![]() |
sumber gambar: storiesfromschoolaz.org |
Saya tidak suka mengantre.
Sayangnya, banyak hal dalam hidup ini yang mengharuskan terbentuknya kegiatan mengantre, mulai dari mengantre perizinan ini itu, mengantre naik kendaraan umum, hingga mengantre mendapatkan pelayanan makanan di restoran. Saya ingin menceritakan sedikit "drama" terkait proses mengantre yang sempat saya lihat beberapa saat lalu.
Saat itu, saya sedang mengantre untuk membayar di sebuah minimarket. Saya antre di urutan keempat, begini urutan antreannya agar kalian mendapat gambaran utuh:
Pengantre pertama: seorang laki-laki, mungkin mahasiswa (dia yang sedang dilayani kasir, kebetulan belanjaannya cukup banyak sehingga proses pembayaran agak lama)
Pengantre kedua: Bapak A
Pengantre ketiga: seorang ibu-ibu dengan anak laki-laki kecil
Pengantre keempat: saya
Pengantre kelima: Bapak B
Karena kasir yang melayani hanya satu dan antrian terlihat cukup panjang, salah satu staf minimarket berinisiatif membuka satu layanan kasir lagi untuk membantu. Melihat peluang tersebut, si ibu-ibu dengan anak laki-lakinya (yang mana merupakan pengantre ketiga) langsung bergerak ke kasir kedua, sembari meletakkan barang belanjaannya di meja kasir. Jujur, saya salut dengan kecepatannya membaca peluang, bahkan sebelum si kasir kedua sempat berkata, "Silahkan, bisa disini bayarnya."
Merasa tersalip, pengantre kedua (si Bapak A) kesal. Kurang lebih begini percakapan yang terjadi:
Bapak A : Bu, antre dong, kan harusnya saya duluan!
Ibu : Saya buru-buru, Pak. Lagian kenapa Bapak ngga bergerak duluan?
Bapak A : Lha, mana saya tahu kalo mas-masnya buka? (maksudnya, membuka layanan kasir kedua) Mas-nya juga, saya duluan mestinya ini!
Mas Kasir : Maaf Pak, udah terlanjur saya input (sembari tersenyum kikuk).
Ibu : Ya udah sih Pak, nah tuh udah selesai si mas-masnya (maksudnya, pengantre pertama telah selesai dilayani sehingga si Bapak A bisa membayar di kasir pertama).
Si Bapak A hanya bisa bersungut-sungut kesal. Saya diam saja, tidak berusaha membela pihak manapun. Mungkin seharusnya saya membela si Bapak A, tapi buat apa saya ikut campur lebih lanjut, lagipula kedua-duanya telah dilayani oleh kasir. Saya tahu bahwa si Bapak A kesal karena dua hal: (1) budaya antre harus ditegakkan (2) egonya terluka karena disalip antrean oleh orang lain, sehingga dia berusaha menyelamatkan wibawanya.
Jujur, jika saya berada di posisi si Bapak A, saya mungkin akan diam saja, karena antriannya hanya tinggal satu. Lagipula, sulit rasanya beradu argumen dengan tipe ibu-ibu seperti itu. Lebih baik mengalah, meski seharusnya saya menghormati proses mengantre. Biarlah. Ada kalanya adu argumen tidak akan membuahkan hasil baik jika kita jeli melihat situasi. Menurut saya, akhirnya semua hanya berporos pada satu hal: membela kepentingan diri sendiri, membela ego masing-masing. Konflik akan selalu muncul jika setiap orang maunya menang membela ego.
"Conflict is drama, and how people deal with conflict shows you the kind of people they are"
-- Stephen Moyer
Bicara mengenai konflik, saya jadi ingat sebuah film Indonesia berjudul "Night Bus" yang sempat saya tonton belum lama ini. Film ini pernah diputar di layar terbatas saat rilis awalnya di bulan April 2017, namun berkat kemenangannya sebagai Film Terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2017, film tersebut kembali dirilis ke publik untuk meraih perhatian lebih banyak orang. Sayang, pemutarannya terbatas. Beruntung saya mendapatkan kesempatan menonton di salah satu bioskop dekat kantor.
Oke. Secara ringkas, "Night Bus" adalah film drama-thriller, bercerita mengenai bus Babad yang membawa supir, kondektur dan sekelompok penumpang warga sipil menuju kota Sampar. Mereka bisa pergi ke sana setelah mengantongi izin berangkat, karena sebelumnya Sampar sempat diselimuti konflik bersenjata antara tentara pemerintah dan kelompok Samerka (Sampar Merdeka). Mereka semua berharap situasi sudah membaik. Saat di tengah jalan, bis disusupi oleh seseorang yang terluka dan mengaku membawa pesan untuk kelompok Samerka. Sejak detik itulah nuansa film bergerak mencekam, dan perjalanan para penumpang bis menjadi perjalanan menembus malam yang tidak sama seperti biasanya, karena kini mereka harus berjuang mempertahankan nyawa.
![]() |
sumber gambar: sinopsisfilmbioskopterbaru.com |
Konflik digelar sedemikian padat dan tumpang tindih, seakan-akan terus memborbardir penonton dengan nuansa mencekam. Ironisnya, ada saja pihak yang mengambil keuntungan dari konflik semacam itu, sehingga mereka kerap "memeliharanya", berharap agar konflik tidak pernah usai. Film ini menyajikan gambaran demikian.
Selepas menonton "Night Bus", saya jadi bertanya-tanya sendiri: Kenapa ada pihak yang merasa senang kalau ada konflik ya? Kenapa senang kalau ada orang lain bertengkar?
"An eye for an eye will only make the whole world blind" -- Mahatma Gandhi
Adu Kuat Argumen Dalam Media Apapun
Menurut buku "How To Win Friends & Influence People In The Digital Age" karya Dale Carnegie & Associates (ini adalah penyempurnaan dari buku laris berjudul How To Win Friends & Influence People karya Dale Carnegie di tahun 1936), salah satu cara mendapatkan dan menjaga kepercayaan orang lain adalah: "Hindari argumen".
![]() |
sumber gambar: peopledynamic.com |
Berikut saya kutip salah satu paragraf di halaman 115: "Berdebat dengan orang lain jarang sekali membuahkan hasil untuk Anda, biasanya perdebatan berakhir dengan salah satu pihak semakin yakin dengan kebenarannya. Mungkin Anda benar, amat sangat benar, tapi berdebat sama sia-sianya jika Anda memiliki pendapat yang salah."
Adu argumen bukanlah keahlian saya. Itulah sebabnya saya tidak menyukai tawar-menawar dalam sebuah transaksi perdagangan. Pernah sekali saya menawar harga sebuah barang setelah perang sengit beberapa menit dengan si penjual. Kebetulan barang itu sangat saya inginkan, sehingga saya bersikukuh mempertahankan harga versi pribadi. Merasa bangga bisa menang dalam tawar-menawar harga awal (sebuah kasus yang jarang terjadi bagi saya), kejayaan tersebut luluh seketika saat seorang teman berkata, "Ya elah Bay, lu yang digoblokkin! Gue pernah dapet tu barang lebih murah dari yang lu dapet. Pantesan aja tu penjual mau, masih untung banyak dia."
Hiks. Sejak saat itu, saya tidak terlalu peduli lagi dengan proses tawar-menawar jika memang tidak terpaksa. Saya sadar bahwa diri ini tidak ahli dalam urusan demikian. Contoh lain lagi nih. Jika ada tes psikologi yang memuat sesi penilaian "debat terbuka", saya selalu panik dan berkeringat dingin. Tes tersebut biasanya menyajikan contoh kasus yang harus dipecahkan, dan semua peserta tes HARUS beradu argumen mempertahankan jawaban masing-masing. Bisa dipastikan saya hanya menjadi peserta dengan argumen terlemah, sementara peserta lain sangat berapi-api mempertahankan pendapat.
Kini, setelah membaca buku Dale Carnegie, saya yakin bahwa tidak selamanya sebuah konflik harus memuat adegan lempar argumen. Jika bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan solusi yang lebih beradab (tidak ada perang urat syaraf), kenapa tidak? Pertanyaannya adalah: Bisakah kita menyelesaikannya dengan cara itu? Hm, mungkin pertanyaannya bukan "bisakah", melainkan "maukah...?"
Ah, konflik selalu muncul dimana saja, bukan? Di jalan raya, di sekolah, di kampus, di kantor, di rumah, dan sebagainya. Ada saja pemicunya, dari yang remeh hingga pelik. Di era digital seperti sekarang, konflik bahkan sudah merambah ke dunia maya. Begitu banyak adu argumen yang mengalir deras di internet atas sebuah berita, video, tweet, postingan dan semacamnya, memicu dampak viral di dunia yang katanya tidak dibatasi oleh apapun itu. Terkait hal ini, buku "How To Win Friends & Influence People In The Digital Age" menyinggungnya di halaman 115:
"Kita menghabiskan begitu banyak waktu di internet dengan berdebat atau memberikan argumen."
"Karena adu argumen di dunia digital itu terselubung dan kekurangan konsekuensi yang jelas berupa konfrontasi yang nyata, kedua belah pihak bisa lolos dengan serangan-serangan personal yang sengit serta ketidakjelasan yang pasif -- alat yang paling tidak efektif dalam hubungan manusia."
Bermodalkan selubung anonimitas, banyak orang di internet yang melemparkan argumen ini itu, kerap tanpa disaring dengan akal sehat terlebih dahulu. Yang menggunakan identitas asli pun demikian, mudah sekali melemparkan pernyataan yang memancing konflik, dengan dalih kebebasan berpendapat. Ada saja komentar negatif tentang ini itu, bahkan seorang teman pernah berkata, "Internet mah tempatnya buat nyinyir! Mana ada yang peduli tentang moral? Kan pada ngga tatapan muka."
Untungnya apa ya? Apakah setelah mengeluarkan pernyataan "nyinyir", kita akan dihinggapi perasaan lega karena merasa menjadi pihak yang benar? Jika "nyinyir"-nya ke pihak yang kita kenal, mungkin lain cerita, misalnya ke teman sendiri. Nah, jika "nyinyir"-nya ke orang yang belum dikenal secara pribadi, apa manfaat yang didapat? Mempertahankan kebenaran?
"There's no story if there isn't some conflict" -- Wes Anderson
Memelihara Konflik
Mengacu kasus "drama antre di minimarket" pada contoh di atas, saya jadi bertanya-tanya sendiri, bagaimana kiranya jika si Bapak A dan si ibu tidak melemparkan sindiran satu sama lain? Mungkin proses pembayaran akan berlangsung damai. Atau, bagaimana jika salah satu diantara mereka mengalah? Si Bapak A menahan emosi sejenak, atau si ibu meminta maaf dan mempersilahkan si Bapak A untuk membayar terlebih dahulu? Skenario apapun yang diambil, sepertinya bisa membuat situasi tidak memanas.
Sayangnya, kedua orang itu sudah memasang mode "ego di atas segalanya" terlebih dahulu. Saat si Bapak A merasa tersalip antreannya, dia langsung menegur dengan kesal, karena egonya tersakiti (tegurannya pun bukan secara baik-baik). Si ibu juga tidak mau kalah. Sadar egonya sedang dipertaruhkan, dia balas menegur kesal, padahal ada anak kecil yang sedang menjadikannya panutan keseharian. Ckck.
Kasus sederhana itu menyadarkan saya bahwa di sekeliling kita, akan selalu ada pihak yang senang membela sampai titik darah penghabisan saat egonya dilukai. Kita cenderung tidak suka merasa kalah, sehingga "pasang badan dulu, logika belakangan" menjadi hal lumrah. Jika demikian, konflik pun tak terelakkan, bahkan untuk hal remeh sekalipun. Ada saja yang dipermasalahkan.
Di dalam film "Night Bus" bahkan lebih parah lagi, diceritakan ada sekelompok orang yang senang memelihara konflik. Benar. Mereka tidak ingin konflik selesai, karena mereka meraup untung banyak dari pecahnya konflik. Itu kondisi dalam film, bagaimana dengan kehidupan nyata? Well, sudah menjadi rahasia umum bahwa di dunia ini, ada saja pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan konflik di negara-negara perang demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Timur tengah dan gerakan-gerakan separatis lain di seluruh penjuru dunia menjadi bukti nyata bahwa konflik HARUS terus ada.
Ah, kenapa topiknya jadi berat begini? Saya bukan ahli politik, hubungan internasional atau semacamnya, namun satu hal yang saya tahu: konflik sering memakan korban tak berdosa (dalam film "Night Bus", tagline-nya adalah "Conflict Doesn't Choose Its Victims"). Dalam kasus "antre di minimarket", si anak kecil tanpa sadar telah menjadi korban, mendapat pemahaman dari ibunya sendiri bahwa "menyalip antrian itu benar dan jika ditegur, pertahankan argumen!"
Itukah yang kita ingin lihat dari generasi mendatang?
Ya sudahlah, semua orang memiliki pendapat masing-masing. Ini pendapat pribadi saya, yang hanya bisa diam melihat perlakuan semacam itu. Mungkin seharusnya saya melerai mereka, dan memberi pemahaman yang baik tentang antre dan adu argumen, sehingga semua merasa tenteram. Tapi karena khawatir masalah akan semakin runyam jika saya turut campur (bisa-bisa si bapak dan ibu malah ganti menceramahi saya), maka saya menggunakan salah satu prinsip yang ditulis Dale Carnegie: Hindari argumen. As simple as that. Hehe.
Jadi, saya menghindari argumen saat itu, keluar dari minimarket dengan sejuta pertanyaan di benak, mengolahnya menjadi ide tulisan, dan inilah hasilnya yang sedang kalian baca. Mungkin saya pengecut karena kabur dari "medan perang adu mulut di kasir minimarket", namun setidaknya saya bisa menyuarakannya lewat tulisan. Lagipula, benar kata Wes Anderson seperti kutipan berwarna hijau di atas: "There's no story if there isn't some conflict". Berkat konflik kecil di minimarket itu, saya malah mendapat bahan untuk menulis artikel di blog.
Hahaha.
Eh tunggu dulu, kalau dipikir-pikir... apakah ini artinya saya ternyata menjadi pihak yang memanfaatkan konflik?
-Bayu-
Catatan selama proses menulis:
Jika ada musisi yang memiliki kemampuan bermusik dalam tataran "genius", ditunjang dengan keterbatasan fisik yang membuatnya semakin "luar biasa", nama Ray Charles patut dimasukkan ke daftar. Musisi pengusung genre soul yang menggabungkan blues, R&B dan gospel ke dalam musiknya ini berkecimpung di era tahun 1950-an. Meski buta sejak berusia tujuh tahun, Ray secara ajaib diberkahi telinga dan daya tangkap musik yang sangat baik, sehingga dirinya mampu menelurkan banyak karya, salah satunya adalah "Hit The Road Jack", dengan sentuhan R&B dan jazz yang indah. Walaupun ditulis oleh Percy Mayfield, namun Ray berhasil mempopulerkan lagu tersebut ke khalayak umum kala itu, tentu saja dengan sentuhan "musikalitasnya yang ajaib". Saya mendengarkan lagu ini sepanjang proses menulis artikel di atas untuk memperlancar ide.
Kisah hidup dan perjuangan bermusik seorang Ray Charles sudah pernah dibuatkan film tersendiri dengan judul "Ray", dibintangi oleh Jamie Foxx, dimana dia berhasil mendapat piala Oscar untuk kategori Best Performance by an Actor in a Leading Role.
Notable lyric of this song:
Don't you treat me this way
Cause i'll be back on my feet someday
![]() |
sumber gambar: genius.com |