![]() |
image source: productivitybytes.com |
"If you don't have time to read, you don't have the time (or the tools) to write. Simple as that" -- Stephen King
Kutipan dari Stephen King (penulis yang terkenal dengan novel thriller-nya) di atas memang benar. Jika kita tidak memiliki waktu untuk membaca, maka kita tidak akan memiliki waktu (atau alat) untuk menulis. Banyak pihak yang menyatakan bahwa membaca terkait erat dengan menulis. Bisa membaca belum tentu bisa menghasilkan sebuah tulisan, namun gemar membaca identik dengan kemampuan menulis.
Mari kita bahas mengenai aktivitas membaca terlebih dahulu. Jika ingin dihitung, mungkin sulit sekali menjumlahkan berapa banyak buku yang telah terbit hingga saat ini di seluruh dunia. Referensi atas segenap bidang ilmu pengetahuan telah beredar sejak lama, dan terus-menerus bertambah setiap saat. Sadar atau tidak sadar, dunia kita dipenuhi dengan buku. Perpustakaan paling besar sekalipun saya yakin tidak sanggup menampung banyaknya koleksi buku yang telah diterbitkan.
Nah, jika fakta berkata demikian, apakah lantas masyarakat menjadikannya sebagai bahan bacaan? Tidak juga. Well, tidak perlu saya sebutkan statistik mengenai budaya membaca masyarakat Indonesia yang rendah. Saya tahu bahwa membaca dan menulis bukan hal yang dianggap "seksi" di Indonesia, bahkan generasi milenial menganggap "membaca linimasa dan menebar postingan di media sosial" jauh lebih seksi.
Tidak banyak orang yang menyisihkan sebagian uangnya untuk membeli buku. Jangankan membeli buku, mungkin banyak yang masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Buku menjadi nomor kesekian untuk dipenuhi, atau justru tidak sama sekali masuk ke dalam daftar kebutuhan. Bahkan sampai sekarang saya masih menemukan orang yang dengan mudahnya berkata, "Ngapain pergi ke toko buku? Mendingan nongkrong di mana kek, lebih seru."
Sayang sekali. Mungkin dia belum memahami kesenangan yang diperoleh dari membaca, sehingga tidak menganggap pergi ke toko buku itu menyenangkan. Tidak masalah. Semua orang memiliki kegemaran masing-masing, bukan? Semoga mereka akhirnya menyadari bahwa membaca bukanlah hal yang membosankan. Pergi ke toko buku juga bukanlah hal yang memalukan.
Lagipula, banyak sekali bahan bacaan yang beredar di sekeliling kita, tidak harus dalam bentuk buku kok. Koran, majalah, buletin, dan sebagainya, semua mengandung tulisan yang bisa dibaca. Tulisan yang memiliki kandungan informasi tersendiri. Tidak perlu susah payah membeli buku di toko buku, cukup beli e-book, maka kalian bisa menikmati bacaan langsung di gadget kesayangan. Tidak perlu ragu juga untuk menikmati banyak sekali artikel yang tersebar di internet, menunggu untuk kalian baca.
Pertanyaannya adalah: apakah kalian mau menyisihkan waktu untuk membaca semua asupan informasi tersebut? Apakah membeli buku menjadi salah satu kebutuhan kalian?
"Writing comes from reading, and reading is the finest teacher of how to write"
-- Annie Proulx
Sekarang beralih ke aktivitas menulis. Di zaman modern ini, alat elektronik telah merevolusi pola menulis, dari semula menggunakan alat tulis dan kertas, menjadi "hanya" menggerakkan jemari di atas keyboard komputer atau smartphone. Menulis menjadi hal yang sangat mudah dilakukan. Menyenangkan sekali.
Jika mudah, mengapa tidak banyak yang melakukannya? Hm, alasan paling kuat bisa jadi adalah "kebiasaan". Mengambil kutipan Annie Proulx yang berwarna biru di atas, bisa dilihat bahwa "aktivitas menulis muncul dari aktivitas membaca". Jika tidak terbiasa membaca, maka dunia tulis menulis tidaklah terlihat menarik. Sesederhana itu.
Mari tarik kasusnya lebih dalam lagi. Tidak perlu menyinggung profesi penulis dan semacamnya. Coba kita tengok para pelajar. Jika tidak tertarik membaca buku pelajaran untuk menunjang aktivitas belajar, maka tidak perlu heran mengapa sulit sekali mengerjakan tugas yang berhubungan dengan menulis. Jadi, tidak perlu heran juga mengapa masih ada mahasiswa yang gemar melakukan copy paste artikel untuk tugas makalahnya, bukan?
Oke, saya tahu membaca buku pelajaran memang bukan aktivitas menyenangkan, tidak seperti membaca novel atau semacamnya. Ada pelajar/mahasiswa yang gemar membaca novel namun sulit membaca ratusan halaman materi pelajaran. Itu hanya masalah kebiasaan dan pengemasan. Bisa jadi materi pelajaran yang dibaca tidak dikemas dengan menarik oleh penulisnya. Deretan kata-kata sulit, dalam ratusan halaman membosankan. Jika demikian, maka cobalah kemas sendiri dengan menarik. Berpikir secara kreatif. Buat rangkuman versi pribadi mengenai materi tersebut, sehingga nyaman untuk dibaca berulang kali. Awalnya memang berat, namun proses "mengemas ulang"-nya hanya terjadi di awal kok. Selebihnya, tinggal dinikmati sebagai rangkuman materi pelajaran yang menyenangkan. Jika dilakukan terus-menerus, bisa menjadi kebiasaan yang positif.
Apakah saran tersebut masih terlalu sulit dilakukan? Masih juga malas membuka lembaran materi pelajaran dan menulisnya ulang dengan versi pribadi? Ya sudah. Jangan bersedih dan kecewa jika nilai kalian tidaklah setinggi mereka yang belajar dengan giat. Atau, kalian lebih tertarik menggunakan jalan pintas, mencontek pekerjaan orang lain demi sebuah nilai? Mungkin awalnya terlihat memuaskan, namun jika kebiasaan itu dipupuk, maka akan merugikan diri kalian sendiri di masa mendatang.
![]() |
image source: washingtonpost.com |
"The scariest moment is always just before you start" -- Stephen King
Kembali ke dunia menulis. Jika kalian gemar membaca, maka dengan sendirinya akan tertarik untuk menulis, setidaknya menulis buah pikiran pribadi, tidak melulu harus novel dan sebagainya. Persepsi pribadi adalah harta karun yang tidak ada duanya lho. Asupan informasi mungkin sama antar satu penulis dan penulis lain, tapi sudut pandang dalam melihat informasi tersebut tidaklah seratus persen sama.
Misalnya, dua orang penulis dihadapkan pada sebuah kertas kosong dan diminta untuk mendeskripsikan apa yang mereka lihat dalam bentuk tulisan. Begini hasilnya:
Penulis 1: "Kertas ini berwarna putih polos, tanpa tulisan apapun. Bentuknya persegi panjang vertikal. Ukurannya mungkin A4. Kertas ini diletakkan di atas sebuah meja."
Penulis 2: "Di hadapan saya ada sebuah kertas putih yang tampak bersih. Dari ukurannya, bisa dibilang ini adalah kertas A4, kertas yang cocok digunakan untuk membuat laporan dan sejenisnya. Tidak ada coretan apapun di kertas ini. Jika diperbolehkan, saya akan mengisinya dengan tulisan pribadi."
Lihat? Itulah perbedaan sudut pandang. Kedua penulis sama-sama menjelaskan deskripsi mengenai kertas, namun gaya menulis mereka berbeda. Blogger pun demikian. Asupan informasi yang diterima oleh tiap blogger bisa jadi sama, tapi masing-masing menulisnya dengan cara berbeda. Ada yang diselipi humor, disertai narasi detil, disisipi pengalaman dan lain sebagainya. Tidak masalah, sepanjang itu semua berasal dari benak pribadi. Seperti yang saya bilang, persepsi pribadi adalah harta karun, karena hanya kalian sendiri yang bisa menuangkannya, bukan orang lain. Gaya menulisnya pun hanya milik kalian seorang. The one and only in the world. Bukankah itu menakjubkan?
Jadi, untuk kalian para blogger, mulai sekarang tidak perlu berkecil hati untuk menuangkan tulisan, apapun itu. Ingat, setiap blogger memiliki senjata berharga, melekat dalam diri, yakni persepsi pribadi. Modal dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Sekarang, coba poles persepsi tersebut dengan gaya menulis masing-masing. Gunakan referensi dan kosakata yang menarik. Tidak tahu mesti menulis dengan gaya apa? Tidak tahu harus menggunakan kalimat apa untuk memulai? Jangan panik. Itu tandanya kalian harus lebih banyak membaca.
Dengan membaca, kita membuka kemungkinan untuk menyerap informasi, kosakata, alur, pemahaman terselubung, deskripsi menyeluruh, kata kunci, ide, dan sebagainya. Bebaskan pikiran kalian untuk "memakan" informasi tersebut, dan rasakan manfaat yang didapat. Entah disadari atau tidak, bukan hanya tubuh kita saja yang butuh asupan energi, namun otak juga butuh asupan tersebut, dan salah satunya didapat dari aktivitas membaca.
Tidak ada lagi kesulitan mencari ide. Tidak ada lagi rasa cemas karena hasil tulisan tidak menarik, bahkan tidak akan ada lagi ketertarikan untuk copy paste artikel milik blogger lain secara penuh dan terang-terangan. Ketertarikan membaca akan mengantar kalian menikmati itu semua. Kebiasaan sederhana justru akan menjadi modal yang luar biasa.
Artikel ini sekaligus sebagai self reminder bagi saya, bahwa kesulitan menulis yang dirasakan akhir-akhir ini mungkin karena kurang banyak membaca. Kini, saya sedang menyelesaikan membaca sebuah buku, dan dampaknya langsung terasa. Membuka laman blogger untuk menuangkan pikiran menjadi pilihan menyenangkan di hari libur ini hehe.
Menanamkan budaya membaca di mata masyarakat Indonesia memang tidak mudah, namun jika tidak dimulai dari sendiri dan tidak dimulai saat ini juga, kapan lagi?
-Bayu-
Catatan selama proses menulis:
Saya sangat berterima kasih kepada Spotify yang telah mengenalkan sebuah lagu bernapaskan dance pop dan house berjudul "You Don't Know Me" karya DJ asal Inggris, Jax Jones, menggandeng Raye di bagian vokal. Jax Jones mengambil sampel bassline dari lagu "Body Language" milik M.A.N.D.Y vs Booka Shade, menghasilkan komposisi musik yang enerjik, cocok untuk menaikkan mood. Lagu ini saya putar terus-menerus selama proses menulis artikel.
Notable lyric of this song:
"I mean, we could shapes together, but it doesn't mean you're in my circles, yeah..."
![]() |
image source: en.wikipedia.org |