![]() |
image source: deepjams.net |
BAGIAN KETIGA DARI TRILOGI CATATAN MENGENAI GRAMMY AWARDS KE-59
"Progress is impossible without change, and those who cannot change their minds can not change anything"
-- George Bernard Shaw
Di dua artikel sebelumnya, saya mengupas mengenai album Lemonade milik Beyonce dan bagaimana kontroversi tercipta di malam penganugerahan. Bagian penutup ini akan saya gunakan untuk menuangkan beberapa hal yang mungkin belum banyak orang tahu mengenai ajang Grammy Awards tahun 2017.
Selalu ada perubahan yang terjadi di dunia ini, tak terkecuali dalam bidang musik. Kita menjadi saksi sejarah bahwa sebuah musik bisa didengarkan dalam bentuk digital, tidak lagi kaset, CD atau bahkan vinil. Banyak perangkat cerdas bisa menampung ribuan hingga jutaan lagu, membuat hidup kita makin berwarna. Perubahan terus terjadi, dimana beberapa periode belakangan ini, streaming music mewabah. Segelintir perusahaan besar mulai terjun ke bisnis tersebut, dan muncullah media yang mewadahi streaming music melalui operating system smartphone, sebut saja Apple Music, Amazon Music, Google Play Music, Spotify, Pandora, Tidal, Tune In Radio, dan semacamnya.
"Looking at the world of streaming, it's become very attractive and important to the consumer and music fan in a big way"
-- Neil Potrnow, CEO The Recording Academy
Terhitung untuk perhelatan ke-59 kemarin, The Recording Academy mengubah peraturan tertentu untuk menjawab perubahan yang terjadi di pasar musik. Salah satu perubahannya adalah mengizinkan musik digital yang didistribusikan melalui layanan streaming music masuk ke meja penjurian. Mengutip berita dari laman kompas.com: "Selama ini calon peraih Grammy terbatas pada lagu-lagu yang dirilis lewat CD atau yang bisa diunduh dari internet tapi bukan layanan langsung atau streaming."
Akhirnya para musisi yang hanya memasarkan musiknya lewat layanan streaming bisa bernapas lega, memperoleh pengakuan dari The Recording Academy. Musisi yang langsung memanfaatkan perubahan itu adalah Chancelor Johnathan Bennett atau yang lebih dikenal dengan Chance The Rapper. Musisi rap tersebut mendaftarkan album Coloring Book yang hanya dirilis eksklusif lewat Apple Music ke meja penjurian, dan... ternyata masuk nominasi! Album itu menjadi album streaming pertama yang sukses diakui Grammy Awards.
"It's really more about trying to stay ahead of changes in a very dynamic industry"
-- Bill Freimuth, The Recording Academy Senior Vice President
-- Bill Freimuth, The Recording Academy Senior Vice President
Jika demikian, apakah semua musik yang dirilis lewat streaming bisa diakui Grammy? Sayangnya tidak, karena peraturannya adalah: pendistribusian HARUS melalui platform streaming music berbayar, dengan katalog penuh, dan melayani wilayah Amerika Serikat setidaknya setahun penuh sebelum deadline pendaftaran. Ini berarti, siapapun yang memasukkan karyanya ke internet dan bisa diakses secara streaming, tapi tidak melalui platform musik berbayar, tidak akan diakui Grammy.
Alasannya, selain untuk memastikan musisi diakui dan dibayar layak, mungkin akan butuh waktu bertahun-tahun bagi para juri Grammy untuk menilai setiap musik atau performance yang muncul di Youtube (misalnya), jika mereka berbondong-bondong mendaftarkan diri. Entahlah, mungkin ke depannya akan ada perubahan peraturan lagi mengenai platform streaming video terbesar tersebut.
Lalu, apakah masuknya Chance The Rapper ke ajang Grammy hanya sebagai gimmick belaka, untuk melengkapi nominasi? Tidak. Faktanya, Chance The Rapper bisa tersenyum lebar. Kenapa? Karena dia berhasil membawa pulang tiga piala Grammy, lewat Best New Artist, Best Rap Performance (melalui lagu "No Problem") dan Best Rap Album (mengalahkan Kanye West dan Drake)!
![]() |
Chance The Rapper tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya saat menerima piala Grammy image source: themalaymailonline.com |
Beberapa kontroversi dan hal unik lainnya terkait perhelatan Grammy Awards ke-59, diantaranya adalah:
1. Boikot yang dilakukan Justin Bieber dengan tidak menghadiri malam penganugerahan, karena alasan Grammy tidak relevan, tidak adil, terlalu subjektif, khususnya bagi musisi muda. Entah siapa saja yang dia maksud. Lagipula, dia sendiri sudah mendapat pengakuan dengan masuk ke tiga nominasi bergengsi (apa masih kurang?). Boikot juga dilakukan Kanye West. Drake pun tidak datang karena terbentur tur (sengaja?). Bahkan, musisi Frank Ocean telat mendaftarkan albumnya ke Grammy dan mengancam boikot karena Grammy tidak mewakili dengan baik. Entah siapa yang benar. Well, biarlah mereka bersikeras dengan pandangan masing-masing. Toh Chance The Rapper bisa tersenyum senang tanpa harus memboikot.
2. Twenty One Pilots naik ke panggung Grammy untuk menerima penghargaan Best Pop/Duo Group Performance (melalui lagu "Stressed Out") dengan celana pendek, demi memenuhi janji masa lalu, yaitu jika suatu saat mereka menerima Grammy, mereka akan menggunakan celana pendek saja. Pesan unik yang juga mereka usung adalah bahwa siapa saja bisa menerima Grammy, tanpa terbentur isu ras, etnis, gender, dan sebagainya.
Hm, sebenarnya masih ada beberapa kasus dan keunikan lain, namun saya sudahi saja. Artikel ini terlalu panjang. Haha. Saya berterima kasih jika kalian tuntas membaca keseluruhan bagian trilogi mengenai Grammy Awards ke-59 ini. Semoga apa yang saya sampaikan bisa menambah sedikit wawasan kalian. Saya bukan kritikus musik. Saya hanya penggemar musik awam yang menikmati perkembangan Grammy Awards, dan akan terus menantikan perhelatan besar itu untuk tahun-tahun ke depannya.
-Bayu-
Note: Anderson .Paak memulai karir di tahun 2012 melalui album O.B.E Vol.1 menggunakan nama Breezy Lovejoy. Barulah melalui album keempatnya, Malibu, yang rilis di tahun 2016, dia mendapat sorotan Grammy, masuk nominasi Best New Artist, sekaligus nominasi di Best Urban Contemporary Album. Salah satu lagunya yang berjudul "Come Down" mengiringi saya sepanjang proses menulis artikel ini.
![]() |
image source: en.wikipedia.org |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar