Getting Lost

image source: expedia.co.id
"Getting lost is just another way of saying 'going exploring'" -- Justina Chen

Jika kalian pernah membaca harian Kompas tanggal 8 Oktober 2016, ada sebuah kolom menarik bernama Ultimate U yang ditulis oleh Rene Suhardono (@ReneCC), seorang penulis dan pembicara publik. Kolomnya tidak terlalu besar, namun cukup memuat untaian kata penuh motivasi.

Di kolom tersebut, Rene menyorot angka bepergian masyarakat Indonesia yang terhitung rendah. Tidak heran jika mayoritas masyarakat pikirannya masih terkotak-kotakkan pada lingkungan tempatnya berasal. Tidak ada terobosan baru, variasi dalam berpikir, berkomunikasi, mencari ide, inspirasi dan sebagainya. Padahal dunia di luar lingkungan kita berasal sangat sangat sangat luas untuk dijelajahi, dan memuat beragam bentuk pola komunikasi, visual, budaya, norma, dan masih banyak lagi. 

"Sometime all you need to do is to get lost to find yourself" -- anonymous

Saya bukanlah pecinta travelling. Dulu saya sangat tertutup dan menolak terang-terangan bepergian ke luar kota. Jika teman seperjalanannya tidak nyaman, atau lokasi yang dituju tidak menimbulkan minat, maka saya menolak pergi. Alhasil, dunia luar bisa saya ketahui hanya melalui buku, koran, majalah, TV dan internet. 

Tahun 2015 merubah paradigma berpikir saya. Waktu itu, seorang teman mengajak pergi ke suatu tempat wisata di Jawa Timur. Tergerak ingin mendobrak gaya hidup selama ini, saya menyanggupinya, toh teman saya ini merupakan teman seperjalanan yang asyik. Ternyata, itu merupakan kunci perubah pola pikir. Itulah permulaan dari keseruan yang saya alami sampai saat ini. Sejak saat itu, saya telah bepergian ke luar kota beberapa kali. Ini merupakan terobosan baru dalam hidup saya yang terasa hambar!

Saya merasakan sensasi menyenangkan setiap kali menjejak daerah baru, menjelajahi tempat menarik, menemukan pola budaya baru, berinteraksi dengan tutur bahasa berbeda, dan menyelami kearifan masyarakat setempat. Satu kegiatan yang paling saya suka dari travelling adalah momen merenung. Ya, saya kerap melakukannya di tempat-tempat yang membawa suasana damai, seperti tepi pantai. 

Pantai menjadi pilihan terbaik karena ada gemuruh ombak, semilir angin, tekstur pasir lembut, dan bentang laut luas. Kesemuanya cocok untuk dijadikan tempat merenung. Saya bisa menghabiskan berjam-jam hanya sekedar duduk di tepi pantai dan menikmati kedamaian. Saya juga memiliki lokasi terbaik untuk melakukannya, terletak di luar Pulau Jawa (tidak perlu disebutkan disini). 

Itulah momen getting lost terbaik yang saya punya. Terkadang, saat pikiran sedang jenuh dan hidup terasa hampa, saya akan nekat mengambil cuti dari kantor dan pergi ke tempat penuh kedamaian, dimanapun itu. Karena mengusung konsep "getting lost", maka tidak banyak yang tahu kemana saya pergi, hanya segelintir orang saja. Saya tidak ingin mengumbarnya karena bukan itu esensi yang saya cari. Saya menginginkan kedamaian, maka semakin sedikit yang tahu tempatnya, semakin baik.

"You are someone - and no one at the same time" -- Rene Suhardono

Kalimat Rene di atas patut direnungkan, karena di satu sisi kita memiliki hubungan dengan orang lain (sebagai anak, orang tua, teman, pacar, sahabat, atasan, bawahan, dll), namun di sisi lain, kita bukanlah siapa-siapa. Selanjutnya, Rene menyatakan bahwa "bepergian memungkinkan kita memiliki perspektif betapa besar dunia dan betapa kecil dan insignifikan keberadaan diri". Jika kita menghilang dari dunia ini, berapa banyak yang akan mencari kita? Berapa banyak yang akan merasa kehilangan? Jika kalian merenungkannya lebih dalam, maka akan tercapai satu pemahaman bahwa "keberadaan kita di dunia akan berdampak signifikan jika kita memiliki makna bagi orang lain".

Banyak hal bermakna yang bisa kita lakukan, misalnya membantu teman yang sedang kesulitan, menemani orang tua kita yang kesepian, membahagiakan orang tersayang, memberi hadiah dengan tulus, atau bahkan sekedar melempar senyum pada rekan kerja yang selalu terlihat murung. Hal-hal sederhana namun tulus seperti itu yang bisa membuat hidup ini bermakna. Lakukan kebaikan dengan cara masing-masing, tulus dan ikhlas.

"Some beautiful paths can't be discovered without getting lost" -- Erol Ozan

Pemahaman yang teruang di atas bisa saya dapatkan setelah merenung di tepi pantai. Kedamaian yang saya peroleh luar biasa indahnya, sehingga momen tersebut sebisa mungkin akan saya simpan dalam memori jangka panjang. Jika ada rezeki lebih lagi, saya berniat untuk terus menemukan tempat penuh damai di lokasi lain, jauh dari keramaian. 

Finally, tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi kalian untuk menghambur-hamburkan duit jalan-jalan ke luar kota. Saya tahu pergi ke luar kota membutuhkan biaya, apalagi ke luar pulau, tapi apa salahnya mencoba sekali-kali? Apa salahnya menabung demi merasakan dunia lain yang terhampar di luar sana, menunggu kita untuk datang? Sudah banyak aplikasi yang memudahkan kita untuk memesan tiket pesawat, hotel dan lokasi wisata menarik. Tinggal bulatkan tekad untuk mencari, temukan makna perjalananmu sendiri, sekaligus temukan esensi dari "getting lost to find yourself".

Bisa jadi kalian memandang remeh apa yang saya tulis, namun percayalah, tidak ada ruginya mencoba sesuatu yang berbeda. Saya akan menutup dengan mengutip kalimat Rene Suhardono lagi: "This is the moment when we shall rediscover what really matters for us - and that is the most important part of discovering yourself. Go travel."

Yeah. Go travel, guys! Jika ternyata kalian tidak menyukai hasilnya, well... setidaknya kalian telah mencobanya, bukan? :)

Selamat menikmati akhir pekan.

-Bayu-


Note: Akhir-akhir ini musik SIA terlalu berkompromi dengan pasar mainstream, sehingga keunikannya seolah menghilang, dan membuat saya tidak menaruh perhatian lagi. Kali ini, dia kembali menelurkan single "The Greatest", yang entah bagaimana bisa terngiang-ngiang di telinga saya. Ada keunikan khas SIA, meski masih dibalut dalam tataran pop mainstream. Musik ini mengiringi saya sepanjang proses menulis.

Simply, SIA is still... amazing!
image source: en.wikipedia.org
READ MORE - Getting Lost

Menulis: Kebutuhan atau Tuntutan?

image source: customessaywriter.com
"You can do anything as long as you have the passion, the drive, the focus, and the support" -- Sabrina Bryan

Saya pernah menyatakan melalui blog ini, bahwa menulis itu sebuah proses yang tidak mudah, tidak juga sulit. Kuncinya terletak di pola pikir. Jika kita menganggap menulis itu sulit, maka selamanya menulis akan menjadi sulit. Begitu pula sebaliknya. Kebanyakan dari kita sering berpikir bahwa menulis menjadi hal yang menakutkan tatkala berhadapan dengan EYD dan "bobot" tulisan.

Tenang saja, EYD bisa dipelajari. Saya sendiri masih belum memahami EYD dengan baik, tapi setidaknya hal itu tidak menjadi penghalang menulis. Justru yang menghalangi saya adalah diri sendiri, alias rasa malas yang menghampiri. Gangguan yang satu itu sangat sulit diberantas. Sekali hinggap, dipastikan butuh banyak usaha untuk mengenyahkannya.

Hambatan lain yang mungkin timbul dalam diri para blogger atau penulis adalah ketakutan akan penerimaan orang lain. Ketakutan tulisannya akan dicemooh. Ketakutan tulisannya terlalu remeh dan tidak berbobot. Ketakutan tidak akan ada yang membacanya.

"Writing heals my heart like no pill ever could" -- Rob Bignell

Selama ini, jika mengalami pergolakan emosi negatif, saya akan memendamnya. Saat diri ini tidak sanggup lagi menampung, maka luapan emosi negatif akan keluar dan berujung pada penyesalan. Itu cara yang salah, saya tahu. Maka dari itu, sejak beberapa bulan belakangan ini saya mencoba "terapi menulis". Saat emosi negatif menghampiri, saya akan menuliskannya ke dalam laptop atau menulis di selembar kertas.

Setelah selesai menumpahkan semua emosi negatif (termasuk makian yang tidak berani diumbar secara lisan), saya merasa lega. Damai. Tenang. Senyum pun terkembang. Perasaannya sama seperti ketika kita melakukan "curhat" ke orang lain, seolah ada beban yang terangkat dari pundak. Bedanya, saat menumpahkannya lewat tulisan, kita tidak perlu memikirkan bagaimana reaksi orang lain saat mengetahuinya. Toh kita menumpahkannya ke benda mati, yang notabene tidak akan bereaksi apapun. Sejak itu, saya kerap menulis tatkala emosi negatif datang. Lambat laun saya menyukai prosesnya.

"There are many advices on writing, The best i know is stop reading them and start writing" -- Bangambiki Habyarimana 

Masalah muncul tatkala kita mengunggah tulisan itu untuk dibaca orang banyak. Akan ada konsekuensi yang ditanggung: orang lain menyukainya, atau tidak sama sekali. Bagaimana reaksi orang lain? Kritik, pujian dan saran mengalir. Permintaan muncul. Tuntutan berkembang. Sama seperti hidup. Kita bersekolah sampai jenjang tertinggi, bekerja, menikah, memiliki anak, begitu seterusnya sesuai norma yang berkembang. Jika proses menulis sudah masuk ke tahap "tuntutan" sama seperti tuntutan hidup, maka prosesnya sudah ternodai.

Kalau sudah demikian, apa bedanya menulis dengan memenuhi tuntutan hidup?

Bagi saya, menulis adalah kebutuhan. Saya butuh menulis untuk meredam gejolak emosi, untuk memaknai sesuatu, untuk mencurahkan hasil pemikiran sekaligus menaikkan kepercayaan diri. Tidak semua tulisan harus dilempar ke publik. Saya sendiri sampai saat ini memiliki tulisan yang hanya untuk dikonsumsi pribadi.

Saya pun cenderung anti mainstream, sehingga tidak menyukai pola sama seperti yang blogger lain lakukan. Saya tidak ahli dalam menulis travelling, food, asmara, humor, kegiatan harian dan segala macam. Niche yang saya incar bukan demikian. Saya mencari celah tersendiri dan menuangkan apa yang saya ingin tuangkan. Entah blog ini harus dikategorikan ke dalam niche mana.

"You can make anything by writing" -- C.S Lewis

Semua yang saya tulis di atas meniadakan satu faktor: monetisasi blog. Jika memonetisasi blog, mungkin tuntutannya akan menjadi ini itu. Saat ini, saya tidak sanggup memenuhinya, maaf. Saya malah akan berfokus pada tuntutan tersebut, bukan pada menikmati prosesnya. Blog ini biarlah menjadi simbol kemerdekaan saya dalam menuangkan hasil pikiran, bukan memenuhi apa yang pihak lain inginkan. Yang menjadi permasalahan adalah jika keputusan saya ini dicela. Tolong dipahami. Mari kita bersikap dewasa dalam menyikapi keputusan yang diambil seseorang dalam meramu blognya.

Jika kita menyukai proses menulis, maka dijamin tidak akan ada yang bisa menghentikan kita dalam melakukannya. Jika kita enjoy dalam menulis, maka hasilnya pun akan memuaskan. Sama seperti atlet yang sedang menghadapi sebuah pertandingan penting. Jika dia tidak enjoy dalam melakukannya, yang terbayang adalah ketakutan untuk memberikan hasil terbaik. Hasil akhirnya justru sering mengecewakan. Oleh karena itu, luangkanlah waktu terbaik untuk menulis. Menulis dan rasakan manfaatnya. Jika kalian menulis untuk konsumsi publik, maka harus siap dengan konsekuensinya. Jika tidak siap, maka kembalikan ke ranah pribadi. Sesederhana itu.

Kembali ke judul tulisan di atas, "Menulis: Kebutuhan atau Tuntutan?" Saya akan menjawab "kebutuhan". Sekalinya saya berkecimpung dalam tulisan untuk memenuhi tuntutan, maka saya khawatir tidak akan bisa menjadi diri sendiri. Tidak, bukan itu saya saya mau. Saya ingin menulis dan merasakan kebahagiaan saat prosesnya selesai. Mohon hargai pilihan ini. Terima kasih.

Selamat berakhir pekan.

-Bayu- 



Note: Musik Ariana Grande biasanya hanya menjadi one hit wonder di telinga saya, tapi entah kenapa single "Into You" selalu menempel di benak, meski sudah saya coba enyahkan. Pantas saja lagu ini terasa "renyah", karena ada Max Martin sebagai salah satu produsernya, sang produser "bertangan emas". Musik dance pop yang easy listening ini mengiringi saya selama proses menulis.
Image source: fuse.tv
READ MORE - Menulis: Kebutuhan atau Tuntutan?
 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.