Bekerja Secara Kreatif

image source: spring.org.uk
"Art, freedom and creativity will change society faster than politics
-- Victor Pinchuk

Saya senang sekali menonton di bioskop, baik beramai-ramai maupun sendiri. Ada sensasi menyenangkan yang timbul saat sebuah film diputar, lalu kita terhanyut dalam jalinan kisahnya, hingga credit title bergulir di akhir. Mungkin karena suasananya dibuat gelap sedemikian rupa, hingga memaksa penonton untuk hanya melihat layar di depan mereka, fokus menonton. Jika ada yang ribut saat menonton, yah... itu lain cerita.

Sayangnya, tiket menonton di bioskop tidaklah semurah membeli tiket commuter line. Mungkin jika menontonnya hanya sesekali, tidak terlalu membebani pengeluaran. Jika banyak film bagus yang sedang diputar dan kita berniat menonton semuanya, barulah "pengeluaran" itu akan sangat terasa. Maka dari itu, saya benar-benar memilih film apa yang akan ditonton di bioskop, dipilah sesuai minat dan kebutuhan. Jika dituruti, bisa-bisa saya menonton semua film yang dirilis, tapi mengingat keterbatasan dana, harus ditekan sedemikian rupa.

Nah, ada satu kejadian unik yang saya temui saat menonton sebuah film di bioskop. Saya memilih jadwal pemutaran pukul 21.20 WIB, karena hanya itu yang bisa saya usahakan sehabis bekerja seharian di kantor. Saya memang berniat melepas stres, kebetulan filmnya juga bagus. 

Jadi begini. Ketika masuk ke dalam studio, saya melihat dua petugas dari gerai makanan menawarkan cemilan dalam kotak khusus yang mereka bawa. Isinya beragam, dari popcorn hingga minuman. Karena saya sudah membeli di luar, maka tawaran mereka terpaksa ditolak. Saya lihat, beberapa penonton lain juga menolak dengan halus, entah apakah mereka sudah membeli di luar juga, atau memang tidak tertarik sama sekali.

Beberapa saat kemudian, layar bioskop mulai menampilkan iklan dan film-film yang akan diputar dalam waktu dekat. Sementara, di sudut studio, kedua petugas dari gerai makanan itu masih setia berdiri, menawarkan makanan dan minuman kepada penonton yang baru masuk. Begitu seterusnya, hingga layar bioskop berhenti menampilkan iklan. Suasana pun hening. Dalam jeda sekian detik sebelum film diputar, entah mengapa kedua petugas gerai makanan malah berbincang, begini saya rangkum pembicaraan mereka:

Petugas 1: Kok jualan kita sepi ya, tumben.
Petugas 2: Tahu nih, emang pada ga mau nyemil apa?
Petugas 1: Capek kan berdiri gini, malah ga ada yang beli. Emang ini film tentang apaan sih? Bukannya lama ya durasinya?
Petugas 2: Ngga tahu deh, kayaknya drama gitu. Eh, ini kita balik aja apa gimana?
Petugas 1: Iya lah, orang ga ada hasilnya juga. Udah yuk!

Setelah mereka pergi, beberapa penonton langsung terkikik geli mendengar percakapan spontan tersebut, termasuk saya. Mungkin kedua petugas itu tidak sadar suara mereka terdengar sangat jelas di dalam studio, atau malah mereka sengaja mengeraskan suara agar barang dagangannya dibeli?

"Creativity takes courage" - Henri Matisse

Kejadian tersebut sudah berlangsung cukup lama, namun baru muncul lagi dalam benak. Saya memikirkannya cukup serius. Jika kedua petugas itu sengaja mengeraskan volume suara, itu bukan tindakan bijak, karena malah seolah menghakimi penonton yang tidak mau membeli barang dagangan mereka. Di satu sisi, jika mereka tidak sengaja berbicara seperti itu, saya malah merasa miris. Kenapa? Karena begitu rendahnya semangat bekerja dalam diri mereka.

Saya tidak tahu protokol standar dalam menjual makanan dan minuman dalam bioskop. Menjual langsung dengan menempatkan petugas di dalam studio jelas inovasi menarik, karena penonton yang tidak sempat membeli bisa menikmati cemilan saat itu juga. Di lain waktu di bioskop berbeda (masih satu grup), saya pernah melihat petugasnya malah langsung mendatangi bangku penonton dari atas hingga bawah selama iklan diputar, menawarkan dengan ramah. Itu juga bentuk kreativitas, entah menjadi standar atau tidak. Di bioskop yang lebih besar lagi, justru tidak ditemukan bentuk kreativitas semacam itu, bahkan tidak ada petugas gerai makanan sama sekali yang ditempatkan di studio.

Hal ini mengusik pikiran saya. Jika satu grup bioskop saja bisa berbeda-beda cara melayani pelanggan, berarti masing-masing menerapkan bentuk kreativitas sendiri, atau sebenarnya sudah ada aturan standar namun tidak diterapkan maksimal. Entah mana yang benar, satu hal sudah pasti: Siapa yang kreatif, dia yang memenangkan hati pelanggan.

Benar kata Henri Matisse seperti yang saya kutip dalam kalimat berwarna hijau di atas: Kreativitas butuh keberanian. Jika tidak berani bertindak di luar kebiasaan, maka hasilnya tidak akan maksimal. Kembali ke kisah dua petugas yang bercakap-cakap itu. Mereka sama sekali tidak berbuat maksimal dalam menjual barang dagangan, berdiri begitu saja, berharap ada yang membeli. Jika mau berinisiatif, mereka bisa saja mendatangi penonton satu persatu, mungkin jika didatangi langsung, yang awalnya menolak halus, akan tertarik membeli. 

Jika hasilnya tetap sama, tidak ada salahnya mencoba, bukan? Sebelum dicoba, peluangnya masih 50:50 kok. Itulah mengapa saya miris. Mereka memilih lisan untuk digunakan mengeluh, bukannya memilih otak untuk mencari solusi.


image source: meistertask.com
"Creativity is allowing yourself to make mistakes. Art is knowing which ones to keep"
-- Scott Adams

Bukan berarti saya tidak pernah mengeluh selama bekerja. Saya bukanlah seorang panutan sempurna. Mengeluh itu satu cara untuk mengeluarkan aura negatif, namun bukan berarti terus-menerus. Saya juga kerap mengeluh tentang tekanan pekerjaan ke beberapa rekan tertentu, tapi setidaknya saya tahu bahwa hanya mengeluh saja tidak menyelesaikan masalah, harus diimbangi dengan pemecahan masalah.

Hm, tapi tunggu dulu. Siapa tahu saya yang terlalu berprasangka buruk ya. Bisa jadi kedua petugas gerai makanan itu sekedar mengeluh, kemudian pada tugas berikutnya, mereka lebih aktif melayani penonton. Well, jika memang demikian, berarti luar biasa. Semoga benar. Jika ternyata keluh kesahnya tidak ditindak lanjuti dengan aksi yang lebih baik, ini baru yang tidak bisa diterima. Semoga kalian juga tidak terjebak dalam kondisi demikian. 

Saya tahu bahwa apapun kegiatan yang kita lakukan saat ini, baik sebagai karyawan swasta, pegawai negeri, pelajar, wirausaha dan semacamnya, memiliki kriteria tersendiri mengenai tanggung jawab. Karyawan swasta bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaannya, begitu pula pegawai negeri. Para pelajar bertanggung jawab menyelesaikan pendidikannya, begitu pula wirausaha, dengan setumpuk tanggung jawab mandiri yang harus mereka lakukan. 

Sekarang coba pikirkan. Apakah pekerjaan kalian tidak menyediakan ruang untuk kreativitas? Untuk sekedar merubah pola? Atau memunculkan pola baru? Jika sedemikian ketat untuk perubahan, setidaknya kalian bisa menemukan celah untuk menyukai pekerjaan, dan membangun mood positif dalam melakukannya.

Seorang teman pernah memberi pesan kepada saya, "Kalo lo ngeluh mulu ama kerjaan, ya resign aja. Kebanyakan ngeluh bisa jadi karena lo ngga suka ama tu kerjaan. Kalo suka, pasti bisa lo jalanin apapun rintangannya. Kalo ga mau resign, ya mau ga mau lo mesti nemuin cara untuk suka ama kerjaan itu."

Hmm.

Untunglah saat ini saya bisa menemukan sisi unik dalam pekerjaan sekarang, sehingga jika menemukan rintangan, setidaknya saya bisa meresapi sisi unik tersebut dan kembali bersemangat menjalani hari demi hari. Ada kalanya jenuh menghampiri, namun bisa disiasati dengan melakukan kegiatan yang membangun mood positif di luar jam kerja, misalnya membaca, menulis atau menonton film. Kegiatan kecil semacam membeli makanan atau minuman ringan sebagai hadiah untuk diri sendiri saat berhasil memenuhi target juga bisa membangun mood positif. Apapun itu, silahkan kalian kembangkan sendiri. 

Jika kita stres menjalani pekerjaan, lalu masih ditambah stres untuk kegiatan di luar pekerjaan, lalu apa manfaatnya bagi diri sendiri? Coba renungkan secara mendalam. Temukan sisi lain dalam pekerjaan yang sedang kalian jalani sekarang. Temukan pola baru dalam menjalaninya. Jika tidak bisa, maka coba temukan hal-hal menarik dan unik dengan memperluas wawasan seputar pekerjaan. Tekuni hobi untuk membangun aura positif. Mengeluh sesekali boleh saja, namun harus diimbangi dengan pemecahan masalah.

Tidak ada salahnya mencoba, bukan?

-Bayu-



Catatan selama proses menulis:

Saat mengenal musiknya melalui lagu "The A Team", saya tidak pernah menyangka Ed Sheeran akan menjadi musisi terkenal seperti saat ini. Dia adalah seorang musisi yang bisa dibilang jenius menelurkan banyak lagu bagus. Tidak sekedar mengikuti selera pasar, Ed Sheeran mengembangkan ciri khas melalui setiap lagunya yang bernapaskan pop, folk, rock dan sentuhan genre lain. Khusus untuk menemani proses menulis artikel di atas, saya memutar lagu "Castle On The Hill" dan "Shape Of You", dua lagu yang entah bagaimana bisa mengalun indah dengan ciri khas masing-masing.

Kedua lagu itu sendiri dirilis bersamaan, dimana "Castle On The Hill" mewakili sisi horizontal dan "Shape Of You" mewakili dua titik vertikal. Jika digabung, kedua lambang tersebut membentuk simbol pembagian, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Divide, yang menjadi nama untuk album ketiga.

Kreatif sekaligus cerdas.
image source: independent.co.uk
READ MORE - Bekerja Secara Kreatif
 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.