Teringat atau Sengaja Memikirkan?

image source: chronicle.com

"If you spend too much time thinking about a thing, you'll never get it done

-- Bruce Lee

Otak. Semua orang menggunakan organ tersebut untuk berpikir, namun pertanyaan pentingnya adalah: apakah semua orang menggunakannya dengan cara yang sama? Jika demikian, tentu semua bisa menjadi ilmuwan, bisa menemukan teknologi terbaru, bisa membuat karya seni berkualitas, bisa menghasilkan apapun yang ingin dihasilkan. Benar, bukan? Saya tidak bisa membayangkan keadaan dunia jika semua berpikir secara sama. 

Well... kalian tidak perlu memikirkan sejauh itu. Tenang saja. Lagipula, itu hanya sekelumit pemikiran menakutkan yang saya bangun. Entahlah, terkadang otak saya ini gemar melakukan aktivitas yang sulit diabaikan: terlalu sering memikirkan sesuatu. Apakah yang dipikirkan? Apa saja. Melihat kerumunan orang, membaca tulisan yang menggugah jiwa, mendengarkan musik yang mengalun indah, mendengarkan percakapan atau cerita seseorang, menonton film yang membuat terpana. Hal-hal semacam itu selalu mengaktifkan radar dalam otak untuk segera melakukan satu hal: MARI PIKIRKAN HAL INI SECARA SEKSAMA!

Saya sengaja menulis kalimat tersebut dalam huruf kapital untuk menggambarkan betapa besarnya pengaruh hal itu dalam kehidupan sehari-hari. Juga, betapa melelahkannya! Mungkin untuk beberapa kesempatan, hal itu membantu saya menjadi pribadi yang produktif. Misal, menemukan solusi atas permasalahan di lingkup pekerjaan yang sudah sangat memusingkan (dalam pekerjaan saya sekarang, selisih satu angka yang timbul bisa menimbulkan perang urat syaraf antar berbagai pihak), meluncurkan tutur kata yang baik kepada orang lain, atau untuk menulis artikel di blog ini. Saya akui, saya senang melakukannya.

Masalah timbul jika kegiatan "memikirkan terlalu dalam" tersebut merambah sisi kehidupan saya yang lain: hubungan sosial, hubungan asmara, prinsip hidup, hingga selera dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Saya tidak tahan untuk tidak mencoba memikirkan kenapa si A berkata kasar, kenapa si B mencela saya, kenapa film itu sungguh buruk, kenapa musik ini terlalu sulit dicerna, kenapa saya dianggap menyedihkan jika memilih menonton di bioskop sendirian, hingga kenapa saya HARUS mengenakan seragam kantor selama tiga kali dalam satu minggu?

Fiuh.

"Stop thinking, and end your problems" -- Lao Tzu

Semua pertanyaan yang terngiang mengenai segala sesuatu di dalam otak saya lebih banyak mendekam begitu saja daripada ditemukan jawabannya. Hm, kenyataan menyedihkan. Jikapun jawabannya muncul, terkadang masih tidak sesuai, sehingga proses berpikir mendalam terpaksa dilakukan lagi. 

Kini, dengan bangga saya mengatakan kalau keberadaan blog ini sebenarnya sungguh membantu saya dalam menguraikan apa yang kusut dalam pikiran. Semua "sampah" pemikiran yang mengendap dengan teratur coba dipilah dan disusun ulang, sehingga terbitlah beberapa artikel. Terkadang, saat tengah malam, saya mencoba membaca lagi beberapa tulisan di blog ini, dan hasilnya membuat saya tersenyum lega. Haha. Apa jadinya jika semua artikel saya di blog ini masih terpendam dalam pikiran? 

Ya, setidaknya masih ada media yang sanggup menampung hal tersebut, daripada dipendam dan menjadi bangkai yang tak beraturan, khawatir menambah stres. Itulah sebabnya saya selalu merasa bahagia sekali sehabis menulis. Sayang, diri ini kerap terjebak dalam faktor malas, sehingga melupakan betapa bahagianya perasaan setelah menulis. Apapun itu, menulis tetaplah merupakan sebuah kegiatan spesial bagi saya, juga sebuah kegiatan "bersih-bersih pikiran" yang cukup ampuh menenangkan emosi.

Entahlah dengan kalian, tapi jika saya berada dalam kondisi emosi tinggi, ternyata menulis merupakan salah satu terapi efektif untuk menenangkan diri (selain mendengarkan musik, menonton film, dan hal-hal semacam itu). Mungkin terasa menyebalkan pada awalnya, namun fokus dalam meluncurkan kata demi kata menjadi sebuah tulisan sanggup mengalihkan pikiran sejenak, dan hasilnya... sebuah artikel! Menguntungkan, bukan? Di saat orang lain mungkin memaki-maki tanpa henti, atau membuang benda-benda ke segala arah, terapi menenangkan emosi bagi saya adalah dengan menulis.

Terapi berikutnya yang terasa ampuh adalah dengan bercerita ke orang lain. Ternyata, cukup menceritakan kepada seseorang, efeknya luar biasa ya. Apa yang mengendap di pikiran, terlampiaskan begitu saja dan ditangkap telinga orang lain. Lega. Sayang sekali, lain halnya dengan menulis, terapi "bercerita ke orang lain" ini sulit saya lakukan, mengingat saya cukup selektif memilih teman untuk bercerita. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari, namun saya tidak peduli masalah kuantitas. Saya menjunjung kualitas, sehingga berbicara dengan orang-orang tersebut terbukti ampuh menenangkan emosi.

"...There is no point in sitting around thinking about all the ifs, ands and buts
-- Amy Winehouse

Deretan kalimat yang sudah saya tuangkan di atas bisa dikategorikan sebagai kegiatan "sengaja memikirkan", karena memang saya mencurahkan segenap waktu dan usaha untuk berpikir. Oya, terkait hal ini, ada satu hal yang menarik. 
Beberapa saat yang lalu saya melakukan blogwalking ke salah satu artikel di blog Icha Hairunnisa yang ini, dan saya tersenyum sendiri membaca paragraf-paragraf terakhir yang dia tulis. Icha adalah salah satu dari beberapa blogger yang saya kagumi cara penulisannya yang lancar, dan di penutup artikel tersebut dia menceritakan mengenai menulis di malam hari, dimana menurutnya (saya kutip):

"Termasuk lebih terbuka pada diri sendiri. Berdiskusi pada diri sendiri, bertanya pada diri sendiri."

That's it. Itu juga yang saya alami hampir setiap malam. Saya terdiam khusus untuk "sengaja memikirkan" aktivitas di hari itu, kenapa bisa A dan bisa B, demikian seterusnya hingga tertidur. Saya berdiskusi dengan diri sendiri, memikirkan rencana keesokan hari, padahal bisa saja yang terjadi tidaklah sesuai rencana. Well, manusia hanya bisa merencanakan, bukan?

Lalu, bagaimana jika kalimatnya diganti menjadi "tidak sengaja memikirkan"? Nah ini juga kasus khusus. Bahasa lainnya adalah "kepikiran". Saya tidak tahu istilah resminya apa, tapi saya akan menggunakan kata "teringat" saja. Berbeda dengan "sengaja memikirkan", kasus "teringat" terjadi jika kita sedang melakukan suatu hal tertentu, kemudian mendadak datanglah ingatan itu. BUM! Apa saja bisa masuk. Biasanya hal-hal yang mengusik kita, mulai dari masalah pekerjaan, asmara, keluarga, dan sebagainya. Bisa pula sesuatu yang menyenangkan, seperti wajah kekasih, atau ingatan akan kegiatan positif yang akan dilakukan ke depannya. Secara ringkasnya, seperti dirangkum oleh Icha (masih dikutip dari artikel yang saya tautkan di atas), kita menjadi bertanya-tanya: "Kenapa aku kepikiran hal yang itu-itu terus sih?"

Kalian pasti pernah mengalaminya, kan? Atau justru sering? "Teringat" menyebabkan diri kita gundah atau senang, tergantung konteksnya. Hal seperti itu muncul tak terduga, dan seringkali menjadi faktor naik turunnya mood. Saat kita memiliki masalah dengan sesuatu, kita akan terus "teringat" sehingga menyebabkan segala hal tidak bisa dijalankan sebagaimana mestinya. Atau, jika kita terus-menerus "teringat" akan seseorang yang spesial, wah bisa dipastikan segala sesuatunya juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Haha. Jadi, baik positif atau negatif, tetap saja "teringat" akan membuat sebuah anomali dalam beraktivitas, bukan? Tapi itu juga tergantung besar kecilnya "teringat" tersebut.

Nah, bagaimana jika "teringat" kemudian berlanjut "sengaja memikirkan"? Bingo! Mengalami "teringat" saja sudah menimbulkan sensasi tersendiri, ditambah lagi "sengaja memikirkan"! Combo. Untuk kasus positif, mungkin tidak terasa melelahkan. Misal, kalian teringat seseorang yang spesial, kemudian memutuskan untuk memikirkannya sepanjang hari untuk memotivasi diri. It's fine, semua orang mengalaminya. Jika yang "teringat" adalah sebuah masalah, paket combo itu sungguh menguras energi. Serius. Sangat melelahkan. Percayalah, sebaiknya hindari paket tersebut, karena saya kerap melakukannya saat "teringat" sebuah masalah pelik, dan sungguh sulit keluar dari jeratan itu. Sudah "teringat" akan suatu masalah, dipikirkan secara mendalam pula. Duh.

Jika kalian memiliki masalah yang mengusik pikiran, kemudian bisa memaksa diri untuk melupakan semua kasus "teringat" yang timbul dari hal tersebut, mencoba mengenyahkannya mentah-mentah, dan melanjutkan aktivitas normal, maka saya ucapkan selamat. Itu hal yang sulit dilakukan bagi saya. Mungkin ini pula yang menyebabkan saya terkadang iri pada mereka yang terlihat easy going, karena saya tidak bisa seperti itu.

Sekali lagi, saya merasa beruntung bisa mengenal dunia blog. Media ini sungguh efektif menampung semua pemikiran yang melompat-lompat di kepala setiap saat. Saya setuju dengan kalimat yang muncul di halaman awal saat kita mengetik www.blogger.com, yaitu: "Publish Your Passion, Your Way". Ah, Google memang benar. I love writing, and this blog is a good start to publish my passion, with my own way :D

Happy blogging.

-Bayu-



Note: Musik yang saya dengarkan kali ini untuk menemani proses menulis adalah lagu "All You Had To Do Was Stay" milik Taylor Swift, diambil dari album 1989. Taylor Swift adalah musisi yang sudah kenyang mendapat kritik terkait banyaknya lirik lagu yang seolah membeberkan kisah asmara dia tanpa malu ke publik. I don't care about it. Saya menyukai musiknya, dan perolehan dua piala Grammy Awards untuk kategori bergengsi Album of The Year (tahun 2010 dan 2016) seharusnya sudah cukup membungkam mereka-mereka yang meragukan musikalitas si gadis pirang cantik ini. 

Saya menyukai setiap kata yang ditorehkan Taylor Swift dalam lagu ini, khususnya bagian: "People like you always want back the love they pushed aside, but people like me are gone forever when you say goodbye". 

Oh yeah, Taylor knows it so well.
image source: en.wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.