "Night Bus", saya jadi bertanya-tanya sendiri: Kenapa ada pihak yang merasa senang kalau ada konflik ya? Kenapa senang kalau ada orang lain bertengkar?



"An eye for an eye will only make the whole world blind"  -- Mahatma Gandhi

Adu Kuat Argumen Dalam Media Apapun

Menurut buku "How To Win Friends & Influence People In The Digital Age" karya Dale Carnegie & Associates (ini adalah penyempurnaan dari buku laris berjudul How To Win Friends & Influence People karya Dale Carnegie di tahun 1936), salah satu cara mendapatkan dan menjaga kepercayaan orang lain adalah: "Hindari argumen"
sumber gambar: peopledynamic.com

Berikut saya kutip salah satu paragraf di halaman 115: "Berdebat dengan orang lain jarang sekali membuahkan hasil untuk Anda, biasanya perdebatan berakhir dengan salah satu pihak semakin yakin dengan kebenarannya. Mungkin Anda benar, amat sangat benar, tapi berdebat sama sia-sianya jika Anda memiliki pendapat yang salah."

Adu argumen bukanlah keahlian saya. Itulah sebabnya saya tidak menyukai tawar-menawar dalam sebuah transaksi perdagangan. Pernah sekali saya menawar harga sebuah barang setelah perang sengit beberapa menit dengan si penjual. Kebetulan barang itu sangat saya inginkan, sehingga saya bersikukuh mempertahankan harga versi pribadi. Merasa bangga bisa menang dalam tawar-menawar harga awal (sebuah kasus yang jarang terjadi bagi saya), kejayaan tersebut luluh seketika saat seorang teman berkata, "Ya elah Bay, lu yang digoblokkin! Gue pernah dapet tu barang lebih murah dari yang lu dapet. Pantesan aja tu penjual mau, masih untung banyak dia."

Hiks. Sejak saat itu, saya tidak terlalu peduli lagi dengan proses tawar-menawar jika memang tidak terpaksa. Saya sadar bahwa diri ini tidak ahli dalam urusan demikian. Contoh lain lagi nih. Jika ada tes psikologi yang memuat sesi penilaian "debat terbuka", saya selalu panik dan berkeringat dingin. Tes tersebut biasanya menyajikan contoh kasus yang harus dipecahkan, dan semua peserta tes HARUS beradu argumen mempertahankan jawaban masing-masing. Bisa dipastikan saya hanya menjadi peserta dengan argumen terlemah, sementara peserta lain sangat berapi-api mempertahankan pendapat.

Kini, setelah membaca buku Dale Carnegie, saya yakin bahwa tidak selamanya sebuah konflik harus memuat adegan lempar argumen. Jika bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan solusi yang lebih beradab (tidak ada perang urat syaraf), kenapa tidak? Pertanyaannya adalah: Bisakah kita menyelesaikannya dengan cara itu? Hm, mungkin pertanyaannya bukan "bisakah", melainkan "maukah...?"

Ah, konflik selalu muncul dimana saja, bukan? Di jalan raya, di sekolah, di kampus, di kantor, di rumah, dan sebagainya. Ada saja pemicunya, dari yang remeh hingga pelik. Di era digital seperti sekarang, konflik bahkan sudah merambah ke dunia maya. Begitu banyak adu argumen yang mengalir deras di internet atas sebuah berita, video, tweet, postingan dan semacamnya, memicu dampak viral di dunia yang katanya tidak dibatasi oleh apapun itu. Terkait hal ini, buku "How To Win Friends & Influence People In The Digital Age" menyinggungnya di halaman 115:

"Kita menghabiskan begitu banyak waktu di internet dengan berdebat atau memberikan argumen."

"Karena adu argumen di dunia digital itu terselubung dan kekurangan konsekuensi yang jelas berupa konfrontasi yang nyata, kedua belah pihak bisa lolos dengan serangan-serangan personal yang sengit serta ketidakjelasan yang pasif -- alat yang paling tidak efektif dalam hubungan manusia."

Bermodalkan selubung anonimitas, banyak orang di internet yang melemparkan argumen ini itu, kerap tanpa disaring dengan akal sehat terlebih dahulu. Yang menggunakan identitas asli pun demikian, mudah sekali melemparkan pernyataan yang memancing konflik, dengan dalih kebebasan berpendapat. Ada saja komentar negatif tentang ini itu, bahkan seorang teman pernah berkata, "Internet mah tempatnya buat nyinyir! Mana ada yang peduli tentang moral? Kan pada ngga tatapan muka."

Untungnya apa ya? Apakah setelah mengeluarkan pernyataan "nyinyir", kita akan dihinggapi perasaan lega karena merasa menjadi pihak yang benar? Jika "nyinyir"-nya ke pihak yang kita kenal, mungkin lain cerita, misalnya ke teman sendiri. Nah, jika "nyinyir"-nya ke orang yang belum dikenal secara pribadi, apa manfaat yang didapat? Mempertahankan kebenaran?


"There's no story if there isn't some conflict" -- Wes Anderson

Memelihara Konflik

Mengacu kasus "drama antre di minimarket" pada contoh di atas, saya jadi bertanya-tanya sendiri, bagaimana kiranya jika si Bapak A dan si ibu tidak melemparkan sindiran satu sama lain? Mungkin proses pembayaran akan berlangsung damai. Atau, bagaimana jika salah satu diantara mereka mengalah? Si Bapak A menahan emosi sejenak, atau si ibu meminta maaf dan mempersilahkan si Bapak A untuk membayar terlebih dahulu? Skenario apapun yang diambil, sepertinya bisa membuat situasi tidak memanas.

Sayangnya, kedua orang itu sudah memasang mode "ego di atas segalanya" terlebih dahulu. Saat si Bapak A merasa tersalip antreannya, dia langsung menegur dengan kesal, karena egonya tersakiti (tegurannya pun bukan secara baik-baik). Si ibu juga tidak mau kalah. Sadar egonya sedang dipertaruhkan, dia balas menegur kesal, padahal ada anak kecil yang sedang menjadikannya panutan keseharian. Ckck. 

Kasus sederhana itu menyadarkan saya bahwa di sekeliling kita, akan selalu ada pihak yang senang membela sampai titik darah penghabisan saat egonya dilukai. Kita cenderung tidak suka merasa kalah, sehingga "pasang badan dulu, logika belakangan" menjadi hal lumrah. Jika demikian, konflik pun tak terelakkan, bahkan untuk hal remeh sekalipun. Ada saja yang dipermasalahkan.

Di dalam film "Night Bus" bahkan lebih parah lagi, diceritakan ada sekelompok orang yang senang memelihara konflik. Benar. Mereka tidak ingin konflik selesai, karena mereka meraup untung banyak dari pecahnya konflik. Itu kondisi dalam film, bagaimana dengan kehidupan nyata? Well, sudah menjadi rahasia umum bahwa di dunia ini, ada saja pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan konflik di negara-negara perang demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Timur tengah dan gerakan-gerakan separatis lain di seluruh penjuru dunia menjadi bukti nyata bahwa konflik HARUS terus ada.

Ah, kenapa topiknya jadi berat begini? Saya bukan ahli politik, hubungan internasional atau semacamnya, namun satu hal yang saya tahu: konflik sering memakan korban tak berdosa (dalam film "Night Bus", tagline-nya adalah "Conflict Doesn't Choose Its Victims"). Dalam kasus "antre di minimarket", si anak kecil tanpa sadar telah menjadi korban, mendapat pemahaman dari ibunya sendiri bahwa "menyalip antrian itu benar dan jika ditegur, pertahankan argumen!"

Itukah yang kita ingin lihat dari generasi mendatang?

Ya sudahlah, semua orang memiliki pendapat masing-masing. Ini pendapat pribadi saya, yang hanya bisa diam melihat perlakuan semacam itu. Mungkin seharusnya saya melerai mereka, dan memberi pemahaman yang baik tentang antre dan adu argumen, sehingga semua merasa tenteram. Tapi karena khawatir masalah akan semakin runyam jika saya turut campur (bisa-bisa si bapak dan ibu malah ganti menceramahi saya), maka saya menggunakan salah satu prinsip yang ditulis Dale Carnegie: Hindari argumen. As simple as that. Hehe.

Jadi, saya menghindari argumen saat itu, keluar dari minimarket dengan sejuta pertanyaan di benak, mengolahnya menjadi ide tulisan, dan inilah hasilnya yang sedang kalian baca. Mungkin saya pengecut karena kabur dari "medan perang adu mulut di kasir minimarket", namun setidaknya saya bisa menyuarakannya lewat tulisan. Lagipula, benar kata Wes Anderson seperti kutipan berwarna hijau di atas: "There's no story if there isn't some conflict". Berkat konflik kecil di minimarket itu, saya malah mendapat bahan untuk menulis artikel di blog.

Hahaha.

Eh tunggu dulu, kalau dipikir-pikir... apakah ini artinya saya ternyata menjadi pihak yang memanfaatkan konflik?

-Bayu-



Catatan selama proses menulis:

Jika ada musisi yang memiliki kemampuan bermusik dalam tataran "genius", ditunjang dengan keterbatasan fisik yang membuatnya semakin "luar biasa", nama Ray Charles patut dimasukkan ke daftar. Musisi pengusung genre soul yang menggabungkan blues, R&B dan gospel ke dalam musiknya ini berkecimpung di era tahun 1950-an. Meski buta sejak berusia tujuh tahun, Ray secara ajaib diberkahi telinga dan daya tangkap musik yang sangat baik, sehingga dirinya mampu menelurkan banyak karya, salah satunya adalah "Hit The Road Jack", dengan sentuhan R&B dan jazz yang indah. Walaupun ditulis oleh Percy Mayfield, namun Ray berhasil mempopulerkan lagu tersebut ke khalayak umum kala itu, tentu saja dengan sentuhan "musikalitasnya yang ajaib". Saya mendengarkan lagu ini sepanjang proses menulis artikel di atas untuk memperlancar ide.


Kisah hidup dan perjuangan bermusik seorang Ray Charles sudah pernah dibuatkan film tersendiri dengan judul "Ray", dibintangi oleh Jamie Foxx, dimana dia berhasil mendapat piala Oscar untuk kategori Best Performance by an Actor in a Leading Role.


Notable lyric of this song:

Don't you treat me this way
Cause i'll be back on my feet someday
sumber gambar: genius.com











11 komentar

  1. Saat awal baca, ada beberapa tulisan yang mirip dengan pemikiran dalam esai saya. O iya, tulisan itu belum saya taruh blog. Saya ngirimnya ke media, tapi belum ada jawaban. Haha. Mungkin suatu hari saya tampilin di blog deh kalau emang ditolak. Semoga, sih, diterima. Ngarep~ Wq.

    Sumpah, kesel banget emang kalau ada ibu-ibu menyalip antrean gitu aja. Apalagi alasannya, "Saya buru-buru, Mas. Anak saya mau sekolah nih." Dikira waktu itu saya nggak pengin berangkat kerja apa? Sering banget saya temuin pas beli sarapan nih. XD Setelahnya, saya baru sadar kalau sekolah lagi liburan. Kan semakin kesel. Oke, ini pengalaman terkocak ketika antrean saya diserobot. Haha.

    Saya pun pernah beberapa kali berada di posisi si bapak-bapak. Sayangnya, saya baru berani menegur sekali aja dan kalau dia nyangkal, saya diemin. Saya cuma nggak pengin budaya menyelak antrean ini selalu dibenarkan. Jadi, perlulah menegur. Toh, niat saya emang pengin ngasih tau kalau antre dan menunggu itu menyebalkan, tapi tetap harus ikuti aturan. Nggak mau kalau ngalah terus-terusan sama orang yang begitu. Sayangnya, saya sering milih untuk nggak berdebat sama ibu-ibu. Saya tahu, nantinya akan panjang dan saya tetep kalah, meskipun posisi saya benar. :(

    Iya, ya. Kenapa selalu ada orang yang mengambil keuntungan dari adanya konflik? Mereka seolah senang melihat kehancuran. :') Apakah orang sekarang sudah susah mikir terbuka atau ubah lagi sudut pandang lainnya ketika berdebat? Jadi, ya begitu teruslah. Akan selalu merasa paling benar dan termakan ego sendiri. Apalagi kalau udah nyangkut politik. Saya muak lihat orang berdebat nggak habis-habis cuma belain tokoh politiknya. Apa coba faedahnya? Bahkan temen baik pun bisa jadi musuh.

    Kalau dipikir-pikir lagi, kita, kan, punya pilihan hidup masing-masing. Nah, yang jadi masalah adalah ada beberapa orang yang suka memaksakan pilihannya itu untuk diikuti orang lain. Makanya kalau ada yang berbeda akan dianggap salah, dan pendapat dia udah paling bener deh~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah iya, gitu Yog? Sepemikiran berarti kita ya, tapi beda pemaparan pastinya, hehe.

      Gokil juga tuh pengalaman lo diselak ibu-ibu pake alesan anaknya sekolah, padahal sekolah lagi libur, haha. Di satu sisi, si ibunya cerdas memanfaatkan peluang. Satu contoh sederhana lain pemanfaatan peluang dan konflik untuk kepentingan pribadi. Sabar ya Yog :p

      Kalo gue, suka ga berani manas-manasin situasi kalo dah ngadepin pihak yang keliatannya pasang argumen mati-matian. Bakalan susah ngadepin tipe kayak begitu, semakin diladenin, semakin menjadi. Kayak kasus lo ama ibu-ibu itu lah. Meski di sisi kita bener, ya udah lah ya... ujung-ujungnya pembenaran ada di sisi dia. Jadi timpang argumennya.

      Kenapa orang sekarang susah berpikir terbuka? Entahlah, mungkin salah satunya pengaruh teknologi. Teknologi memungkinkan orang pake selubung anonimitas, punya tembok dunia maya, merasa ga bisa ditemui langsung, jadi bebas cuap-cuap. Disuruh berpikir terbuka atau ubah sudut pandang sama susahnya kayak ngeringin laut.

      Iya tuh, kalo urusan politik suka ngejelimet sendiri, adu argumen ga ada abisnya, padahal semua sisi politik yang dibela ga sempurna 100%. Ujung-ujungnya kayak yang lo bilang, temen baik pun bisa jadi musuh.

      Ah ya, pemaksaan pilihan udah masuk level akut, haha.

      Hapus
  2. Negara demokratis, kebebasan pers, kebebasan berpendapat. Ini dalih yang sebenarnya kita tahu sekali pasti ada aturannya, secara moral kemasyarakatan. Tapi kalau sudah dibawa ke ranah hukum tertulis, kok sepertinya semuanya jadi benar, dibenarkan. Padahal gak benar sama sekali, padahal kita tahu pasti sangat melanggar aturan khas masyarakat kita Indonesia.

    Banyaklah.

    Sebenarnya gak melulu berpendapat yang pure 'argumen'. Tapi juga yang dituangkan dalam bentuk hiburan di media. Argumennya, 'kalau ada banci2an, kalau ada isu2 rumah tangga, kalau ada buka2an gosip di atas panggung itu lucu.' Lucu mbah nya. Gak berpendidikan, miris.

    Anyway anyway......sebenarnya berargumen itu bagus, kalau dinyatakan di tempat yang tepat. Yaiyalah. Karena kalau tidak, justru akan rawan terjadi salah pengetahuan.

    Contohnya ya di kelas. Lucunya, waktu itu ada satu anak yang bertanya menurut buku yang dia baca A. Sedangkan satu kelas (bahkan bila sepertinya malamnya ia tidak belajar), menyatakan B. Dia terus mempertahankan A. Sampai kita desak dan brargumen macam2, dapat darimana dia B?

    Akhirnya, yasudah. Kalau dia mau B silahkan, kita semua A. Tapi setelah itu ya baikan semua.

    Kalau kata teman yang alim, jadikan kejadian apapun di sekelilingmu ladang istighfar. Kalau ada kejadian gak mengenakkan seperti yang bang Bay rasakan, ngumpat dikit dalam hati bolehlah. Tapi habis itu istighfar. Soalnya habis ngumpat. Alhamdulillah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Zahrah.

      Konsepnya benar tapi penerapannya yang kebablasan kali ya, jadi anggepannya semua bisa dibenarkan. Tentang hiburan di media itu, faktornya bisa di kedua sisi: sisi penyebar hiburan, merasa senang karena penontonnya senang dengan muatan demikian, sementara sisi penonton, ya emang mayoritas seneng dikasih tontonan semacam itu. Jadi pada dapet keuntungan aja. Udah ga ada tempat lagi mikir itu semua bener apa ngga. Miris.

      Iya setuju, berargumen itu bagus kok kalo dinyatakan di tempat yang tepat. Justru kalo ngga ada argumen, dunia jadi tempat yang ngebosenin. Tinggal pinter-pinternya kita aja ngatur adu argumen yang pas, karena ngga semua orang dibekali pemahaman baik dalam adu argumen. Kalo udah saling mementingkan ego kayak kasus gue di atas... bagi gue, selesai deh urusan, mending ga ikut campur. Pemahaman dua orang itu udah melenceng dari adu argumen yang sehat, kalo ditambahin argumen lagi, bisa perang mulut :p

      Kalo kasusnya kayak di kelas yang lo ceritain itu, alhamdulillah kan berakhir dengan baikan semua.

      "Jadikan kejadian apapun di sekelilingmu ladang istighfar" --> makasih udah diingetin :D

      Hapus
  3. Aku ngikik kecil waktu baca pertanyaan terakhir. Pertanyaan yang bikin ngerasa, "Oh iya ya, wah, iya, jadi gimana dong?" Ya, Bay. Kamu bisa dibilang memanfaatkan konflik yang ada, tapi dalam hal positif. Memanfaatkan bukan berarti selalu bermakna buruk kan?

    Aku suka tulisan ini. Selalu suka tulisan kamu. Kalau aku seandainya berada di dalam drama antrean di minimarket itu, mungkin aku juga bakal memilih diam. Dan membaperkan drama itu dengan film yang aku tonton. Wkakaka. Eh iya, persis nih. Kamu bawa-bawa Night Bus. Whoaaaaah. Aku belom nonton itu, karena di sini nggak tayang. Memang bener yak, tayangnya terbatas. Pas udah ngegondol banyak piala pun, tetap aja masih terbatas. Huhuhuhuhu.

    Ngomongin soal konflik di Internet, beberapa waktu ini aku sering ngeliat sih konflik dan nyinyir di Internet, tentang film. Banyak yang mendewakan selera film mereka, lalu merendahkan selera film orang lain. Ngerendahinnya subjektif lagi. Maksudnya gimana ya, kalau menurut mereka film itu jelek, ya berarti memang jelek. Padahal kan selera orang beda-beda. Terus ada lagi nih yang ngeselin sekaligus lucu. Ada yang melabeli "aneh" kalau misalnya ada orang yang ngaku suka nonton film tapi nggak suka film A. Seolah-olah kalau kita ngaku suka film tapi nggak suka nonton film A, berarti kita cuma 'bohong' aja bilang suka film. Hahaha bikin ngakak sih.

    Ngeliat konflik dan nyinyir yang merajelela, dan kasus perang selera film yang sering terjadi di medsos, aku memilih buat nggak berargumen sih. Aku nyuarain pendapatku aja, atau lebih tepatnya perasaanku. Aku terima kalau ada yang nggak 'terima' sama curahan perasaanku akan satu film.

    Oh iya, gara-gara baca tulisan kamu ini, ditambah komen curhat banget kayak gini... KOK AKU JADI KEPIKIRAN SATU IDE BUAT BLOG YA. Jadi aku mau nerusin rubrikku yang dulu, yaitu satu tulisan satu film tapi dua review di dalamnya. Nah itu aku mau jadiin semacam dua review yang satunya suka sama film itu, satunya nggak suka. Misalnya, bahas film Good Time. Satu review bilang kalau suka banget filmnya, bikin deg-degan. Satunya lagi bilang gak terlalu suka, konfliknya kurang atau gimana. Tapi disampaikan baik-baik dan nggak saling menjatuhkan pendapat juga selera. Aku pengen ngebuktiin kalau beda selera bukan berarti harus berkonflik.

    Tapi nggak tau partnernya siapaaaaaaa..... Huhuhuhuhu.....

    BANGKEEEEEE. INI KOMEN APAAAN GILAAAAAAAAAAA. BAYU DEH YANG GILA, IDE TULISANNYA. BIKIN AKU JADI BERPIKIR SELIAR ITU. ENTAH BAKAL TEREALISASIKAN JUGA APA ENGGAK. HUHUHUHUHU. Btw makasih ya, Bay. Lagi-lagi makasih udah nulis. Tulisanmu selalu buat aku 'tergerak.' Entah itu nangis terharu larut di dalamnya, setuju banget, atau jadi mikir ngelantur kayak di atas. Wkakaka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, Cha!

      Yup, memanfaatkan ngga selalu bermakna buruk. Jadi, semoga aja pemanfaatannya di blog ini positif ya :D

      Haha. Kalo lo yang nemu kejadiannya dan ngebaperin ke film kayak yang lo bilang, wah pasti lo juaranya deh, yakin, kan emang gaya tulisan lo dah khas Icha banget, hehe :p kalo gue, kebetulan nyambungin karena abis nonton Night Bus.

      Nonton film Night Bus itu sendiri perjuangan tuh, Cha. Pas tahu pemutarannya terbatas, gue langsung ambil kesempatan beli tiket, ngga mau nyia-nyiain. Iya, sayang banget keterbatasannya pun dalam lingkup beberapa kota aja, ga semua daerah di Indonesia kebagian. Semoga lo bisa nemu media yang pas selain bioskop untuk nonton film itu ya, soalnya KEREN BANGET. Beneran.

      Duh, gue tahu tuh kasus nyinyirin film begitu, Cha. Ngga cuma di film, merambahnya ke musik, olahraga, buku dan semua hal. Seolah kalo kita suka A, semestinya suka B juga, padahal kan selera orang beda-beda. Selera film lo keren kok, Cha, dan kalo diserang orang laen tentang selera, ya keliatannya ga akan kelar-kelar dituntasin. Jadi, slow aja ngadepin yang begitu, toh lo udah berusaha ngutarain pendapat lo terkait film tertentu. Memaksakan masuk ke selera orang lain tanpa keikhlasan juga jadinya malah setengah-setengah.

      Haha. Komentar lo itu mang unik, udah khasnya Icha banget :D
      Wah, bisa tuh dikembangin di blog lo sendiri, segmen dua review untuk satu film itu. Semoga terealisasi. Makasih udah baca & comment, Cha. Jadi terharu juga baca komentar lo hehe.

      Hapus
  4. masalah buk ibuk ynag ngantre emang kadang negselin
    suka liat malah anak2 yang diterombol antrian
    padahal kalau mereka mikir itu anaknya sendiri kan kasian
    eh yang night bus itu aku jadi keingat film speed ya cuman itu busnya mau diledakkin

    nah masalah konflik
    ini yang aku sekarang lagi males2nya bersosialisasi di jejaring sosial
    gimana enggak, Tuhan ada di mana-mana alias yang suka debat dan ingin menang sendiri ada di setiap medsos.
    emang bener, jadi yang kalah saat debat itu gak disukai semua orang, tapi kalau orang tau apa esnsi debat sebenernya buat nambah wawasan ya terima dong kalo argumennya kurang tepat
    yang gue heran, sekarang ada pekerjaan yang lagi vira; : mantengin konflik2 di medoso. ajegile jeg. lu gak inget kuburan?

    ah sudahlah, tapi sudah mendekati zaman akhir, konflik itu untuk diselesikan dan dicari solusi bukan buat hiburan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Proses antre soalnya kurang ditanemin jadi budaya ya Mas, jadi semua maunya diduluin. Kalo ditegor, malah adu argumen, bukannya mikir kesalahan dan minta maaf. Semoga pola begini ke depannya bisa berubah ya, yang penting bisa kita mulai dari diri sendiri aja, menghormati proses antre.

      Saya malah belom nonton film Speed, hehe, jadi ga tahu perbandingannya :p

      Media sosial tempatnya segala macem, debat udah ngga lagi dianggep menyehatkan, malah lempar argumen membela kepentingan masing-masing, merasa paling benar. Bener gitu kan ya? Saya sendiri menjauhi hal-hal semacem itu, untuk ngejaga pikiran biar ga tercemar aja sih Mas. Masih banyak kelompok diskusi sehat yang bisa kita ambil manfaatnya.

      Kalo yang ga terima argumennya salah, karena dasarnya ego dia yang harus dipertahanin, jadi ga terima kekalahan :p Justru keberadaan medsos semakin menyuburkan ego setiap orang, merasa harus diperhatikan dan dipahami.

      CMIIW.

      Wah, gokil emang pekerjaan mantengin konflik di medsos itu, haha. Cukup terima aja sebagai bentuk baru "dampak medsos" dan... sebisa mungkin jauh-jauh dari hal-hal yang terkait semacem itu, hehe.

      Hapus
  5. Aku mungkin juga merasa bingung bila ada di posisi itu, antara membela si Ibu atau si Bapak. Tapi argumen orang dewasa kadang membingungkan, dan selalu ada pihak yang dirugikan juga diuntungkan juga ya, kembali ke diri kita lah.. semoga jadi manusia yang damai selalu. Hehe

    Tulisannya bagus Bayu, as always. aku kalau lagi cari pencerahan suka baca2 kesini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kan? Saya juga bingung, jadinya mending diem aja, keliatannya sama-sama "emosi" kedua orang itu, kalo ditambahin argumen, pikiran mereka belom sama-sama seger, bisa-bisa dimaki abis-abisan.

      Bener tuh, argumen orang dewasa kadang membingungkan, ya? Ya, kembali ke diri kita aja... semoga jadi manusia yang damai selalu, aamiin.

      Wah... senengnya kalo ada yang tercerahkan. Makasih banyak ya udah mampir kesini :D

      Hapus
  6. Halo, Mayang!

    Ah iya, bener banget. Setuju sama lo. Uang adalah salah satu unsur "panas" yang bisa memicu konflik. Dengan uang, banyak pihak rela ngelakuin apa aja, bahkan bertekad mempertahankan konflik biar rame, selama apa pun produk yang mereka jual (bisa barang, bisa jasa) laku keras.

    Hm, kalo ngomongin konflik di dunia maya sebagai hasil dari akun-akun tak bertanggung jawab yang seneng mempertahankan konflik, gue ga bisa komentar banyak. Kalo udah kayak gitu, biasanya ngga ada yang mau ngalah, adu argumentasi terus. Hebatnya, justru adegan kayak gitu yang ngedatengin keuntungan. Pro kontra bisa jadi bisnis menggiurkan. Gokil ya, hehe. Bener tuh, kita udah harus siaga dengan perang dunia ke-3, haha.

    Nah ini... orang dewasa yang katanya bisa menggunakan akal sehat, nyatanya tetep aja susah pake akal sehat kalo dihadepin konflik. Sayang banget. Justru pengalaman mereka yang katanya udah makan asem garem kehidupan, sering dipake sebagai tameng pembenaran kalo mereka berkonflik.

    Yah, beginilah, suka atau tidak suka, kita hidup di generasi seperti ini, hehe.

    Makasih, Mayang :) thanks banget juga udah mampir kesini.

    BalasHapus

 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.