Menulis Blog dengan Nyaman

image source: businessinsider.com

"Lock up libraries if you like, but there is no gate, no lock, no bolt that you can set upon the freedom of my mind" 

-- Virginia Woolf

Jika di artikel sebelumnya saya sempat membahas mengenai pentingnya membaca bagi kelancaran proses menulis, kini saya mencoba membahas mengenai proses menulis itu sendiri. Sebenarnya, ini bukanlah artikel pertama mengenai tulis-menulis yang saya buat, namun entah kenapa, saya ingin menekankan lagi mengenai prosesnya. Benak saya sempat memuat pikiran seperti ini, "Jika gaya menulis saja berbeda antar satu penulis dan lainnya (atau bloger dalam hal ini), apakah proses menulisnya juga berbeda?"

Mungkin tidak seratus persen berbeda, karena setahu saya penuangan tulisan hanya melalui tulisan tangan atau alat elektronik, itu saja. Jika melalui alat elektronik, pilihannya bisa beragam, apalagi dengan segala kecanggihan teknologi saat ini. Nah, keberagaman itulah yang setidaknya memunculkan kecenderungan berbeda antar satu penulis dan lainnya. Kesemuanya bertujuan sama: mendapatkan kenyamanan dalam menulis.


Bicara mengenai kenyamanan, tampaknya hal itu penting untuk diketengahkan. Sebuah aktivitas, jika tidak dilakukan dengan nyaman, maka hasilnya bisa jadi tidak akan maksimal. Begitu pula menulis. Untuk mendapatkan unsur kenyamanan itu sendiri, menurut saya tidak ada patokan khusus, harus seperti ini dan seperti itu. We create our own style, own pattern. 


"We make patterns, we share moments" -- Jenny Downham

Saya sedih melihat betapa sedikitnya artikel yang saya tulis sepanjang tahun 2017 ini. Saya tahu menjadi seorang bloger bukanlah profesi yang saya pilih, karena menulis di blog saya anggap "hanya" sebagai aktivitas sampingan, menyalurkan hobi. Tapi itu bukanlah pembelaan diri yang baik. Saya memang pemalas dan tidak konsisten. Sepertinya tidak ada kalimat lain untuk menggambarkannya secara tepat selain itu.

Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel di internet yang menyatakan bahwa, jika kita mulai dilanda kebosanan dan kemalasan dalam menulis, maka hal pertama yang harus ditanamkan dalam benak adalah: "Apa tujuan awal kamu menulis?" Itu sungguh sebuah cambuk yang semestinya sanggup menghalau rasa malas.

Menjawab pertanyaan itu, jawaban saya adalah: aktualisasi diri. Dari dulu, memang itu yang saya incar dari aktivitas tulis-menulis ini, dan menjadi pemicu untuk membuat blog pribadi. Saya ingin menjadikan menulis sebagai kebutuhan yang harus dilengkapi. Saya ingin meninggalkan jejak di dunia ini, setidaknya dalam sebuah tulisan sederhana. Orang lain bisa saja mengembangkan potensi masing-masing dalam bidang politik, hukum, ilmu pengetahuan, seni dan sebagainya. Bagaimana dengan saya? Well, saya ingin menyumbangkan tulisan dan berharap bisa melakukan perubahan, meski dalam skala kecil sekalipun. 

Ternyata, menulis memiliki dampak luar biasa bagi diri pribadi. Saya merasa apa yang memberontak dalam benak bisa dipilah satu demi satu menjadi kelompok pemikiran, yang mana bisa saya lihat dan ambil kapan pun dibutuhkan. Istilahnya, semua menjadi terorganisir. Selain itu, menulis juga membuat saya mengapresiasi pencapaian diri sendiri. Jadi, saat orang lain memandang remeh dan mempertanyakan standar hidup saya yang berbeda dengan kebanyakan orang (ini kerap terjadi), dalam hati saya bisa menjawab, "Tidak usah rendah diri, Bayu. Semua hal sudah diatur oleh Allah. Setidaknya saya pernah menghasilkan tulisan untuk dibaca orang lain, bukan sekedar hidup untuk mengikuti arus dan mengkritik orang lain yang tidak mengikuti arus dengan benar".

image source: thecoffeeminimalist.com

"Write what you know. That should leave you with a lot of free time"
-- Howard Nemerov



Nah, setelah meresapi tujuan awal menulis, langkah berikutnya yang saya lakukan adalah menemukan pola menulis yang nyaman. Saya pernah mencoba menulis dengan pena atau pensil di selembar kertas, juga sebuah buku tulis. Hasilnya? Tidak karuan. Tulisan tangan saya malah kerap tak beraturan, belum lagi jika harus mengeditnya, kertas akan penuh dengan coretan. Tidak bersih.

Prinsip kebersihan dan kenyamanan menjadi sesuatu yang saya jadikan pedoman. Lagipula, untuk keperluan artikel di blog, menulis dengan tangan akan berakhir juga menjadi tulisan versi digital, bukan? Kenapa tidak sekalian saja menulis dalam format tersebut? Jadilah saya memantapkan diri menulis menggunakan perangkat elektronik. Pilihan jatuh pada laptop. Pertama, perangkat tersebut sungguh praktis dan tidak memakan tempat. Kedua, layarnya cukup lega, tidak sesempit smartphone. Saya sengaja memilih laptop yang memiliki lebar layar di atas 12 inchi, demi kenyamanan melihat hasil tulisan. Ketiga, keyboard-nya lebar dan empuk, tidak sekecil keyboard di smartphone.


Dengan menggunakan laptop untuk menulis, saya bisa mengedit hasil tulisan dengan mudah, tidak meninggalkan bekas coretan seperti di kertas. Saya bisa menulis sembari mencari gambar dan kutipan menarik melalui situs pencarian di internet. Dan yang terpenting, saya bisa memutar lagu favorit untuk menemani proses menulis. Bagi kalian yang belum familiar dengan tulisan saya, di setiap bagian bawah artikel, saya akan selalu meletakkan "catatan" tersendiri selama proses menulis, yang berisikan info mengenai lagu apa yang didengarkan. Itu bukan sekedar pemanis atau bentuk kesombongan diri (mohon jangan dianggap seperti itu), tapi memang unsur penting dalam menunjang tulisan, sehingga saya merasa harus menuliskannya.

image source: austinmusictherapy.com
Jadi begini. Musik merupakan elemen penting dalam menulis bagi saya, karena alunan musik tertentu bisa membangkitkan ide-ide yang terkubur dalam sudut benak. Ide tersebut akan diolah sedemikian rupa berkat bantuan musik, dan tanpa sadar aura yang saya masukkan ke dalam tulisan ikut terpengaruh seiring nada yang mengalun. Begitu besarnya pengaruh musik, sehingga saya merasa harus mengapresiasi setiap musisi yang "tanpa sadar" membantu saya menghasilkan tulisan, yakni dalam bentuk catatan kaki. Bisa dibilang, di balik semua tulisan yang saya hasilkan hingga detik ini, selalu ada musik yang mendukung di baliknya. Entah apakah saya sendiri yang merasakan hal ini atau kalian juga bisa terpengaruh oleh lagu saat menulis.

Bukan berarti saya tidak pernah mencoba menulis tanpa musik. Saya pernah kok melakukannya, dan hasilnya sama tidak karuannya saat menulis dengan tulisan tangan! Kacau. Meskipun laptop sudah menyediakan unsur penting sebagai bahan tulisan, tetap saja jemari saya terasa kikuk. Apa yang saya tulis selalu terasa tidak sinkron. Ada saja bagian yang salah, belum lagi otak ini sungguh sulit menemukan kalimat yang tepat. Apa yang salah dengan diri saya? Ternyata obatnya adalah musik. Begitulah. Terkadang, hal sederhana justru menimbulkan ketergantungan yang luar biasa.

Laptop, internet, musik. Itu adalah kombinasi cocok saat melakukan kegiatan menulis di blog, dan akhirnya saya menemukan kenyamanan versi pribadi. Yeah. Saat ketiga hal itu bersatu, maka saya bisa menuangkan tulisan dengan bebas, dan tersenyum bahagia saat selesai. Kepuasan yang didapat setelah kita menulis tidak ada duanya, saya yakin kalian para bloger merasakan apa yang saya rasakan ini. Benar, kan?

Tapi tunggu dulu. Menemukan pola menulis yang nyaman saja belum tentu bisa menghasilkan sebuah tulisan, karena unsur konsistensi diperlukan. Duh, ini kelemahan saya. Haha. Yah, setidaknya dengan menemukan konsep nyaman versi pribadi, seharusnya diri kita akan tertantang untuk menggerakkan jemari dan menulis. Kenyamanan tersebut selanjutnya menuntun kita untuk terhanyut dalam proses menulis. Pada akhirnya, blog pun akan terisi dengan hasil tulisan yang siap terbit, bukan lagi tersimpan di draft. 

Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian telah menemukan pola yang nyaman sendiri dalam menulis?

-Bayu-



Catatan selama proses menulis:

Saya mendengarkan lagu Beck yang berjudul "Country Down" untuk mengiringi penulisan artikel di atas. Sayang sekali, nama Beck tidaklah terlalu dikenal dunia, padahal musiknya dikemas dengan rapi dan berkelas. Album "Morning Phase" yang dirilis pada tahun 2014 membawanya masuk ke nominasi Album Of The Year di ajang Grammy Awards ke-57 tahun 2015, dan siapa sangka? Album bernapaskan folk rock ini memenangkan penghargaan paling bergengsi itu, dan membuat seluruh kritikus terhenyak. Good job, Beck!

Notable lyric of this song:
What's the use of being found? You can lose yourself in sunken ground
image source: en.wikipedia.org

READ MORE - Menulis Blog dengan Nyaman

Keterbukaan di Era Media Sosial

image source: qubole.com

"Data is a precious thing and will last longer than systems themselves"
-- Tim Berners-Lee

Hidup di masa sekarang, di era digital, mau tidak mau berkompromi dengan yang namanya internet. Kebutuhan akan hal tersebut seolah menjadi kebutuhan pokok yang cukup sulit diabaikan. Bergabung dengan dunia internet berarti menjadi bagian dari masyarakat digital, dengan segala kemudahan akses informasi dan sebagainya. Memilih untuk tidak bergabung, berarti... ya kalian akan tertinggal dengan banyak hal (kecuali kalian memang menginginkannya).

Jika dirunut, banyak sekali aspek kehidupan yang sudah terhubung dengan internet. Kita bergerak menuju masyarakat dimana data adalah unsur penting. Data pembelian, pilihan produk, minat, komunitas, tren, lokasi, dan sebagainya, itu semua terkumpul menjadi satu kesatuan data yang sungguh luar biasa besarnya. Manfaatnya pun besar bagi kepentingan dan kemudahan masyarakat beraktivitas.

Saya baru merenungi masalah data tersebut setelah membaca sebuah novel karangan Dave Eggers yang berjudul "The Circle". Novel ini pernah diangkat ke layar lebar, dibintangi Emma Watson dan Tom Hanks. Saya pernah menontonnya, dan tidak merasa tergugah dengan apa yang coba disampaikan si pembuat film. Entah, mungkin ini perasaan saya saja, tapi filmnya terkesan terburu-buru, tidak maksimal dalam menyampaikan pesan. Ulasan yang diterima film ini pun kurang memuaskan.

Beberapa bulan setelah menonton film itu, pikiran saya kembali terusik dengan tema yang tersaji di sana. Benak saya menanyakan sesuatu yang sulit dijawab, dan saya yakin itu ada hubungannya dengan apa yang dipaparkan di film. Ingin menonton filmnya lagi, terasa malas. Menyadari bahwa film itu disadur dari novel, saya segera mencarinya untuk mendapatkan pemahaman lebih dalam. Saya ingin menyelami jalan pikiran sang penulis. Beruntunglah saya menemukannya.


image source: agent8.co.uk
Gambar di atas hanyalah sampel (yang saya miliki adalah e-book, sehingga sulit ditunjukkan bukti fisiknya). Saya ingin memperlihatkan logo The Circle yang terpampang di sana. Buku ini bercerita mengenai Mae Holland, seorang gadis yang bekerja di perusahaan teknologi bernama Circle, dengan harapan mendapat kehidupan lebih makmur. Seperti logo di atas, Circle banyak berhubungan dengan data yang saling terhubung satu sama lain, kesemuanya seolah membentuk satu lingkaran sempurna. Mereka memiliki media sosial bernama Zing, dan diceritakan juga bahwa Circle menguasai mayoritas mesin pencarian di internet. Kantor pusatnya disebut "kampus", dengan beragam fasilitas menarik.

Mae sangat senang bekerja di sana. Dia ditempatkan di bagian Customer Experience, menangani pelanggan yang menjadi mitra pengiklan, menjawab pertanyaan dan memberi umpan balik terkait kepuasan pelanggan. Setiap harinya Mae akan diberi skor tertentu berdasarkan tingkat kepuasan pelanggan, untuk menunjukkan kinerjanya. Karena bekerja dengan gigih, Mae sering mendapat skor nyaris sempurna.

Sayangnya, bekerja di Circle bukanlah semata bekerja sesuai job description. Berhubung Circle adalah perusahaan teknologi dan menguasai media sosial, maka "bersosialisasi" juga menjadi unsur penting, sehingga setiap karyawan diharapkan partisipasinya dalam acara sosial kantor, juga melalui media sosial yang dimiliki. Mae yang cenderung tertutup awalnya terkejut dengan "tuntutan" tersebut. Dia bahkan sempat ditegur oleh bagian SDM mengenai media sosialnya yang dibiarkan kosong selama masa-masa awal bekerja. Teguran berikutnya terkait partisipasi dia dalam acara kantor, yang bisa dibilang minim. Menurut bagian HRD, Mae adalah "enigma", dan "diselubungi misteri".

Menyadari bahwa setiap karyawan akan diberi "PartiRank" atau semacam ranking yang menunjukkan sejauh mana mereka telah berpartisipasi secara sosial, Mae tidak ingin mengecewakan perusahaan. Dengan gigih dia mengejar ketertinggalannya, dengan mengikuti acara yang diselenggarakan perusahaan, mengisi media sosial dengan berbagai postingan, mengunggah tautan, memberi komentar di postingan orang lain, mengikuti petisi online, bergerilya memberi icon semacam smile, frown dan semacamnya untuk postingan yang dia temui, demikian seterusnya hingga dirasa PartiRank-nya membaik.

Kemudian, sebuah insiden terkait kerahasiaan dan cara berkomunikasi yang menimpanya membuat Mae berpikir mengenai transparansi. Dia merasa bersalah akibat insiden tersebut, dan berkat dukungan Bailey, mentor sekaligus salah satu petinggi perusahaan, Mae menerapkan konsep yang membuat hidupnya berubah, yakni menjadikan identitas dirinya terbuka untuk dunia. Mae dibekali sebuah kamera kecil yang dia bawa kemana-mana dan disiarkan langsung melalui internet ke seluruh dunia, sehingga hidupnya terus dipantau melalui kamera tersebut.

Hmm... benarkah yang dilakukan Mae mengubah semuanya menjadi lebih baik?

"It's dangerous when people are willing to give up their privacy" -- Noam Chomsky

Membaca "The Circle" membuat saya merinding, betapa apa yang diramalkan dalam novel tersebut bisa saja terjadi di masa depan, mengingat saat ini dunia menuju kesatuan tunggal masyarakat internet. Dunia semakin bergerak nyaris tanpa filter sosial, tanpa malu mengumbar berita palsu, mencaci maki dengan akun anonim, menghakimi tanpa paham kejadian utuh, membagikan data pribadi tanpa sadar konsekuensinya, mengetahui kehidupan orang yang tidak benar-benar kita kenal secara pribadi, dan semacam itu.

Kompleks. Itu kata yang cocok menggambarkan kumpulan data yang ada di internet. Dengan mudah perilaku kita akan dianalisis oleh semacam mesin pintar, kemudian menghasilkan kajian menarik mengenai perilaku pembelian, minat, pola pikir, dan semacamnya. Di satu sisi, hal itu bermanfaat untuk memetakan kebutuhan bagi beberapa pihak tertentu, dan sebagai pengguna akhir, kita juga diuntungkan dengan segala kemudahan yang menyertainya. Namun, di sisi lain, itu semacam perangkap tanpa akhir. Dunia maya akan selalu lapar, rakus akan data.

Sekarang, pertanyaannya adalah: Apakah keterbukaan di era digital sebagai sesuatu yang positif atau negatif?

Mengenai pertanyaan tersebut, saya akan menampilkan beberapa dialog dalam novel "The Circle", antara Bailey (petinggi perusahaan) dan Mae, untuk dijadikan bahan renungan. Saya memotong beberapa bagian agar relevan dan singkat, tapi intinya tetap bermakna sama (halaman 344):

Mae     : Tetapi, saya masih berpikir bahwa ada hal-hal, meskipun hanya sedikit, yang ingin kita simpan sendiri. Maksud saya, semua orang melakukan hal-hal pribadi, atau di kamar tidur, yang membuat mereka malu.

Bailey  : Oke, terhadap hal-hal seperti itu akan ada dua hal yang akhirnya terjadi. Pertama, kita akan menyadari bahwa perilaku apa pun yang kita rahasiakan itu sebenarnya sangat tersebar luas dan tidak merugikan sehingga tidak perlu menjadi rahasia. Atau yang kedua, jika kita semua, sebagai masyarakat, memutuskan bahwa ini adalah perilaku yang lebih baik tidak kita lakukan, akan mencegah perilaku ini dilakukan.

Bailey  : Mae, pernahkah kau punya rahasia yang menggerogotimu dari dalam, dan begitu rahasia itu terbongkar, kau merasa lebih baik?
Mae     : Pernah.
Bailey  : Aku juga. Begitulah sifat rahasia. Rahasia itu seperti kanker jika disimpan di dalam, tetapi tidak berbahaya setelah dikeluarkan.
Mae     : Jadi, Anda mengatakan tidak boleh ada rahasia.
Bailey  : Aku sudah memikirkan hal ini selama bertahun-tahun, dan aku belum menemukan skenario ketika rahasia lebih bermanfaat ketimbang merugikan. Rahasia memungkinkan perilaku antisosial, amoral, dan destruktif.


"Once you've lost your privacy, you realize you've lost an extremely valuable thing"
-- Billy Graham

Novel "The Circle" memuat banyak sekali kalimat-kalimat yang layak untuk didiskusikan lebih mendalam. Kalimat itu mengkritisi masyarakat modern, dimana semua data diri dengan mudahnya mengalir masuk ke dalam sebuah sistem pengolahan data raksasa, tanpa benar-benar bisa dikelola secara mandiri. Saya tidak bisa membahasnya satu persatu di sini, hanya mengambil tema intinya saja, yang diketengahkan oleh Dave Eggers, sang penulis, yaitu:

1. Rahasia adalah kebohongan.
2. Berbagi berarti peduli.
3. Privasi adalah pencurian.

Dave Eggers menulis kritik mengenai rahasia di halaman 354: "Ketika ada sesuatu yang dirahasiakan, terjadi dua hal. Yang pertama adalah bahwa hal itu memungkinkan terjadinya kejahatan. Kita bertingkah lebih buruk ketika perbuatan kita tidak perlu dipertanggungjawabkan. Itu sudah jelas. Dan, yang kedua, rahasia menimbulkan spekulasi. Ketika tidak tahu apa yang disembunyikan, kita menebak-nebak, kita mengarang jawabannya."

Hmm. Rahasia memang terdengar mengerikan, karena unsur misteri yang meliputinya. Namun jika kita dituntut untuk mempublikasikan semua hal tanpa terkecuali (meniadakan rahasia) dan sebagai konsekuensinya, mengetahui semua yang terjadi terhadap seseorang setiap detiknya, menurut saya itu bukanlah gagasan yang baik. Dave dengan cermat mengkritisi perilaku masyarakat Circle yang sangat tergantung dengan media sosial dan segala macam pernak-pernik di dalamnya. Bagi dunia ideal versi Circle, masyarakat sudah semestinya memberikan semua hal yang mereka ketahui kepada masyarakat lain melalui internet, baik itu pengalaman pribadi, tempat-tempat menarik, hasil karya, dan semacamnya. Tidak ada lagi rahasia. 

Dengan berbagi hal tersebut, maka masyarakat telah menerapkan konsep kepedulian terhadap sesama. Bisa saja ada orang-orang yang tidak bisa mendaki gunung, merasakan pengalaman melihat gunung melalui video milik orang lain yang didokumentasikan, sehingga semua pihak senang. Itu yang dimaksud dengan "berbagi berarti peduli". Seperti yang tertulis dalam novel: "Menyembunyikan sesuatu yang indah, perjalanan yang menyenangkan di atas air, cahaya bulan yang bersinar, bintang jatuh... itu hanya karena egois. Itu egois dan tidak lebih."

Menurut dunia ideal versi Circle, menyembunyikan suatu hal yang kita lihat, ketahui, dengar, cium dan rasakan adalah keegoisan pribadi. Bagi mereka, sudah semestinya hal-hal tersebut didokumentasikan dan dibagikan kepada orang lain, karena semua orang berhak tahu apa yang kita tahu. Tidak boleh ada rahasia di antara orang lain. Rahasia itu sendiri justru menimbulkan perilaku yang merusak bagi tatanan masyarakat sosial.

Lebih lanjut, Dave Eggers memberi sindiran terhadap privasi. Dia membuat seorang tokoh dalam novel menyatakan bahwa ketika kita tidak memberikan pengalaman seperti yang kita alami kepada teman, atau kepada mereka yang memiliki keterbatasan fisik, pada dasarnya kita mencuri dari mereka. Kita mengingkari hak mereka. Pengetahuan adalah hak asasi yang mendasar. Akses setara terhadap semua kemungkinan pengalaman manusia adalah hak asasi manusia.


"Friends don't spy, true friendship is about privacy, too" -- Stephen King

Lika-liku konflik yang dituangkan dalam novel The Circle menyadarkan saya bahwa masyarakat yang hidup dalam era keterbukaan informasi tidak sepenuhnya sempurna. Apa yang semula dipandang sebagai demokrasi, nyatanya tidak semanis itu. Pihak yang memegang kendali penuh atas semua informasi masyarakat bisa menggunakannya untuk kepentingan mereka, menjatuhkan lawan politik dan hal-hal mengerikan yang justru melenceng dari konsep demokrasi. Transparansi data digunakan sebagai simbol kepedulian, padahal justru hal itu mendorong masyarakat semakin terjebak dalam sebuah lingkaran sempurna. Layaknya bentuk lingkaran yang tidak memiliki lubang keluar, demikian juga segala asupan informasi yang kita berikan. Terjebak dalam lingkaran. Yang membuatnya ironis adalah, kita tanpa sadar telah terjebak.

Tidak ada jalan keluar. Semua berhak tahu. Semua berhak menghakimi. Semua berhak diberitahukan kepada semua orang, tanpa terkecuali. Hidup yang semula damai tanpa banyak notifikasi, mendadak menjadi riuh karena semua orang melihat apa yang orang lain lihat, padahal belum tentu mereka mengenal orang tersebut secara personal. Bersosialisasi dengan media sosial yang awalnya didengung-dengungkan dengan gencar, justru cenderung menimbulkan sikap antisosial itu sendiri. 

Mengenai dampak ini, Dave Eggers menyinggungnya di halaman 311. Melalui seorang tokoh teman Mae, Dave menulis sebagai berikut: "...Kau mengikatkan diri secara sukarela. Dan, dengan sukarela kau menjadikan dirimu autis secara sosial. Kau tidak lagi mengerti isyarat komunikasi mendasar manusia. Kau berada di meja bersama tiga manusia, yang semuanya berusaha memandangmu dan berusaha bicara denganmu, dan kau malah memandangi layar. Yang menjadi paradoks adalah, kau mengira menjadi pusat dunia, dan itu membuat pendapatmu lebih berharga, tetapi dirimu sendiri menjadi kurang hidup."

Begitulah. Masyarakat dalam konsep Circle adalah masyarakat yang didorong untuk terus-menerus terbuka dalam hal informasi. Berikan kepada dunia, maka kamu akan dianggap peduli. Jangan pernah menyimpan rahasia, karena itu bisa mengarah pada kejahatan. Dengan sendirinya, individu yang tidak cocok dengan konsep Circle, akan terdesak keluar dari sistem, dan mereka adalah anomali sosial.

Wow. Konsep itu terdengar mengerikan bagi saya. Duh, bisa jadi saya adalah individu yang tidak cocok dengan konsep Circle. Kecuali untuk melihat beberapa akun berita, saya terhitung jarang sekali melihat linimasa media sosial dalam segala bentuknya, memposting sesuatu, dan semacamnya. Melihat linimasa media sosial kerap menimbulkan stres jika tidak disertai mental yang kuat. Saya masih mengandalkan keberadaan teman dekat untuk berbagi segalanya. Saya percaya mereka bisa menghakimi dengan tulus, bukan penghakiman sepihak yang marak terjadi di dunia maya akhir-akhir ini, padahal yang mereka hakimi belum dikenal secara pribadi.

Novel The Circle menekankan bahwa privasi adalah kejahatan. Itu adalah sindiran yang sangat telak. Untuk beberapa kasus khusus, menjaga privasi memang bisa menimbulkan tindakan merusak norma sosial. Misalnya, saat seorang koruptor gigih melindungi data percakapannya dengan pihak lain dalam kasus korupsi. Hal-hal seperti itu kerap menimbulkan konflik sosial. Dave Eggers pun seolah menggantungkan permasalahan ini, tidak memberi solusi. Bisa jadi Dave ingin membiarkan pembaca menginterpretasikan sendiri, apakah tindakan menjaga ketat privasi untuk mereka yang melakukan tindak kejahatan termasuk "kejahatan", atau bukan.

Oke. Coba kesampingkan hal tersebut. Saya tidak ingin mengomentari lebih lanjut, isunya terlalu sensitif. Mari bahas mengenai orang-orang yang kerap kita temui dalam jalur pertemanan media sosial. Orang-orang yang dengan bantuan teknologi, menjadi terhubung dengan kita, entah itu di Facebook, Twitter, Path, Instagram dan sebagainya. Entahlah dengan kalian, tapi bagi saya, melihat dengan akses penuh kehidupan orang lain, terutama yang tidak kita kenal secara pribadi, bukanlah hal yang menyenangkan. Saya tidak berhak mengawasi setiap gerak-gerik manusia.

Ada orang yang mengatur media sosialnya agar hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang dia kenal, atau hanya mengikuti akun yang memang benar-benar "temannya". Mereka tidak mau dijejali linimasa yang penuh dengan postingan orang-orang yang tidak mereka kenal secara pribadi. Media sosial sendiri pun menyediakan fitur untuk mengakomodir hal-hal semacam itu. Artinya, masih ada kepedulian dari pembuat aplikasi untuk menghargai privasi. Dalam dunia ideal Circle, hal-hal seperti itu tidak diperkenankan. Mereka tidak menerima tindakan mengunci, mengosongkan atau menghapus hal-hal yang telah diunggah. Jika data yang telah tersimpan di penyimpanan awan dihapus, artinya mencederai konsep transparansi yang diagung-agungkan. Tindakan demikian dianggap anomali. Lingkaran tidak akan terbentuk sempurna jika masih ada potensi kebocoran di dalamnya.


"It takes discipline not to let social media steal your time" -- Alexis Ohanian

Saya juga paham, media sosial berdampak positif terhadap masyarakat modern, mulai dari menemukan teman lama, berinteraksi dengan kenalan baru, mendapat jejaring luas untuk bisnis, atau sekedar mendalami hobi. Tidak masalah. Semua memiliki kebutuhan masing-masing. Data diri saya juga tidak sepenuhnya tertutup kok, sebagian telah terunggah ke internet. Seperti yang saya bilang di atas, internet seolah sudah menjadi kebutuhan yang sulit diabaikan. Menggunakannya dengan berhati-hati dan semata untuk tujuan positif tidak ada salahnya. Jangan sampai berlebihan, itu yang tidak baik. Berbijaklah dalam menggunakannya.

Mungkin hanya blog ini yang masih saya anggap media yang "sesuai" dengan minat dan kebutuhan. Tanpa sadar, saya telah menumpahkan beberapa keluh kesah dan opini tertentu dalam blog selama ini, dan bisa saja itu disalahartikan. Kekhawatiran tersebut malah menimbulkan perasaan cemas tak berdasar, sehingga saya memandang sinis blog sendiri. Ditambah faktor malas menulis, membuat saya melupakan blog. Semua orang bisa mengurus hidup masing-masing tanpa saya harus ikut campur tangan memberi opini publik. Itu yang saya pikir.

Kenyataan berkata lain. Saat vakum menulis, dunia seolah tidak bersahabat terhadap saya. Tidak ada unsur excitement. Datar. Nyaris tak berwarna. Saya beraktivitas dengan kejemuan maksimal. Hiburan sederhana semacam buku, musik dan film tidak terlalu diminati lagi. Saya tenggelam dalam arus dunia dengan segala tuntutannya. Gejolak pikiran yang dulu biasa saya tumpahkan lewat tulisan seringkali terpendam dalam benak tanpa berani dikeluarkan. Saya kurung mereka dalam sudut tergelap. 

Saat semua terasa muram, novel The Circle itu hadir sebagai kejutan dan memberi warna tersendiri dalam aktivitas sehari-hari. Kejutan kedua datang dari seorang rekan bloger, Yoga Akbar Sholihin, yang mengirim email menanyakan perihal absennya saya dalam dunia blog. Yoga merupakan salah satu pembaca setia yang kerap meletakkan komentar di banyak artikel saya. Sejak itu saya terhenyak, menyadari bahwa identitas bloger tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Bloger memang bukan profesi saya, namun menulis sudah pasti menjadi salah satu hal yang bisa membuat hidup saya terasa lebih hidup. Beberapa kali saya vakum, dan efeknya selalu sama: hidup nyaris tak berwarna lagi.

Setelah itu, beberapa teman memberi semangat untuk kembali menulis di blog. Butuh dorongan mental luar biasa bagi saya untuk kembali membuka blogger.com dan masuk ke akun pribadi. Tulisan ini sendiri mengalami bongkar pasang tak terhitung banyaknya. Saya hampir lupa bagaimana pola menulis yang biasa. Sempat timbul keraguan, apakah ini langkah yang benar. Saya pendam tulisan ini dalam draft selama beberapa waktu dan kembali dibongkar pasang lagi tanpa henti. Sepertinya ini adalah proses edit artikel blog paling melelahkan yang pernah saya alami.

Kemudian saya tersadar, betapa panjangnya tulisan ini! Proses edit kembali bergulir, hingga di satu titik, saya menyerah. Lagipula, ini bukan jenis artikel yang mensyaratkan jumlah kata dan semacamnya. Saya hanya ingin menulis.

Saya juga tidak peduli jika artikel ini hanya dibaca oleh satu orang, atau bahkan tidak ada sama sekali, alias saya sendiri yang membaca. Tak apalah. Kenapa? Karena saya memperoleh hadiah yang teramat luar biasa dalam beberapa bulan terakhir ini, yakni perasaan lega. Ya, saya lega bisa menumpahkan lagi pemikiran dalam benak. Saya lega dan tersenyum lebar melihat beberapa komentar yang masuk ke artikel-artikel sebelumnya, meski sampai saat ini ada yang belum sempat saya balas dan mengunjungi balik (terima kasih kepada para bloger yang telah berkomentar di postingan saya ya).

Bicara mengenai postingan, saya jadi membayangkan jika hidup dalam masyarakat versi ideal Circle, sebuah masyarakat yang dituntut melaporkan (mem-posting) apapun ke media sosial: kemana kita pergi, apa yang kita pikirkan, apa yang kita makan, apa yang dikenakan, jenis hiburan apa yang baru saja dialami, dan sebagainya. Beruntunglah pemerintah tidak menuntut saya rajin mengunggah apapun ke media sosial semacam Facebook, Twitter, Instagram, Path dan sejenisnya, atau menuntut saya untuk melihat linimasa seluruh media sosial tersebut, demi mengemban "misi berpartisipasi". Jika itu terjadi, maka saya dipastikan langsung tereliminasi dari sistem sosial. Serius. Saya akan menyerah, tidak sanggup memenuhi hal tersebut.

Hmm... jika dipikir-pikir, meski saya tidak aktif membagikan apapun ke media sosial, tetap saja teknologi mampu "membaca" dan "melacak" saya, berdasarkan data-data yang telah saya unggah ke internet. Semua data itu dibutuhkan untuk berbagai kepentingan. Jadi, meski saya berpegang pada prinsip "privasi adalah prioritas", bisa jadi saat ini internet sedang menertawakan saya, sembari berkata, "Lo itu ngga sepenuhnya suci, bro! Internet bisa tahu tentang lo dalam sekejap mata."

Well, semoga masyarakat ideal yang diharapkan dalam novel The Circle hanya terjadi di dalam novel, tidak di masa depan. Selama saya masih bergelut dengan internet di kehidupan sehari-hari, sebisa mungkin saya berusaha bijak saat mengunggah apapun ke dalamnya. Kita tidak akan tahu apakah unggahan kita saat ini bisa berbalik menyerang kita di masa mendatang, bukan?


-Bayu-


Catatan selama proses menulis:

Film "Garden State" membuat saya mengenal sebuah band asal Amerika Serikat bernama The Shins. Di film itu, sang tokoh utama yang diperankan Natalie Portman mengatakan bahwa "musik ini akan merubah hidupmu..." dan memang itulah aura yang diusung The Shins melalui lagu "New Slang". Lagu bernapaskan folk ballad yang lembut ini menemani saya sepanjang proses menulis, memacu mood untuk terus bergerak positif.


image source: amazon.com

READ MORE - Keterbukaan di Era Media Sosial
 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.