Hadiah Itu Bernama "Waktu"

Image source: abstract.desktopnexus.com
The greatest give you can give someone is your time, because when you give your time, you are giving a portion of your life that you will never get back.

Kalimat itu saya dapatkan dari internet, saat sedang mencari-cari kutipan menarik untuk diletakkan di salah satu postingan blog. Saya terdiam sejenak saat membacanya. Otak saya langsung menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia menjadi: "Hadiah terbesar yang bisa kau berikan ke seseorang adalah waktumu. Karena ketika kau memberikan waktumu, kau sedang memberikan bagian dari hidupmu yang tidak akan bisa kau peroleh lagi". Hm... interesting fact. Simple but meaningful.

Kutipan menarik itu terus saya simpan sampai suatu hari, ada momen spesial yang membuat saya memutuskan untuk mengeluarkannya kembali. Saya tertarik untuk mengupasnya lebih dalam. Ini kali keempat saya membahas mengenai waktu di blog, karena tema yang satu ini sangat menarik untuk dibahas.


Baca juga: Dimensi Waktu: Masa Lalu, Masa Sekarang, dan Masa Depan

Kita hidup dalam himpitan waktu selama dua puluh empat jam setiap harinya, berkutat dengan segudang kegiatan yang menguras pikiran, fisik dan emosi. Menarik untuk digarisbawahi bahwa setiap detik waktu yang kita habiskan, sama saja dengan setiap detik semakin dekat menuju waktu... kematian kita. Oke, saya tidak akan mendramatisirnya. Hanya ingin mengingatkan, bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Untuk itu, dibutuhkan perencanaan yang matang mengenai waktu yang kita miliki. 

Lalu, sudahkah kita merencanakannya dengan matang? Jujur, saya sendiri belum bisa melakukannya. Masih banyak pencapaian yang belum saya raih, masih banyak waktu yang saya sia-siakan, dan masih banyak pula waktu yang saya sendiri bingung bagaimana memanfaatkannya. Menjadi dewasa tidak berarti kita bisa matang memikirkan waktu, karena manusia tetap terbelah dalam dua kubu besar: mereka yang bisa memanfaatkan waktu dengan baik, dan mereka yang tidak.

"Yesterday is the past, tomorrow is the future, but today is a gift. That's why it's called the present" -- Bill Keane 

Allah SWT memberi jumlah waktu yang sama kepada manusia setiap harinya, antar individu tidak ada yang berbeda hingga ke detiknya sekalipun. Semua sama. Bedanya, apakah kita bisa memanfaatkannya dengan baik atau tidak. Waktu menjadi berkah yang tidak kita sadari. Itu adalah anugerah yang diberikan Allah SWT kepada kita. Sebuah nikmat, atau dengan kata lain... sebuah hadiah. Tentu kita terus menginginkan hadiah itu, bukan? Kita tetap menginginkan bangun keesokan harinya, demikian seterusnya. 

Jika demikian adanya, apakah kita sudah bersyukur akan karunia ini? Pasti ada alasannya sampai detik ini Allah SWT masih menginginkan kita berada di dunia.

"No matter how busy you are, you must take time to make the other person feel important" -- Mary Kay Ash

Waktu yang berlalu, tidak akan bisa kembali. Yang dapat kita lakukan dengan waktu adalah merencanakan penggunaannya sebaik mungkin, dan menjadikan "saat ini" diisi dengan kegiatan yang bermakna, agar bermanfaat dan dapat dikenang. Dengan sempitnya waktu yang kita miliki, apakah kita rela memberikannya kepada orang lain? Bukan secara harfiah "memberikan", namun lebih kepada "menghabiskan waktu bersama orang lain di saat kita bisa melakukan aktivitas lain".

Baca juga: Setiap Saat Adalah Istimewa

Apakah kita rela saat menunggu orang yang sakit demi kesembuhannya, sementara kita harus mengejar transaksi bisnis? Apakah kita rela menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta, saat kita masih dikejar tuntutan pekerjaan? Apakah kita mau merelakan waktu untuk menghibur teman yang berduka/sedih? Apakah kita mau merelakan waktu untuk sekedar berbincang dengan orang lain?

Begitulah. Selalu ada pertentangan dengan waktu. Kita memiliki aktivitas terjadwal, dan butuh penyesuaian saat dihadapkan dengan konflik kepentingan: haruskah kita meluangkan waktu untuk orang lain? Apakah orang lain juga rela memberikan waktunya untuk kita? Tidak, jangan berpikiran seperti itu. Manusia butuh bersosialisasi, dan menghabiskan waktu bersama dengan orang lain adalah sebuah kebutuhan tak terelakkan. 

"Time is a created thing. To say "I don't have time" is to say "I don't want to" -- Lao Tzu

Kembali ke kutipan di awal. Hadiah terbesar yang bisa kita berikan ke seseorang adalah waktu, karena bagaimanapun juga, ada konsekuensi yang timbul saat melakukannya: kita kehilangan waktu yang seharusnya bisa kita gunakan untuk hal-hal lain. Tapi, kita jarang memikirkan hal itu, bukan? Bagus, karena jika kita memikirkannya, terasa aneh. Malah sebaiknya tidak usah dipikirkan. Tidak ada ruginya menghabiskan waktu bersama orang lain, sepanjang kita berniat baik. Mereka tentu senang jika kita dapat hadir menemani, hadir memberi penghiburan, hadir memberi semangat, atau sekedar hadir untuk bertukar pikiran.

Memang, ada kalanya kita akan terperangkap dalam tuntutan ini itu sehingga sulit meluangkan waktu untuk sekedar berbincang dengan orang lain (saya pun terkadang demikian), tapi sadarilah, bahwa tanpa interaksi dengan orang lain, hidup akan terasa hampa. Hidup akan jauh lebih terasa menyenangkan saat kita memiliki quality time bersama orang lain. Bukan masalah banyak atau tidak waktu yang kita luangkan, tapi lebih kepada kualitasnya. 

Mari luangkan waktu bersama orang tercinta, bersama keluarga, bersama sahabat atau teman. Buat janji temu dengan orang yang sudah lama tidak kita jumpai, dan kita akan menemukan hal-hal tidak terduga sepanjang pertemuan, hal-hal baik yang selama ini tidak kita sadari keberadaannya. Saat orang lain membutuhkan keberadaan kita untuk menghiburnya disaat dia terpuruk, jangan ragu untuk melakukannya. Siapa tahu "waktu" yang kita luangkan untuk mereka justru menjadi momen terindah yang bisa mereka kenang. Momen dimana mereka sadar bahwa mereka masih memiliki kita sebagai orang yang bisa meluangkan waktu. Momen yang dengan ikhlas kita berikan, dan dengan demikian kita menjadi pribadi yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Bukankah itu terdengar menyenangkan?

Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari hanya karena tidak dapat meluangkan waktu untuk orang lain, hanya karena kita tidak dapat berjumpa dengan seseorang yang sangat membutuhkan kehadiran kita. Jangan sampai kita menyesal bahwa di saat kita sedang berkutat dengan aktivitas super sibuk, di saat itu pula orang yang kita sayangi meregang nyawa, dan kita belum sempat bertemu terakhir kali dengannya.

Hmh...

Ingat, setiap detik yang berlalu, tidak akan pernah bisa kembali. Semoga kita semua dapat menjadi pribadi yang bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Bukan hanya waktu untuk diri sendiri, namun juga waktu untuk orang lain. Mari berikan waktu yang kita miliki untuk sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, yaitu waktu yang akan dikenang oleh mereka sebagai waktu berkualitas, dan dengan demikian kita telah memberikan kepastian kepada mereka bahwa kita adalah orang yang dapat diandalkan untuk berbagi waktu bersama.

-Bayu-


Note: Lagu-lagu The S.I.G.I.T selalu sukses menjadi mood booster, khususnya dalam album "Visible Idea of Perfection". Band lokal yang satu ini memang patut membanggakan Indonesia di kancah internasional. Lagu mereka yang berjudul "All The Time" saya putar terus-menerus sepanjang proses menulis. 


Image source: en.wikipedia.org








READ MORE - Hadiah Itu Bernama "Waktu"

Kenapa Enggan Mengakui Keunggulan Orang Lain?

Image source: pinterest.com
"Honesty is the first chapter in the book of wisdom" -- Thomas Jefferson

Apakah kalian pernah merasa iri dengan pencapaian orang lain?

Jika iya, maka kalian sama dengan saya. Iri sudah ada dalam kamus saya sejak kecil, mengingat saya dididik oleh kurikulum yang seolah mengajarkan bahwa siapa terpintar, dialah yang menguasai hampir semua bidang. Mayoritas guru saya selalu mengagung-agungkan siswa yang memiliki peringkat satu dan mereka akan mengatakan sesuatu seperti, "Coba kalian contoh si A, dia pintar, bla bla bla..." Lambat laun apresiasi khusus kepada yang pintar terpatri dalam benak dan menjadikan saya kerap memandang iri pencapaian orang lain.

Mungkin akan lain ceritanya jika mereka mengatakan, "Kalian semua bisa seperti si A. Kalian adalah kumpulan siswa pintar. Mari berprestasi lebih baik." Saya percaya masih ada guru baik di luar sana yang akan berkata demikian ke murid-muridnya, bukannya memojokkan yang tidak pintar dan menganak emaskan yang berprestasi.

Apakah rasa iri ini wajar? Saya kira iya, dan saya yakin semua orang pernah merasakannya, meskipun kadarnya berbeda-beda. Ada yang bisa meminimalisir rasa iri hingga menjadi tidak iri sama sekali, atau sebaliknya, justru tidak dapat mengontrol rasa iri yang timbul, sehingga pembawaannya selalu saja kesal.

Jika rasa iri sudah bercokol dalam diri, bisa dipastikan kita akan sulit memandang baik pencapaian orang lain. Bukannya mengapresiasi mereka, justru kita malah sibuk mencari kelemahannya, seolah keunggulan mereka bukanlah sesuatu yang patut dibicarakan. Pikiran kita sudah terkontaminasi dengan negative thinking, dan jika terus dibiarkan, bisa dipastikan akan menggerogoti nurani. Artinya, kita tidak bisa ikhlas mengakui keunggulan orang lain dan malah mencela mereka sebisa mungkin.

"Be honest to those who are honest, and be also honest to those who are not honest" -- Lao Tzu

Saya memiliki kisah tersendiri terkait ini. Sewaktu kuliah, saya dan teman sekelas pernah diminta untuk membentuk kelompok presentasi dengan materi yang sudah ditetapkan oleh dosen. Di akhir setiap presentasi, kami semua diminta untuk memberi skor pada setiap kelompok. Kelompok terbaik adalah yang mendapatkan skor paling tinggi, yang mana itu berarti seluruh mahasiswa mendukung mereka.

Presentasi berjalan dengan gegap gempita. Setiap kelompok berusaha menampilkan yang terbaik, termasuk kelompok saya. Selama berminggu-minggu kami mempersiapkan semuanya dengan matang hingga hari H. Saat tampil di depan, kelompok saya menampilkan materi dengan penuh percaya diri. Ada lima kelompok saat itu, dengan rata-rata anggota enam orang. Anggap saja kelompok saya bernama kelompok A. Kelompok saya bersaing ketat dengan kelompok B. Kami berdua menampilkan materi yang sesuai dengan kemauan dosen, dan beliau mengatakan bahwa kami berdua adalah pesaing terkuat, dan hasil akhir akan diputuskan oleh suara terbanyak.

Dosen saya kemudian mempublikasikan kertas penilaian, demi transparansi hasil. Betapa terkejutnya kelompok saya saat mengetahui bahwa seluruh anggota kelompok B (pesaing) memberikan nilai rata-rata di bawah lima (skala satu sampai sepuluh) pada kelompok kami, sementara kelompok lain rata-rata memberi nilai sempurna pada kelompok kami. Lho kok? Padahal kelompok saya memberikan nilai baik pada kelompok B lho. Kami semua di kelompok A mencoba menilai dengan jujur. Kami mengakui kelompok B tampil dengan baik, sehingga mereka layak diberi nilai baik.

Saya tidak meminta balas budi nilai. Saya hanya ingin berkompetisi dengan sehat. Well, bisa saja sih kami tidak tampil sempurna dan buruk, namun kenapa kelompok lain menyatakan sebaliknya? Dosen pun menyatakan kami tampil dengan baik. Lantas, kenapa kelompok B berbeda, memberi nilai buruk? Apakah mereka berambisi menjadi kelompok terbaik sehingga berusaha menjegal? Apakah mereka iri? Saat itu saya hanya dapat memendam kesal dan tanda tanya. Meskipun hasilnya tetap menyatakan kelompok kami yang menang (alhamdulillah), saya mendapat sebuah pelajaran tersendiri terkait apresiasi akan keunggulan.

Baca juga: Apresiasi Itu Sangat Penting

"Appreciation is a wonderful thing: it makes what is excellent in others belong to us as well" -- Voltaire

Apresiasi terhadap keunggulan adalah sesuatu yang indah, dapat membangkitkan motivasi dan kepercayaan diri. Sayang, tidak semua apresiasi diberikan dengan tulus. Kisah terkait kelompok presentasi yang saya jelaskan di atas adalah satu dari sekian kisah yang saya miliki terkait iri hati. Seiring waktu, saya menemukan banyak kasus yang menunjukkan bahwa tidak semua orang menyukai keunggulan orang lain. Dalam dunia kerja, memiliki rekan yang iri pada kita lebih menakutkan ketimbang dimarahi atasan. Jika dimarahi atasan, kita masih dapat berbuat sesuatu untuk memperbaikinya. Lain halnya dengan rekan kerja yang iri. Mereka kerap tidak menampilkannya secara terang-terangan, namun dapat melakukan hal-hal buruk yang tidak kita duga. Karir justru dapat terancam oleh orang-orang yang merasa iri terhadap keberhasilan kita.

Saya sendiri pernah merasa iri akan rekan kerja yang hasil pekerjaannya sungguh brilian. Namun, setelah saya bekerja bersamanya secara lebih intens, saya menyadari bahwa memang benar dia adalah seseorang yang cekatan, cerdas dan memiliki visi kuat. Saya tidak ragu mengubah iri hati menjadi kagum. Saya pun mengambil banyak pelajaran dari dirinya. Saat itulah saya memarahi diri sendiri. Iri hati boleh saja, namun jadikan iri hati itu menjadi pemicu untuk menjadi lebih baik, bukan lantas menjatuhkan orang lain.

Oke, mungkin saja rekan kerja yang memiliki pencapaian bagus menampilkan karakter yang menyebalkan, sombong, bossy, dan sebagainya, tapi bukan berarti kita berhak mencela pencapaiannya.

Mengakui keunggulan orang lain memang tidak mudah. Sampai saat ini saya pun masih berusaha mencoba mengapresiasi dengan baik. Saya pernah membaca di suatu artikel bahwa kunci utama mengakui pencapaian orang lain adalah ikhlas dan berpikiran terbuka. Pikiran sempit hanya menghasilkan dengki, selalu melihat kejelekan orang lain, hasut-menghasut, kesal, dan stres. Tidak ikhlas juga menghasilkan banyak penyakit hati.

Sejak saat itu, saya selalu berusaha mengelola iri hati dengan baik. Saya enggan membiarkan iri hati berkembang menjadi dendam. Dalam kultur organisasi dimana iri hati dijadikan dasar menjatuhkan orang lain, bisa dipastikan organisasinya tidak akan berkembang menjadi sehat. Bersainglah dengan sehat. Fair play. Ya, iri hati memang kerap timbul saat melihat pencapaian orang lain, saya pun masih merasakannya, namun jangan beri makan iri hati dengan ego. Jangan mengagung-agungkan si iri. Dia akan senang menggerogoti pikiran jernih kita dan membuat kita selalu memandang remeh pencapaian orang lain, contohnya seperti ini:

1) "Jelas aja dia dipromosiin, orang dia anak kesayangannya si bos..."
2) "Sok banget sih dia kerjanya paling sempurna, selalu lembur. Palingan juga pencitraan..."
3) "Lihat aja mobil barunya. Jangan-jangan dia ngakalin duit kantor!"
4) "Kok dia bisa dapet bonus gede sih? Perasaan kerjanya juga ga becus!"
5) "Dasar penjilat atasan, selalu aja dapet proyek baru. Lihat aja, kalo dia minta tolong sama gua, ga bakal gua ladenin. Biarin aja dia kerja sendiri."

Astaghfirullah. Untuk kalian yang telah merasakan dunia kerja, pasti pernah menemukan beberapa kalimat di atas, atau setidaknya menyerupai. Untuk kalian yang belum merasakan dunia kerja, jangan khawatir. Tidak semua karyawan bermulut tajam kok. Budaya dalam setiap organisasi juga berbeda. Kitalah yang harus pintar memposisikan diri, apakah mengikuti arus negatif atau arus positif. Seorang karyawan yang profesional seharusnya mengikuti arus positif. 

"We always love those who admire us..." -- Francois de La Rochefoucauld

Berusahalah merubah rasa iri menjadi kagum. Apresiasi setiap keunggulan orang lain. Mereka bisa tampil lebih baik dari kita tentu ada usaha mencapainya. Oke, mungkin saja mereka melakukan hal-hal tidak etis dalam pencapaiannya, tapi jangan pernah pikiran negatif itu mengendap dalam pikiran. Tidak ada gunanya, justru akan menggerogoti nurani kita. 

Kenapa kita tidak suka melihat orang lain sukses? Apakah kita tidak ingin sukses juga seperti mereka? Jika iya, kenapa harus iri tanpa melakukan perbaikan diri? Kenapa berusaha menjatuhkan orang lain? 

Sama saja untuk dunia blog. Mungkin saja kita iri melihat blogger lain yang lebih sukses dengan pencapaian ini itu, namun bukan berarti kita harus meremehkannya. Justru kita mesti belajar banyak dari pencapaian dia, dan berusaha memperbaiki diri. Saya justru senang melihat tulisan blogger lain yang pemaparannya lancar dan menyenangkan untuk dibaca, membuat saya selalu tersenyum-senyum membayangkan bagaimana mereka melakukannya.

Pengakuan akan keunggulan orang lain harus datang dari hati. Dengan melakukannya, kita telah membiarkan pikiran terbuka atas segala kemungkinan, dan Insya Allah akhirnya menemukan resep jitu untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Now, the last question is: maukah kita mengakui keunggulan orang lain?

-Bayu-



Note: Isak tangis bahagia Meghan Trainor yang keluar saat dia menerima penghargaan Best New Artist di ajang Grammy tahun ini menjadi bukti bahwa dia tidak menyangka karirnya di kancah musik dapat berbuah manis sebuah piala Grammy. Saya juga tidak menyangka musiknya ternyata enak untuk didengar berulang-ulang. Lagunya yang berjudul "No" menemani saya saat menulis artikel ini. Jelas, Meghan Trainor adalah seorang musisi yang patut diperhitungkan dalam genre pop.
Image source: idolator.com

READ MORE - Kenapa Enggan Mengakui Keunggulan Orang Lain?

Privasi dalam Persepsi Pribadi

Image source: nitsak.com
"Privacy is something you can sell, but you can't buy it back" -- Bob Dylan

Pernahkah kalian mencoba mengetik nama kalian sendiri di internet? Bagaimana perasaan kalian saat melihat hasilnya?

Jujur, banyak pertanyaan berkecamuk dalam benak saya tatkala mencoba mengetik nama lengkap saya sendiri melalui mesin pencari populer sejagat. Hasilnya di luar dugaan. Bukan berarti banyak tautan yang tertampil (tidak, saya bukanlah seseorang yang terkenal), tapi kemunculan tautan tersebut yang membuat saya khawatir. Betapa internet menyimpan data tentang diri saya, and honestly... that scared the hell out of me.

Suara dalam benak berkata, "Bay, kalo mau privasi, ya ngga usah berinteraksi di internet. Gitu aja kok repot!" Saya merenungkan pemikiran tersebut dan menghela napas berat. Benar. Jika kita tidak ingin internet mengetahui kita, ya sebaiknya tidak meletakkan identitas kita di internet. Sekali memiliki akun media sosial yang memuat identitas pribadi, saat itu pulalah kita telah menjual "data diri" kita. Itu baru satu akun media sosial. Bagaimana jika kita memiliki lebih dari satu? Saya pun memiliki lebih dari satu, dan sering merasa tidak nyaman jika melihatnya terpampang di internet. Ah, saya memang aneh. Memiliki akun media sosial berisi data diri (yang jelas-jelas diletakkan di internet), tapi tidak mau identitasnya tersebar. Kenapa pula saya tidak menjadi anonim saja? Haha, saya yakin pemikiran ini absurd. Saya hanya dapat tertawa miris mengetahui fakta itu. Seperti kutipan Bob Dylan di atas, privasi adalah sesuatu yang bisa kita jual, tapi tidak bisa kita beli kembali.

Bukan berarti kita harus menutup diri dari dunia maya lho. Perkembangan zaman menuntut kita untuk berubah, salah satunya adalah berbaur menjadi masyarakat internet. Banyak manfaat positif yang kita dapat dari internet, hanya saja internet menyerap sesuatu yang membuat kita terlena. Internet berkembang menjadi media yang menyimpan privasi, celah yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang.

"All human beings have three lives: public, private, and secret" -- Gabriel Garcia Marquez

Saya membuat blog personal dengan motif untuk menyehatkan kondisi emosi saya yang dahulu sering naik turun tidak menentu. Saya kerap minder dan tidak tahu apa yang bisa dibanggakan dari diri sendiri. Saya berharap, dengan menulis, maka emosi saya menjadi lebih tertata. Seperti namanya, blog personal menyediakan semua yang dibutuhkan untuk kepentingan pribadi: sebuah media dimana kita dapat menyuarakan hal secara personal. Fungsinya sama seperti akun media sosial lain, namun sebuah blog lebih bersifat eksklusif, dan -- ini yang selalu saya tekankan -- lebih elegan. Jadi, sudah sewajarnya kan jika saya menggunakannya untuk menuangkan informasi pribadi, namun... saya tidak ingin melakukannya. Kenapa? Well, jawabannya sederhana: karena saya tidak terbiasa bercerita mengenai hal-hal pribadi kepada orang lain.

Baca juga: Bagaimana Jika Blog Kita Dibaca oleh Orang yang Dikenal?

Jujur, setiap kali membaca blog orang lain dan mendapati sebuah pengisahan pribadi di sana, saya selalu takjub. Serius. Para blogger tersebut dapat menceritakan pengalaman pribadi (curhatan) mereka dengan runut dan indah (bahkan kerap dibumbui humor segar), seperti membaca sebuah novel, dan saya tidak bisa melakukannya. Apakah curhat melalui blog itu salah? Tidak, jelas tidak. Itu hak kita untuk bercerita, sepanjang tidak mengandung SARA. Saya punya daftar pribadi berisikan blog-blog yang mana saya selalu senang membacanya (tidak perlu saya publikasikan disini). Mereka dapat mengolah curhatan dengan baik, dan saya tidak habis pikir bagaimana mereka bisa mengolah dan meramunya sedemikian rupa. Luar biasa. Jika saya menulis tentang hal-hal pribadi, saya yakin hasilnya akan kacau dan tidak jelas. Ah, blogger personal macam apa saya ini? Hehe.

"I value my privacy and my personal life" -- Scarlett Johansson

Setiap blogger memiliki persepsi masing-masing terkait privasi, dan saya menghargainya. Saya tidak menghakimi siapapun disini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya adalah tipe yang jarang bercerita mengenai hal-hal pribadi kepada orang lain. Jika ingin bercerita, saya akan mendatangi beberapa orang tertentu. Dalam rentang perjalanan hidup saya hingga kini, tercatat hanya segelintir orang (jumlahnya pun tidak lebih banyak dari jumlah jari tangan) yang membuat saya nyaman dan merasa terbuka untuk bercerita mengenai apapun. Faktor penentu jika saya sudah merasa nyaman dan percaya kepada seseorang adalah saat saya menceritakan mengenai kehidupan pribadi, pengalaman, jalan pemikiran, hobi, ide, karya serta visi saya ke depan. Itu semata-mata karena saya tahu mereka akan mendengarkan dan menilai saya dengan tulus. Saya akan merasa senang jika dapat bertukar pikiran dengan mereka, dan saya merasa beruntung kenal dengan mereka.

"...privacy makes things last longer, i feel" -- Brandy Norwood

Banyak yang menyatakan bahwa dalam era digital seperti sekarang, privasi sudah menjadi barang langka. Internet mengetahui siapa kita lebih dari yang kita bayangkan. Itu berarti setiap orang dapat mengetahui fakta diri kita tanpa bertemu langsung. Beberapa informasi dapat disalahartikan lho, tergantung persepsi setiap orang saat melihat atau membacanya. Bisa saja kita ingin bercerita mengenai sesuatu, namun orang lain mengartikannya secara berbeda, dan jadilah perang dunia maya, sebuah perang lisan dalam bentuk tulisan.

Maaf, sekali lagi saya tidak menghakimi siapapun disini. Jika kalian merasa nyaman bercerita mengenai apa pun di media sosial, itu hak kalian. Saya menghormatinya. Siapa lah saya jika harus menghakimi tindakan semua orang? Saya yakin pembaca blog ini sudah dewasa dan mampu memahami resiko dalam setiap tindakan yang diambil.

Hmh, itulah sekelumit pemikiran saya mengenai privasi. Saya jadi bertanya-tanya sendiri, apakah saya yang terlalu berlebihan dalam menanggapi isu ini, apakah jalan pemikiran saya aneh (saya kerap mendapat komentar seperti ini), apakah saya tipe pribadi yang tidak umum, apakah itu berarti saya terlalu tertutup dan tidak jujur, atau... apakah saya yang tidak cocok menjadi masyarakat internet (dunia dimana semua hal mampu disebarluaskan dalam hitungan sepersekian detik)?

Entahlah. Bagaimana menurut kalian?

-Bayu-


Note: Hasil memainkan playlist secara acak sebelum menulis adalah munculnya sebuah lagu bernuansa pop dengan sentuhan alternative rock milik Michelle Branch yang berjudul "All You Wanted". Lagu ini sukses memutar kembali kenangan akan masa remaja. Dengan lirik dan chorus yang memorable, Michelle Branch menyajikan sebuah musik pop berkarakter yang sanggup membuat saya memainkannya secara terus-menerus sepanjang proses menulis. 


Image source: en.wikipedia.org
READ MORE - Privasi dalam Persepsi Pribadi
 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.