Kekuatan Sebuah Tekad Untuk Pembuktian Diri

image source: sporthotelideal.at
"The secret of genius is to carry the spirit of the child into old age, which means never losing your enthusiasm" -- Aldous Huxley

Salah satu genre favorit saya untuk kategori film adalah animasi, baik itu 2D maupun 3D, khususnya produksi Walt Disney Animation Studios (sebut saja Disney), atau saat Disney bekerjasama dengan Pixar Animation Studios. Film animasi keluaran rumah produksi tersebut biasanya menyajikan cerita yang tidak hanya sekedar menampilkan gambar indah animasi, melainkan memiliki roh berupa kekuatan naskah (saya jadi tertarik membahas mengenai hal ini khusus di sebuah artikel tersendiri).

Di artikel ini, saya akan mencoba membahas makna film animasi terbaru keluaran Disney, berjudul Moana. Terinspirasi dari sejarah klasik Kepulauan Pasifik kuno, Disney menyajikan kisah Moana, seorang gadis keturunan kepala suku di Motunui, yang tergerak untuk menyelamatkan desanya, saat desa tersebut dirundung gagal panen. Berbekal keping jantung dewi kepulauan bernama Te Fiti, Moana tertantang berkelana mencari Maui, manusia setengah dewa, satu-satunya harapan tersisa. Moana bertekad meminta Maui untuk mengembalikan keping jantung tersebut ke Te Fiti, agar kondisi menjadi stabil. Bisakah dia melakukannya?

Sepanjang film, kita akan disuguhkan kegigihan Moana untuk menjalankan misi tersebut, sebuah misi yang tampaknya mustahil dilaksanakan, mengingat Moana masih remaja, dan dirinya belum paham mengenai ganasnya laut lepas. Well, seperti layaknya animasi Disney lain, tak ada kata mustahil selama kita memiliki tekad kuat untuk melaksanakannya. Inilah yang ingin saya bahas.
Salah satu poster film Moana
image source: teaser-trailer.com
Pilihan untuk menonton film ini sungguh tepat, karena lagi-lagi saya dibuat terpana oleh kekuatan naskah film animasi produksi Disney. Film ini mampu memberi pesan tanpa terlihat menggurui. Penonton dibawa mengikuti petualangan Moana mengarungi samudera luas dan tanpa sadar diperlihatkan pesan terselubung: kekuatan tekad untuk pembuktian diri. Sebagai remaja, Moana tentu ingin mencoba sesuatu yang berbeda, namun selalu terbentur tekanan sang Ayah. Di tengah kebimbangan mengikuti kata hati dan melakukan hal yang benar demi kesejahteraan bersama, Moana bersikukuh membuktikan dirinya mampu.

"A dream doesn't become reality through magic, it takes sweat, determination and hard work" -- Colin Powell

Kutipan Colin Powell di atas benar adanya. Sebuah mimpi tidak akan menjadi nyata melalui keajaiban semata, namun membutuhkan keringat, tekad dan kerja keras. Moana sadar dirinya tidak mahir berlayar, namun dia mau belajar. Moana sadar misinya terdengar mustahil, namun dia tetap yakin dan membulatkan tekad. Semangat membara tersebut terus dipupuknya. Biarlah orang lain mencibir tindakannya, yang pasti Moana tetap yakin pada kemampuan diri sendiri.

"Don't be disabled in spirit as well as physically" -- Stephen Hawking

Fisik kita boleh saja tidak sempurna, namun jangan sampai semangat kita lemah, kurang lebih itulah yang coba diutarakan Stephen Hawking melalui kutipan di atas. Kita tahu Stephen Hawking adalah ilmuwan fisika teoritis yang populer, telah menelurkan teori penting dalam bidang fisika kuantum. Penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS) yang menyerang Stephen membuatnya lumpuh total. Hebatnya, otak Stephen masih mampu melahirkan banyak gagasan cemerlang. Stephen Hawking telah membuktikan bahwa tekad kuat mengalahkan keterbatasan fisik. 

Sekarang, coba tengok diri kita sendiri. Sudahkah kita memaksimalkan potensi diri yang diberikan Tuhan? Apakah kita masih memiliki mimpi? Mimpi yang benar-benar akan membuktikan siapa diri kita sebenarnya? Coba dipikirkan kembali. Kalian tentu pernah bermimpi akan suatu hal. Katakanlah kalian bermimpi menjadi pengusaha sukses, lalu sudah sampai mana semangat mengejarnya? Saya beri contoh lain. Misalkan kalian bermimpi menjadi penulis. Apakah tekad kalian bulat untuk mewujudkannya? 

Ah, untuk apa bermimpi muluk-muluk. Setelah satu dua percobaan, ternyata hasilnya gagal, lalu dengan mudahnya kita berhenti mengejar mimpi. Terdengar familiar? Bagi saya iya, karena memang kalimat tersebut menampar diri pribadi haha. Saya ingin menjadi penulis, namun sampai saat ini saya tidak berusaha mewujudkannya sepenuh hati, alias setengah-setengah. Oh, jangan paksa saya membeberkan mimpi lainnya, mimpi yang bahkan saya sendiri bingung mengapa terlintas dalam benak.

Hm... jika dipikir-pikir lagi, kenapa pula harus saya kubur mimpi tersebut? Justru orang-orang yang "besar" menjadi diri mereka sekarang berkat kegigihan mengejar mimpi, bukan? Jika kita tidak memiliki mimpi sama sekali, lalu apa esensi menjalani hidup? Apakah menjadi dewasa berarti kita harus mengubur mimpi semasa kecil? Jangan-jangan, mimpi yang kita kubur tersebut justru akan membuktikan kepada orang lain, siapa sesungguhnya kita. 

"Never go backward. Attempt, and do it with all your might. Determination is power" -- Charles Simmons

Saat credit title bergulir setelah film Moana selesai dan sebagian besar penonton di dalam bioskop tertawa, tersenyum atau sibuk dengan urusan masing-masing, saya malah terpaku sejenak di kursi, termenung. Ada yang mengatakan kalau esensi menonton film bagi setiap orang akan berbeda, tergantung persepsi dan motivasi menonton. Entahlah bagaimana tanggapan orang lain, tapi bagi saya, apa yang baru saja disaksikan di layar bioksop adalah sebuah pelajaran mengenai semangat mengejar tujuan. Kekuatan sebuah tekad untuk pembuktian diri.

Beberapa gumam beragam yang saya dengar dari penonton lain adalah, "Filmnya bagus"; "Ih, ternyata biasa aja ya"; "Keren ya filmnya" atau "Gua ketiduran di tengah-tengah film tadi". Well, selalu ada pro dan kontra. Biarlah orang lain menganggap film ini sesuai persepsi mereka, namun bagi saya pribadi, Moana adalah sebuah film animasi dengan naskah bagus dan hikmah baik. Bahkan, sampai saat ini, saya masih tersenyum membayangkan pengalaman menonton yang saya dapatkan. Amazing experience.

Now, after you read this article, i want to ask one question: Maukah kita berusaha untuk mengejar mimpi? 

-Bayu-



Note: Soundtrack Moana selain berisikan musik-musik pop Disney, juga menyisipkan beberapa sentuhan musik khas Oceania ke dalamnya, yang penuh semangat dan ceria. Sebuah lagu berjudul "Logo Te Pate" yang dibawakan oleh Olivia Foa'i, Opetaia Foa'i dan Talaga Steve Sale membuktikannya. Lagu ini khusus saya putar terus-menerus sepanjang proses menulis artikel. Hebatnya, lagu ini membawa imajinasi saya mengembara ke adegan dalam film Moana. What a lovely song.
image source: amazon.com
READ MORE - Kekuatan Sebuah Tekad Untuk Pembuktian Diri

Pesona Diri Kita Apa Adanya

image source: theodysseyonline.com
"To love yourself right now, just as you are, is to give yourself heaven" -- Alan Cohen

Sore ini saat sedang bersantai di rumah, saya memutuskan untuk menonton ulang film animasi "Shrek" dan "Shrek 2" berturut-turut. Entah kapan terakhir kalinya saya menonton kedua film itu. Efeknya sungguh luar biasa. Saya tertawa, tersenyum dan dibuat terkesima oleh penceritaannya yang brilian. Film Shrek yang pertama menang di kategori "Best Animated Feature" pada ajang Academy Awards (Oscar) 2002, dan dinominasikan dalam kategori naskah adaptasi terbaik. Film keduanya "hanya" dinominasikan dalam kategori "Best Animated Feature Film of The Year" dan lagu original terbaik untuk single "Accidentally In Love" yang dibawakan oleh Counting Crows (Ah, saya masih ingat bagaimana penampilan band tersebut di panggung Oscar saat itu!).

Disadur dari cerita bergambar karangan William Steig produksi tahun 1990, Shrek memberi sentuhan baru pada dunia animasi Hollywood, dan hebatnya, mampu mengalahkan animasi Disney "Monsters, Inc." di ajang Oscar. Awalnya saya tidak tertarik menonton, mengingat karakternya "tidak terlalu menjual", namun jangan pernah menilai dari penampilan luar, bukan? Keputusan menonton Shrek dan mengikuti sekuelnya adalah keputusan tepat.
image source: playbuzz.com
Karakter film "Shrek 2", dari kiri ke kanan: Donkey, Puss in Boots, Shrek dan Putri Fiona
Who the hell is Shrek? Seperti kalian lihat di atas, Shrek adalah seorang ogre, seorang monster yang dijauhi penduduk. Merasa terusik dengan kehadiran banyak tokoh dongeng terbuang yang mendiami tempat tinggalnya, Shrek terpaksa membuat kesepakatan dengan Lord Farquaad, seorang pangeran yang ingin menjadi raja. Shrek harus membebaskan Putri Fiona di kastil terpencil (yang dijaga oleh seekor naga ganas) untuk kemudian diserahkan kepada Lord Farquaad, jika ingin tempat tinggalnya kembali tenang. Dibantu oleh Donkey, seekor keledai yang tak pernah berhenti mengoceh, Shrek pun melaksanakan misi pembebasan sang tuan putri. As simple as that.

Jelas saja naskah Shrek dinominasikan masuk Oscar, karena memang jalinan kisahnya brilian. Menambal sulam beberapa kisah dongeng dan budaya populer adalah kekuatan film ini. Seluruh karakternya terbangun dengan rapi, begitu pula alurnya. Pada akhirnya, penonton akan disuguhi sebuah pesan tersirat: terimalah keadaan diri kita apa adanya, tidak perlu merasa rendah diri.

"Accept youself, love yourself, and keep moving forward" -- Roy T. Bennett

Seperti yang kita ketahui, Tuhan telah memberi anugerah fisik kepada setiap manusia secara berbeda, dan kita harus menerimanya dengan lapang dada. Ya sudah, memang beginilah kondisi fisik kita apa adanya. Accept yourself. Love yourself. Lagipula, apalah gunanya fisik sempurna jika ternyata hatinya jahat, atau tingkah lakunya menyebalkan, bukan? Kurang lebih begitulah intisari film Shrek dan Shrek 2. Semua itu dibalut dalam sebuah animasi komedi yang fantastis.

Sayangnya, tidak semua orang berpandangan demikian. Namanya juga manusia. Adakalanya saat diberi anugerah, malah lupa diri. Fisik yang sempurna dimanfaatkan untuk hal-hal tidak baik, dimanfaatkan demi kepentingan diri sendiri. Sempurna dan tidak sempurna, itulah dua kutub ujian bagi setiap manusia. Well, kriteria "kesempurnaan fisik" pun sebenarnya adalah produk pikiran manusia itu sendiri. Kita sudah tercuci otak bahwa kondisi fisik yang sempurna berdasarkan tinggi badan, berat badan, raut wajah, warna kulit, warna rambut dan sebagainya. Media memperlakukan kriteria tersebut dengan kekejaman luar biasa, membuat semua orang yang tidak masuk "kriteria fisik sempurna", bukanlah manusia idaman, sehingga berujung pada rendah diri.

"When you love yourself, people can kind of pick up on that: they can see confidence, they can see self-esteem..." -- Lilly Singh

Kondisi rendah diri ini banyak dialami oleh mereka yang kerap termakan omongan media dan kerap membandingkan satu sama lain, dimana mereka akan menganggap kondisi fisik sempurna adalah sumber kebahagiaan hidup. Really? Mungkin dalam beberapa kasus benar, tapi bisa jadi itu hanya kebahagiaan sesaat. Lagipula, jika kita melihat kebahagiaan dalam diri seseorang yang terlahir dengan fisik sempurna, sebenarnya kita hanya melihat dari satu sisi, yakni sisi kita sendiri. Kita belum melihat secara dalam dari sisi orang tersebut. Siapa tahu dia tersiksa secara emosi, atau hal lain. Ingat, selalu ada dua sisi dalam mata uang, dan kedua sisi bisa menampilkan kondisi berbeda.

Jadi, jangan lantas merasa rendah diri begitu melihat orang lain tampak sempurna. Jangan pula lantas mengikuti tuntutan kesempurnaan itu sendiri. Oke, jika melakukan olahraga untuk menjaga bentuk tubuh sehat, itu bisa ditoleransi. Yang salah adalah terobsesi untuk menjaga bentuk tubuh sempurna terus-menerus. Melakukan diet mati-matian dan mengabaikan kesehatan, itu bukanlah keputusan tepat. Mengubah warna kulit? Melakukan operasi plastik untuk bagian tubuh tertentu? What actually are they thinking?

"You have to love yourself or you'll never be able to accepts compliments from anyone" -- Dean Wareham

Hm, sesungguhnya sangat sulit untuk campur tangan dalam masalah yang sudah berurat akar ini. Siapalah saya berani menceramahi kalian mengenai kondisi fisik dan sebagainya? Haha. Saya sendiri bukan sosok sempurna kok, tapi setidaknya saya tidak akan membiarkan diri ini terjebak dalam kecemasan tuntutan kondisi fisik secara berlebihan. Saya seringkali dikritik mengenai badan yang kurus, tapi ya sudahlah. Saya adalah diri saya, dengan kondisi fisik seperti ini. Well, setidaknya saya masih ingat untuk menjaga kesehatan. Saya juga tahu rasanya dikritik mengenai kondisi fisik, sehingga sebisa mungkin saya akan menjaga lisan ini untuk tidak menghina kondisi fisik seseorang.

Merubah mindset orang lain untuk tidak berpikir macam-macam mengenai kondisi fisik seseorang bukanlah pekerjaan mudah. Setiap orang memiliki pandangan tersendiri, tergantung asupan informasi apa yang mereka peroleh. Bagi kalian yang membaca artikel ini, saya berharap kalian tahu bahwa menghina kondisi fisik seseorang bukanlah tindakan baik. Sama sekali tidak baik. 

Pada akhirnya, yang harus kita lakukan adalah menerima dengan ikhlas kondisi fisik kita, apa adanya. Mata kita sipit sementara mata orang lain lebar? Lalu kenapa? Kulit kita berwarna gelap sementara orang lain berkulit putih cerah? Lalu kenapa? Memangnya ada yang akan memberi denda untuk warna kulit? You know what, sebenarnya ketakutan kita adalah masalah penerimaan. Kita takut orang lain menganggap kita buruk rupa, kita takut melihat sorot belas kasihan atau sindiran di mata mereka. 

Hei, biarlah mereka berpikir apa yang mereka ingin pikir. Biarlah mereka menghakimi apa yang mereka ingin hakimi. Semakin kita tersudut, semakin "kerdil" diri kita jadinya. Justru dengan tersenyum, bangkit dan berjalan dengan penuh percaya diri, saat itulah orang lain bisa menganggap bahwa kita tidak terbebani dengan masalah kondisi fisik. Tampilkan pesona kita apa adanya, dengan kebaikan hati dan self confidenceKita cenderung menaruh penghormatan kepada sosok yang baik hati dan penuh percaya diri, bukan?

Tidak perlu pusing merubah mindset orang lain. Semua bisa dimulai dari diri sendiri.

-Bayu-


Note: Biasanya saya mendengarkan satu lagu berulang-ulang saat menulis satu artikel, namun kali ini hal itu saya rubah. Mengingat ini adalah artikel mengenai kesan menonton film Shrek, maka saya memutuskan untuk memutar satu album OST Shrek 2 (salah satu album soundtrack terbaik yang saya punya!) sepanjang proses menulis, dan efeknya sungguh luar biasa! Jemari saya bergerak lincah di atas laptop. AH, semua lagu dalam album ini bagus, namun jika harus memilih, favorit saya adalah Counting Crows dengan "Accidentally In Love", Frou Frou dengan "Holding Out For A Hero", dan Joseph Arthur dengan "You're So True".
image source: amazon.com
READ MORE - Pesona Diri Kita Apa Adanya

Benda yang Tak Bisa Dinilai dengan Uang

image source: minimalisti.com
"We don't remember days, we remember moments" -- Cesare Pavese

Apakah kalian pernah memiliki barang-barang yang dari tampilan fisik tidak begitu berharga, dari segi harga juga tidak terlampau wah, namun kalian tetap menyimpannya karena alasan tertentu?  Bukan, saya tidak sedang membicarakan mengenai barang-barang bekas dan menumpuk di gudang. Yang saya bicarakan adalah barang-barang yang karena suatu alasan "sentimental" tertentu, menjadi sangat berharga sehingga layak terus disimpan.

Silahkan sebut namanya sentimental value, sentimental objects, or anything, intinya barang-barang tersebut merepresentasikan sebuah momen berkesan. Saat kalian melihat kembali barang itu, ada sensasi tersendiri akan kenangan indah, haru, bangga dan sebagainya. Bagaimana? Sudah tahu barang yang dimaksud? Misalnya kalian memiliki sebuah pulpen yang harganya murah, bukan pulpen dengan desain mewah dan tinta antik. Pulpen tersebut ternyata pemberian dari seseorang tertentu, dan kalian hanya menyimpannya begitu saja, tidak digunakan, karena pulpen tersebut terlalu "berharga" untuk dipakai. Fungsi pulpennya jadi hilang. Kini dia bertindak sebagai benda pengingat akan seseorang yang memberikannya.

Seperti itu maksud saya. Coba tengok koleksi barang kalian kembali, dan hitung ada berapa jumlah benda semacam itu. Apakah banyak? Tidak apa-apa, menurut saya pribadi, tidak ada yang salah dengan tetap menyimpannya kok. Siapa tahu benda tersebut akan memotivasi kalian untuk terus beraktivitas. Benda tersebut dengan sendirinya memompa semangat kalian. 

"It has a lot of historic value, a lot of sentimental value" -- Bob Edwards

Nilai sejarah. Itulah kuncinya. Benda tersebut memiliki kenangan tersendiri, entah itu dari momennya, entah dari pemberinya, entah dari cara mendapatkannya, dan masih banyak lagi. Sebuah piala juara satu lomba menggambar tingkat TK, misalnya, bisa saja diduplikasi dan diperbanyak semua orang, tapi bukan itu yang dirasa si pemiliknya. Pemilik piala akan selalu teringat momen kemenangan yang dia peroleh begitu melihat benda tersebut.

Contoh lainnya adalah benda pemberian seseorang. Benda yang bisa saja mudah kita dapatkan di tempat lain, namun bukan itu esensinya. Benda tersebut memberikan sebuah kenangan akan si pemberi, membuat kita ingin tetap menyimpannya. Pasti kalian juga memilikinya, bukan? "Seseorang" yang dimaksud disini bisa saja keluarga, sahabat, kekasih, dan lainnya. Dijamin, benda tersebut tidak bisa dinilai dengan uang, berapapun jumlahnya.

"Some people just don't understand sentimental value" -- Akmal Hanif

Meski bisa jadi semua orang memiliki benda semacam itu, tapi belum tentu semua orang memahami konsepnya. Misalnya saja, orang lain tega membuang koleksi buku langka yang telah kita simpan bertahun-tahun dengan alasan menghemat ruangan. Begitu melihat kita bersedih karena kehilangan, mereka akan berkata, "Bukankah cuma buku? Bisa dibeli lagi". See? Hal-hal semacam ini yang entah bagaimana sulit dipahami orang kebanyakan. Atau, jangan-jangan saya yang terlalu membesarkan hal ini? Haha.

Jika kalian memiliki barang-tak-bisa-dinilai-dengan-uang, pastikan menyimpannya dengan baik. Jika bisa dilihat orang lain, pastikan mereka mengerti bahwa barang tersebut sangat berharga sehingga mereka akan menghormati keputusan kalian untuk tetap menyimpannya. Well, bisa jadi saya terlalu melebihkan masalah ini (haha), tapi percayalah, saya juga memiliki benda semacam itu, dan sangat tidak suka jika orang lain meremehkan keputusan saya untuk tetap menyimpannya. Benda tersebut bisa memberi saya motivasi setiap hari, sebuah hal langka yang mungkin tidak semua orang mendapatkannya.

"I keep it for its sentimental value" -- Jess Michaels

Sekali lagi, tidak semua orang bisa memahami konsep sentimental value ini. Hm, sentimental value. Dari namanya saja sudah terkesan "lemah", sehingga adakalanya orang lain akan mencibir keputusan kita untuk tetap menyimpan benda-benda semacam itu. Saya tidak menyalahkan cibiran mereka. Kenangan memang seharusnya dikubur saja, dienyahkan tanpa jejak. Biarlah kita menjalani hidup untuk saat ini dan masa depan, ya kan?

One thing for sure: kita bisa hidup sampai saat ini setelah menjalani momen-momen berharga di masa lalu, yang telah menjadi sejarah, iya kan? Justru dari momen-momen tersebutlah kita bisa menjadi pribadi seperti saat ini. Jika kita tidak belajar dari masa lalu, kita tidak akan menjadi manusia yang berbeda secara positif. Mengerti maksud saya? 

Now, the question is: Jika momen-momen berharga tersebut kita lupakan begitu saja, dan berharap menjadi manusia berbeda di masa mendatang tanpa mengambil pelajaran apa pun dari sejarah pribadi, bisakah hal itu dilakukan? I don't think so. Oke, saya mengerti bahwa kenangan buruk bisa memicu depresi dan hal-hal negatif lainnya, tapi bagaimana dengan kenangan indah? Jika ternyata kenangan indah bisa memacu semangat untuk terus maju, kenapa harus dilupakan, begitu pula dengan benda-benda yang menyertainya?

Well, ini hanya sekelumit pikiran saya. Pada akhirnya, pilihan tetap di tangan kalian, ingin tetap menyimpan benda-benda semacam itu atau justru melupakannya. Ingat, semua tindakan ada resikonya. Kita semua telah dewasa. Kita bisa menentukan mana yang baik dan mana yang tidak.

Atau, jangan-jangan... kita terlalu melibatkan emosi dalam melakukan sebuah tindakan, sehingga apa yang terlihat baik menjadi buruk, dan sebaliknya?

Think about it. 
You are what you think.
You are what you do.

-Bayu-


Note: Gabungan synthpop dan alternative rock yang terangkum dalam lagu "Balance" milik Future Islands menemai saya dalam menulis artikel di atas. Lagu ini sungguh memantik ide-ide yang menari liar di kepala. What a great song.
image source: pitchfork.com
READ MORE - Benda yang Tak Bisa Dinilai dengan Uang
 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.