Mengapa Menjadi Hitam Diantara Mayoritas Putih Kerap Diremehkan?

image source: freepptbackgrounds.net
"Black is not sad... black is poetic" -- Ann Demeulemeester

Di blog ini, beberapa waktu lalu saya sempat membahas mengenai keindahan hitam dan putih, bagaimana kedua warna itu merupakan warna yang indah saat digabung. Banyak yang mengincar warna lebih menarik daripada hitam dan putih, misalnya merah, kuning, hijau, biru dan masih banyak lagi. Sama seperti warna kehidupan, yang selalu dicari adalah yang berwarna-warni, agar penuh semangat positif, padahal warna hitam dan putih yang hadir pun bisa memberikan kenyamanan tersendiri. Kira-kira itulah sekelumit isi tulisan saya terdahulu.

Kini, saya ingin memfokuskan pada sisi warna hitam. Kita ibaratkan saja sisi putih adalah sisi positif, warna suci dan kebaikan, sementara sisi hitam adalah sisi negatif, warna muram dan jahat. Noda yang melumuri kebaikan. Intinya, hitam kerap dikonotasikan tidak baik. Musibah yang menimpa seseorang sering disebut "masa-masa tergelap dalam hidup". Saat kematian menyapa, seluruh orang yang hadir di pemakaman mendadak mengenakan busana hitam.

Gelap. Suram. Pesimis.

Bagaimana dengan warna putih? Tidak usah diragukan lagi, kemilau putih selalu memberikan nuansa positif dimanapun dia berada. Warna busana para muslim saat menunaikan ibadah haji atau umroh, warna kertas kosong standar, dan warna-warna lain untuk menggambarkan kesucian sesuatu, pastilah putih. Putih si baik, sementara hitam si jahat. Selalu demikian.

Apakah memang hitam seburuk itu? Atau sekedar simbol? Jika demikian, malang benar nasib si hitam, menanggung kesan negatif, hanya untuk memperlihatkan bahwa si putih selalu suci jika disandingkan bersebelahan dengannya. Masyarakat cenderung menilai apa yang dianggap sama oleh masyarakat lain, sehingga sisi hitam bisa dipastikan tidak sepopuler putih dalam hal-hal yang positif.

Di dalam artikel ini, saya mengibaratkan hitam dan putih adalah warna yang sejajar, bukan menandakan putih adalah suci sementara hitam adalah kotor. Tidak, saya tidak membicarakan kebaikan dan kejahatan. Saya menekankan masalah perbedaan. Jadi, sampai tulisan ini berakhir, yang dimaksud sisi hitam di sini adalah sisi berbeda dari kondisi yang ada. Saya meletakkan putih sebagai warna utama, sementara hitam sebagai warna pembeda diantara putih.

"None of us are just black and white, or never wrong and always right. No one."
-- Suzy Kassem

Hitam juga identik dengan noda, seolah menjadi sesuatu yang harus segera dibersihkan saat muncul, bahkan keberadaannya tidak diinginkan. Sama seperti noda kesalahan dalam hidup. Jika selama ini kita melakukan sesuatu sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, maka dianggap menjadi bagian dari "putih", sama seperti orang lain (padahal belum tentu putihnya alami, bisa saja dipalsukan). Nah, begitu ada kesalahan yang dilakukan, saat itulah noda hitam muncul, mencemari sisi putih yang telah kita refleksikan.

Semua orang bisa dan pernah melakukan kesalahan, sekecil apapun itu. Kesalahan tersebut kita anggap saja noda hitam. Nah, bagaimana masyarakat memperlakukan si noda hitam inilah yang membuat saya bingung. Ada sebagian yang bisa memahami dan memberikan toleransi, namun sebagian besar malah memandangnya hina. Bagi mereka yang memandang sinis, noda hitam tersebut bagai racun yang menempel, seolah harus segera dibersihkan.

Saya sendiri pernah melakukan kesalahan, kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun. Sebelum menulis artikel, saya berusaha merenung cukup lama mengenai reaksi orang-orang saat mengetahui saya berbuat salah selama ini. Jika diingat-ingat, ada yang bisa memahami dan memaafkan, ada yang mengkritik habis-habisan, ada yang diam saja, dan yang paling menyakitkan adalah mereka yang langsung mencoret saya dari daftar "orang yang bisa dipercaya", alias hilang sudah reputasi putih yang saya bangun selama ini. Hubungan komunikasi pun rusak.

Mungkin kalian juga pernah mengalami beberapa diantaranya. Betapa sebuah noda hitam dapat merusak kemilau putih yang selama ini terpancar. Benar kata pepatah, "Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga". Dulu saya tidak terlalu menganggapnya serius, kini saya merasakan sendiri makna pepatah tersebut. Hidup ini memang unik ya, sesaat kita merasa berada di atas angin, sesaat kemudian terjun bebas ke bawah.

Apakah dari sebuah kesalahan yang menodai kesucian putih itu ada hikmahnya? Tentu saja ada. Butuh kejelian dan kepekaan dari setiap individu untuk memahami makna di balik kejadian tersebut. Bagi yang tidak memahami maknanya, cenderung bergelimang dalam kesedihan mendalam dan frustasi berlebih, berujung melakukan hal-hal yang malah lebih merusak diri sendiri. Lagipula, dari kesalahan yang merusak hubungan dengan manusia tersebut bisa saja Allah SWT sedang mengingatkan kita untuk berbenah diri.

image source: deviantart.com
"We've all got both light and dark inside us. What matters is the part we choose to act on. That's who we really are
-- J. K. Rowling


Oke, dari pembahasan di atas kita tahu bahwa warna hitam dikonotasikan tidak suci. Noda dalam hidup pun bisa dianggap warna hitam. Kini mari bahas ke arah yang lebih luas lagi, mengenai hidup dalam masyarakat yang terbagi dalam kelompok putih (mayoritas) dan hitam (minoritas). Teori yang berlaku di sebagian besar masyarakat adalah "hiduplah seperti kelompok mayoritas putih, sebaiknya tidak perlu menjadi hitam untuk tampil berbeda". Menjadi kelompok putih berarti menjadi bagian masyarakat yang ideal, setidaknya demikianlah yang ada di benak setiap orang. Untuk apa menjadi sisi yang berseberangan (hitam) jika menjadi putih adalah jalan terbaik?

Coba perhatikan orang-orang yang kerap kita jumpai setiap hari, yang berinteraksi dengan kita, secara langsung maupun tidak langsung. Saya yakin semua tidak sempurna. Selalu ada kelemahan dalam diri setiap orang. Lagipula, definisi sempurna itu sendiri seperti apa? Apakah yang memiliki ciri fisik seperti seorang supermodel dan berkelakuan baik bisa dibilang panutan sempurna?

Pertanyaan utamanya adalah: sempurna yang dimaksud ini, sempurna versi siapa?

Apakah mereka-mereka yang terlahir dengan cacat fisik bukanlah orang yang sempurna, dan tidak berhak mendapat fasilitas seperti orang lain yang terlahir tidak seperti mereka? Jika memang mereka dianggap tidak sempurna, lalu mengapa Allah SWT memberi kehidupan padanya? Jika ditanyakan kepada orang-orang yang terlahir cacat, mereka juga tidak berharap terlahir demikian. Bagaimana jika diri kita berada dalam posisi mereka? Masihkah berbangga menjadi pribadi yang sempurna, sama seperti orang lain?

Apakah jika kita terlihat sama seperti orang kebanyakan, yang memiliki fisik sempurna, pekerjaan impian, rumah impian, keluarga impian dan sebagainya, maka kita bisa tersenyum lega? Apakah itu definisi sejati dari kesempurnaan hidup? Lalu, bagaimana nasibnya orang-orang yang tidak memiliki kriteria tersebut? Ada dua kemungkinan: mereka akan berusaha menjadi seperti sosok sempurna lainnya (berusaha menjadi kelompok putih), atau mereka akan mencari jalan untuk menjadi diri sendiri, tidak termakan arus utama (menjadi kelompok hitam).
Jika kemungkinan pertama yang diambil, alias "berusaha menjadi seperti sosok sempurna lainnya", maka dalam perjalanan mencapai hal tersebut, bisa saja mereka melakukan segala cara, bahkan melanggar norma-norma dalam masyarakat. Kalau sudah demikian, berarti mereka memasukkan noda hitam dalam kehidupan hanya untuk tampil menjadi sisi putih, dong? Mengerti maksud saya? Berarti kesempurnaan yang diusung hanyalah semu. Mereka hanya ingin menjadi bagian dari sisi putih, agar terlihat sama seperti putih lainnya. Mereka tidak ingin dianggap berbeda. Bagi mereka, berbeda berarti anomali, dan menjadi anomali di tengah kelompok putih adalah hal yang menyedihkan.

Saya justru salut dengan mereka-mereka yang memilih opsi "mencari jalan untuk menjadi diri sendiri, tidak termakan arus utama". Mereka memilih menjadi sisi hitam dari masyarakat yang tampak putih. Bisa saja mereka memiliki persyaratan menjadi kelompok putih, namun tidak dilakukan. Kenapa? Karena bagi mereka, tidak selamanya menjadi putih di antara putih adalah kesempurnaan hidup. Mereka telah menemukan makna dari perbedaan itu sendiri. 

Perbedaan itu indah, dan penuh makna. Coba saja lihat angsa hitam dan angsa putih. Jika angsa putih terlihat menawan dan anggun dengan bulu-bulu putihnya, lalu mengapa harus ada angsa berwarna hitam? Tengok lagi hewan lainnya. Jika seekor kuda terlihat gagah dengan surainya yang indah, lalu mengapa ada hewan seperti keledai yang tampak lemah? Kenapa tidak diciptakan saja lebih banyak kuda, dan menghilangkan keledai? masih banyak pertanyaan lainnya yang semestinya kita renungkan.

Mereka semua, makhluk-makhluk yang kita anggap terlihat buruk, tidak sempurna dan semacamnya, bisa dibilang menjadi sisi hitam. Tidak selamanya hewan-hewan tampil dengan bentuk sempurna. Bahkan kucing pun, yang menjadi peliharaan manusia, dibekali dengan warna bulu beragam, tidak melulu satu warna.

Lalu, mengapa manusia kerap meremehkan perbedaan fisik yang ada? Jika dari hal sederhana semacam itu saja kita belum mampu memberi toleransi, bagaimana bisa menyikapi perbedaan dalam pola pikir, bahasa, budaya, atau tujuan hidup? Kenapa misalnya, pilihan mengambil kuliah di kampus swasta diremehkan, harus mengambil kuliah di kampus negeri? Atau contoh lainnya, kenapa bekerja di perusahaan besar selalu diagung-agungkan, sembari meremehkan mereka yang bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko ritel?

Jadi, menjadi hitam diantara kerumunan putih bukanlah pilihan buruk. Banyak bukti di sekeliling kita, bukti ciptaan Allah SWT, bahwa berbeda tidak selamanya buruk. Allah SWT selalu memperhatikan setiap makhluk tanpa terkecuali. 

Saya tidak memaksa kalian untuk langsung berganti haluan menjadi sisi anti mainstream. Saya sendiri berusaha mengimbangi kedua hal tersebut, meski sulit. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa tidak selamanya menjadi sisi putih selalu benar. Jangan sampai kita begitu terobsesi menjadi seperti mereka-mereka yang tampak dominan di kelompok putih, padahal mencapai taraf hidup seperti mereka tidak sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Atau, bisa jadi taraf hidup mereka tidak sesuai dengan norma yang kita anut. Tidak selamanya yang kita lihat pada diri orang lain itu sesuai apa adanya.

Saya juga ingin mengingatkan bahwa sah-sah saja menjadi bagian kelompok putih, asalkan tidak meremehkan keberadaan kelompok hitam, kelompok yang berbeda dengan putih. Jika kita memiliki penghasilan tinggi, keluarga lengkap, properti banyak, dan pencapaian lain, apa gunanya meremehkan mereka yang tidak seperti itu? Saya tahu bahwa uang adalah hal penting, namun mengagung-agungkan pencapaian hidup berdasarkan standar uang bukanlah sesuatu yang bijak. Pada akhirnya, yang kita dapatkan hanya sebatas kepuasan ego, bukan kepuasan batin yang menenangkan. Apakah kita masih mengutamakan ego saat menyadari bahwa diri ini hanyalah butiran debu di tengah luasnya angkasa luar?

Lagipula, apakah mengejar urusan dunia adalah tuntutan hidup mutlak yang harus dipenuhi? Apakah dengan memiliki harta berlimpah dan pencapaian ini itu, hidup kita lantas menjadi sempurna? Sekali lagi, sempurna versi siapa? Versi manusia atau versi Allah SWT?

-Bayu-



Catatan selama proses menulis:

Saya mendengarkan berulang-ulang lagu Alabama Shakes yang berjudul "Joe" selama proses menulis. "Joe" adalah bonus track di album Sound & Color. Saya mendengarkan versi live mereka di Austin City Limits, yang terasa menyentuh sekali saat didengarkan. Suara sang vokalis, Brittany Howard, sungguh membuat lagu bernapaskan alternative rock & soul ballad ini sangat bernyawa. Emosi saya campur aduk setiap kali mendengarnya.

Notable lyric of this song:
What am i to do? I been all around this world
Looking for someone like you
image source: nerdist.com



8 komentar

  1. Samaan kita, Yog. Warna favorit gue juga biru, haha. Lebih adem aja ngelihatnya. Iya sih, warna hitam itu bisa ngasih simbol elegan dalam beberapa jenis pakaian, lebih mantep aja dipakenya.

    Hitam dan putih kalo digabungin malah jadi lebih indah, setuju. Film "Siti" yang hitam putih itu aja keliatan seninya, bisa beda sensasinya malah kalo dijadiin film berwarna. Wah, foto-foto pake filter hitam putih pastinya keren tuh.

    Hahaha. Iya Yog, iya aja dah kalo masalah langit mah :D

    Nah bener tuh contoh hitam putih dalam pekerjaan yang lo kasih: "semua orang punya bagiannya masing-masing dalam pekerjaan". Kalo semua pekerja maunya dilayani karena menganggap posisinya sebagai putih, tapi ngga ada yang melayani, kan bisa runyam. Anggep aja puzzle, semua terasa pas untuk nyusin tiap bagian jadi satu kesatuan.

    Haha. Ngga apa-apa nyangkutin ke pekerjaan, masih senada kok sama isi artikel gue. Biarin aja kalo ada yang ngeremehin Yog, asal jangan sampe diri lo juga ikut-ikutan meremehkan kemampuan sendiri. Just believe in yourself :)

    BalasHapus
  2. Ini balesan untuk komentarnya Yoga kan ya? Hehe. Gue aminin aja deh.

    Wah, makasih nih. Thanks juga udah mampir kesini, Nia :)

    BalasHapus
  3. Halo Mas Ikrom.

    Masalah persepsi berarti ya, saat berada di posisi berbeda jadi minder, karena ga sesuai ama yang laen. Kelompok mayoritas membuktikan kalau mereka selalu lebih dianggap "baik".

    Wah, keliatannya keren itu bukunya Kang Pepih Nugraha. Kejeniusan bersembunyi di balik keberanian, dimana kejeniusan itu kemahalannya tiada tara. Mantap!! Justru banyak orang-orang "besar" di luar sana yang menggunakan keberanian mereka untuk tampil beda dan... they made it. It's true.

    Bener banget, kenapa harus merasa asing? :)

    BalasHapus
  4. Hehe. Silahkan didengarkan lagu Alabama Shakes yang "Joe" ini, Risma. Keren banget lagunya :)

    BalasHapus
  5. Halo Heru!

    Sempurna itu sendiri banyak persepsinya, namun cenderung menggunakan pendapat umum, padahal bisa aja bukan itu definisi sempurna yang sesungguhnya, ya kan? Hehe, bener kata lo: "Toh, kenyataannya hidup kita tidak selalu dalam kebaikan."

    Well, ga usah terlalu dipedulikan kalo gitu, Her. Sulit sih, tapi menghindari argumen dalam suatu konflik kadang justru membuat keadaan lebih baik ketimbang menyiramnya lagi dengan argumen lain.

    Kalo lo pikir itu bagus karena memuat kebaikan, okay, stick with it, diikhlasin aja apa yang udah lo lakuin :)

    Ya bener, tergantung sudut mana yang dilihat. Sip deh. I agree with you, hitam dan putih ada untuk membuat kita berbenah diri.

    BalasHapus
  6. Halo Asep.

    Seratus buat lo deh, udah nebak semua definisi hitam putih, haha. Bener, bener. Cuma mungkin gue naronya tumpang tindih ya, jadi malah ngebingungin mau fokus dimana :p

    Kurang lebih bisa dibilang begitu sih, hidup ngga ada inovasi, melakukan apa yang biasa dilakukan orang lain, padahal berbeda sedikit pun ngga masalah.

    Nah bener itu contohnya. Jadi petani di zaman sekarang bisa jadi bukan pilihan bagus, kan? Apalagi kalo yang jadi petani itu warga kota besar, bisa-bisa dia dicap jadi si hitam. Padahal dia bisa ngasih makan banyak orang lho dengan panennya, hehe.

    Oke sip, bener kok, bersikap yang tepat menanggapi hitam dan putih dalam setiap kondisi.

    BalasHapus
  7. Waduh, bikin mikir ini baca komentarnya, haha. Tanggapan gue adalah... substansi kalimatnya masih sama kok, sama-sama ingin menunjukkan sisi putih itu ngga selamanya baik dan benar. Kalo dari terminologi "baik" dan "benar" itu sendiri, menurut gue berbeda, bisa aja di satu lingkungan kegiatan A itu benar sesuai norma, namun dari sisi agama, itu tidak baik.

    Kurang lebih begitulah, hehe. CMIIW.

    Abu-abu... next time kalo kepikiran ide ke arah situ deh, mungkin akan dibahas. Wah, jadi lo lagi dalam area abu-abu milih mendalami passion atau mengemban tanggung jawab, begitu ya... sulit ini, gue pun selalu terkendala kalo dah ngomongin passion, hehe.

    Thanks for your comment, Zahrah (nama lo bikin gue jadi inget tokoh Zarah di serial Supernova-nya Dee :p)

    BalasHapus
  8. Bang saya bingung, katanya tuhan itu kan tidak lihat fisik tapi hati, cuman dari kenyataan yang saya lihat, tuhan itu seperti munafik, karena dia yang juga banyak menciptakan kebaikan yang memang warnanya putih/terang, contoh pakaian haji ke tanah suci yang memang itu tanah yang disucikan oleh tuhan, diperintahkan berwarna putih, air susu yang wajib diberikan karena mengandung manfaat khususnya pertumbuhan manusia warnanya putih, buraq binatang yang mengantarkan Rasul dalam perjalanan isra mi'raj dalam hadist shahih dikatakan hewan berwarna putih dll, sedangkan hitam, warna dari hasil terbakar hangus ny sesuatu, kesedihan saat ada yang meninggal kita disuruh berpakaian hitam, atau darah yang mengering warnanya hitam,dll. Jelas disini warna hitam lebih rendah dan putih lebih banyak mengandung sesuatu yang indah dan tentu semua itu karena ciptaan nya, ini semua terasa aneh, jadi saya berfikir tidak heran apabila orang orang putih selalu merasa dia lebih baik, karena secara tidak langsung saja tuhan menunjukan ciptaan nya yang baik itu berwarna putih. Sang pencipta saja selalu memperlihatkan kebaikan dengan warna putih. Saya hanya berbagi apa yang ada di pikiran saya, jadi jangan menganggap ini sebuah penghinaan, karena yang saya butuhkan adalah penjelasan, terima kasih.

    BalasHapus

 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.