Membalas Jasa Seseorang

Image source: livingroomdesignideas.blogspot.com

"We can't help everyone, but everyone can help someone" -- Ronald Reagan

John Grisham adalah novelis asal Mississippi, Amerika Serikat yang sudah banyak menelurkan karya best seller. Tulisannya cerdas, tajam, megah, bermuatan banyak intrik, berani, dan "menggigit". Salah satu novelnya yang punya kesan "menggigit" adalah A Time to Kill, novel pertamanya sekaligus yang paling dia sukai.

Butuh usaha ekstra untuk menamatkan novel setebal 906 halaman ini, terutama karena saya hanya menyisihkan sekitar satu jam setiap hari untuk membacanya, tidak membaca dalam full effort. Secara ringkas, A Time to Kill bercerita mengenai seorang pria kulit hitam yang diadili karena menembak mati dua orang kulit putih yang telah memperkosa anak perempuannya. Pemerkosaan dibalas dengan nyawa, tapi apakah nyawa harus dibalas dengan nyawa? Apalagi yang diadili adalah seorang kulit hitam, ras yang dipandang "kelas bawah" oleh masyarakat Amerika. 

Banyak isu mencuat di novel ini, mulai dari rasisme yang masih kental di Amerika Serikat, teror Ku Klux Klan (kelompok rasis ekstrem), keadilan yang semu, dan pembelaan hati nurani. John Grisham dengan cerdas mempertontonkan sepak terjang langkah para pengacara dari pihak terdakwa dan pembela, bagaimana mereka bersilat lidah, menghadapi pers, melakukan riset melelahkan, dan mencari celah dalam sistem peradilan guna memenangkan kasus.

Brilian, saya benar-benar terpukau setelah menamatkan novelnya. Ada banyak versi cover novelnya yang beredar, ini salah satunya:


Image source: bukalapak.com

Saya tertarik mengambil beberapa bagian dalam novel yang menurut saya patut dibahas. Ada dialog yang menarik di halaman 112. Diceritakan bahwa Carl Lee, si pria kulit hitam yang diadili karena menembak dua orang pemerkosa putrinya, mendapatkan senapan dari teman lamanya, Cat Bruster. Cat dengan senang hati memberikan senapan dengan gratis. Kenapa? Berikut saya kutip dialog mereka:

Carl Lee : Aku ambil

Cat        : Seribu dolar untuk orang lain, tapi tidak untukmu, Big man

Carl Lee : Berapa?

Cat        : Cuma-cuma, Carl Lee, cuma-cuma. Aku berutang padamu sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang

Percakapan tersebut membuat saya termenung. Cat Bruster memberikan sesuatu dengan gratis sebagai balas budi kebaikan temannya. Hmm, apakah saya mampu melakukannya juga? Saya kira demikian. Apalagi ada beberapa orang yang sudah berjasa dalam kehidupan saya, dan jasa mereka tidak dapat dinilai dengan uang. Pertanyaan tersebut terus berkecamuk dalam benak sehingga saya pikir lebih baik menguraikannya di blog demi ketenangan. 

"Your life will become better by making other lives better" -- Will Smith

Terlepas dari masalah etika dalam berbalas budi, sudah sepatutnya kita menolong orang lain yang berada dalam kesulitan, sepanjang tindakan yang kita lakukan adalah kebaikan. Apakah harus mengharap pamrih? Tanyakan kepada nurani masing-masing. Bukankah saat kita menolong orang lain, ada semacam perasaan yang menyelimuti kita, menenteramkan kita, membuat kita merasa damai. Perasaan semacam itu yang tidak bisa dinilai dengan uang, bukan? Mengetahui bahwa tindakan kita dapat membuat hidup orang lain lebih baik itu jelas membawa efek baik dalam diri kita. Lalu, apakah kita harus mengharap tindakan itu akan "dibayar balik"?

Tidak. Mencari pamrih sama saja menagih hutang, hal yang paling saya jauhi. Saya merasa tidak nyaman jika harus menagih hutang. Lebih baik memberi dengan ikhlas ketimbang mendata pihak mana saja yang harus kita "tagih". 

"One of the most important things you can do on this earth is to let people know they are not alone" -- Shannon L. Alder

Memberi kebahagiaan kepada orang lain menjadi tidak baik tatkala kita mengungkitnya di kemudian hari dan menggunakannya untuk tujuan tertentu. Klaim tagih-menagih kebaikan ini telah digambarkan John Grisham dalam novel A Time to Kill. Di halaman 408, terdapat dialog antara Lucien, seorang mantan pengacara, dengan Bass, seorang ahli psikiater:

Lucien   : Kau mengatakan akan membantuku. Tuhan tahu kau berutang budi padakuBerapa perceraian yang kutangani untukmu?

Bass       : Tiga. Dan tiap kali aku diperas habis

Lucien    : Berapa banyak klien, atau pasien, yang pernah kukirimkan kepadamu selama bertahun-tahun?

Dialog di atas jelas sebuah tuntutan untuk membalas budi. Lucien memaparkan kebaikan dia untuk mendapatkan balas budi si Bass. Kebaikan yang diungkit oleh diri sendiri semacam itu menurut saya telah melunturkan esensi kebaikannya. Rasanya tidak pantas kalau kita menagih balas budi secara terang-terangan, seolah kita mengharap pamrih. Jika kalian pernah melakukannya, silahkan kalian renungkan sendiri, apakah balas budi yang nantinya didapat berlandaskan keikhlasan, atau sebuah keterpaksaan?

Mendapat bantuan dari orang lain yang dilandasi keterpaksaan sama saja bohong. Jika saya dalam posisi seperti itu, akan saya tolak. Jauh lebih bermakna saat mendapatkan kebaikan yang dilandasi keikhlasan. Lalu, kapan kebaikan tulus itu akan kita dapatkan? Kapan saat yang tepat mengetahui orang lain akan memberi sesuatu dengan tulus? 

Well, mengapa harus menunggu? Mengapa tidak kita sendiri yang menciptakannya? 

Mari, tidak usah menunggu orang lain memberikan kebaikan dengan tulus. Jadilah malaikat kecil untuk orang lain. Berikanlah bantuan sebisa yang kita lakukan, meski hanya seulas senyum sekalipun. Ikhlaslah dalam melakukannya, dan rasakan manfaatnya. Ikhlas membawa dampak baik bagi tubuh dan pikiran. Dunia boleh carut-marut, namun berilah harapan kepada orang lain bahwa masih ada kebaikan tulus di dunia ini, dan kita sendiri yang menciptakannya. Diri kita sendiri. Pasti ada alasannya kenapa Allah SWT menyuruh kita untuk tolong-menolong satu sama lain, ya kan?

Bangkit dan tebarlah kebaikan, tidak hanya kepada orang yang telah berjasa kepada kita, tapi kepada semua orang.

-Bayu-



Note: Cukup putar musik Regina Spektor dan seketika mood menjadi bagus. Diambil dari album What We Saw From The Cheap Seats, lagu "Don't Leave Me (Ne Me Quitte Pas)" menemani saya dalam menulis artikel ini. Entah harus mengkategorikan lagu ini dalam genre pop, folk atau alternative, tapi yang pasti musik Regina Spektor jelas mengagumkan. Di lagu yang super indah ini, Regina dengan ceria membawa pendengar menyusuri kota New York dan berakhir di Paris. Beautiful song
Image source: rollingstone.com
READ MORE - Membalas Jasa Seseorang
 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.