![]() |
Image source: contractiq.com |
Saat kesempatan datang untuk mengurus blog, saya tertegun membaca beberapa comment dari postingan terakhir saya. Ada blogger yang datang ke blog saya sehabis membaca postingan di blognya Icha Hairunnisa, dan saya sungguh bahagia. Jemari ini langsung mempersiapkan diri untuk meluncur ke blognya Icha, dan mendapati bahwa saya sudah ketinggalan membaca beberapa postingan di sana (maaf Cha hehe :p). Ada postingan Icha (klik disini) yang sanggup membuat saya melakukan sesuatu untuk mengusir penat. Kalimat pembukanya sangat eye catching: "Ngedengarin lagu secara acak itu seru juga."
Benar juga ya. Sudah lama saya tidak mengaktifkan shuffle mode di media player saya. Akhirnya, saya pun membiarkan player mengambil alih susunan playlist secara acak. Saya tidak tahu lagu apa yang akan diputar selanjutnya, dan saat intro sebuah lagu yang sudah lama tidak saya dengarkan terputar, saya meresapi liriknya dan menjadi tergugah. Lagu dahsyat itu dipersembahkan oleh Alanis Morissette yang berjudul "Precious Illusions", diambil dari album Under Rug Swept, rilisan tahun 2002.
Inilah penggalan lirik dalam lagu Alanis yang membuat saya merenung:
But this won't work now the way it once did
And i won't keep it up even though i would love to
...
These precious illusions in my head
Did not let me down when i was defenseless
And parting with them is like parting with invisible best friends
Lagunya sendiri kurang lebih bercerita tentang konflik antara idealisme dan realitas, dimana romantisme indah yang dia bangun dalam benaknya sejak kecil, harus berhadapan dengan realitas yang terjadi saat dewasa. Ilusi berharga, itulah yang Alanis tekankan. Ilusi dalam benak Alanis tidak akan membiarkan dia terpuruk saat dirinya tidak berdaya. Berpisah dengan ilusi berharga tersebut sama saja berpisah dengan sahabat khayalan. Saat hubungan asmaranya berjalan tidak sesuai harapan, Alanis tidak menyerah dan memanfaatkan ilusi yang dia ciptakan untuk membantunya bangkit. Alanis tidak ingin menjadi korban dari keadaan.
Postingan Icha pun kebetulan membahas juga mengenai imajinasinya yang ternyata sangat luar biasa, dan saya tertarik mengembangkan apa yang saya tangkap dari lagunya Alanis yang menyinggung masalah produk pikiran. Sebelumnya saya sudah pernah membahas mengenai imajinasi di Imajinasi Bergerak Tanpa Batas, namun kali ini yang ingin saya ingin menekankan mengenai efek imajinasi untuk perubahan yang positif.
"Imagination is the golden-eyed monster that never sleeps. It must be fed, it cannot be ignored" -- Patricia A. McKillip
Saya jadi teringat sesuatu. Sejak kecil, saya adalah tipe yang gemar menciptakan dunia tersendiri dalam benak. Jika membaca sebuah cerita, baik itu dalam novel, cerpen, dan sebagainya, imajinasi saya akan bermain seliar-liarnya, mengembangkan jalan cerita yang bahkan mungkin tidak terpikirkan oleh penulisnya sendiri. Saya selalu membayangkan setiap detil tokoh yang saya baca, dan bagaimana jika dia benar-benar ada dalam dunia nyata. Bahkan, dulu saya kerap membuat ending cerita versi saya sendiri karena tidak puas dengan versi si penulis. Kini kebiasaan itu sudah menghilang, karena saya yakin imajinasi setiap orang berbeda, dan menikmati hasil imajinasi yang dituangkan orang lain lebih menyenangkan ketimbang membuat hasil tandingan.
Imajinasi tidak dapat diabaikan, justru jika kita dapat mengendalikannya dengan baik, akan menjadi sesuatu yang baik juga. Contohnya, kita mampu membuat sebuah cerita berdasarkan imajinasi yang ada dalam benak, atau dalam kasus Icha, dia kerap membuat postingan di blog yang ditulis dengan lancar, tak lupa menyisipkan imajinasinya. Bayangkan saja, jika imajinasi menghilang dari hidup kita, mungkin dunia ini tidak akan berjalan dengan baik, karena banyak sekali produk imajinasi yang ada di sekeliling kita, dan membantu kita menjalani hidup.
"Imagination is the only weapon in the war against reality" -- Lewis Carroll
Realitas kehidupan memang tidak selamanya indah, misal: pendidikan yang tidak kunjung kelar, pekerjaan yang sulit didapat, pasangan yang overprotektif, bos yang perfeksionis, teman yang kerap menjatuhkan reputasi kita, keinginan orang tua yang tidak sejalan dengan keinginan pribadi, kota yang bising dan macet, kondisi finansial yang carut marut, dan semacamnya. Apakah kita mau menjadi korban semua kondisi tersebut? Bangkit dan tegaskan pada diri masing-masing, bahwa kebahagiaan itu murni ada dalam pikiran kita sendiri. Jika kita menganggap detik ini indah, maka detik ini akan menjadi indah, sekaligus detik-detik berikutnya. Begitu pula sebaliknya. Kenapa kebahagiaan masa kecil yang kerap bermain dengan imajinasi harus terkikis saat menghadapi realitas hidup? Menjadi dewasa memang menuntut sebuah tanggung jawab, namun bukan berarti menghilangkan kebahagiaan yang sudah ditanam sejak kecil.
Saya kembali teringat film "Bridge to Terabithia", dimana sang tokoh utama bertemu dengan sosok baru dalam hidupnya, dan mereka berdua membuat sebuah dunia imajiner bernama Terabithia, yang berlokasi di hutan tidak jauh dari rumah mereka. Dari luar, mungkin tampak seperti hutan biasa, namun di benak mereka, hutan itu merupakan sebuah negeri dongeng, dimana mereka memasukkan banyak makhluk-makhluk aneh yang hanya mampu mereka bayangkan. Terabithia mampu mengusir problematika mereka, dan itu semua merupakan hasil yang didapat dari kekuatan imajinasi.
"You must give everything to make your life as beautiful as the dreams that dance in your imagination" -- Roman Payne
Sekarang, semua tergantung pilihan kita sendiri. Maukah kita melepaskan imajinasi dalam benak sebebas mungkin untuk membuat perubahan positif dalam hidup (atau setidaknya untuk melepas penat), atau justru membunuhnya perlahan? Hidup ini terlalu indah jika tidak diisi dengan imajinasi. Jika imajinasi itu disertai dengan aksi nyata untuk perubahan lebih baik, maka sempurnalah sudah tugas si imajinasi. Dia akan menari kegirangan jika produk olahannya justru membuat hidup kita menjadi lebih indah.
Orang lain atau sebuah keadaan boleh saja menekan fisik kita, tapi tidak akan ada yang mampu menekan pikiran kita hingga total (saya tidak ingin menyangkut-pautkan dengan "cuci otak" disini). Jadi, jika bukan kita yang merawat pikiran ini dengan baik, masihkah kita berharap keadaan akan mengikuti apa yang kita inginkan? Justru dalam keadaan seburuk apapun, pikiran positif kitalah yang seharusnya menjadi penyelamat.
Untuk Icha, thanks ya atas idenya. :D
-Bayu-
Note: Mendengarkan koleksi lagu lama memang bisa mengembalikan memori akan sebuah kenangan, dan lagu-lagu Alanis Morissette berhasil melakukannya. Mendengarkan "Precious Illusions" sangat memanjakan kuping. Lagu ini saya putar sepanjang proses menulis untuk membantu merangkai seluruh kalimat dalam postingan ini."Imagination is the only weapon in the war against reality" -- Lewis Carroll
Realitas kehidupan memang tidak selamanya indah, misal: pendidikan yang tidak kunjung kelar, pekerjaan yang sulit didapat, pasangan yang overprotektif, bos yang perfeksionis, teman yang kerap menjatuhkan reputasi kita, keinginan orang tua yang tidak sejalan dengan keinginan pribadi, kota yang bising dan macet, kondisi finansial yang carut marut, dan semacamnya. Apakah kita mau menjadi korban semua kondisi tersebut? Bangkit dan tegaskan pada diri masing-masing, bahwa kebahagiaan itu murni ada dalam pikiran kita sendiri. Jika kita menganggap detik ini indah, maka detik ini akan menjadi indah, sekaligus detik-detik berikutnya. Begitu pula sebaliknya. Kenapa kebahagiaan masa kecil yang kerap bermain dengan imajinasi harus terkikis saat menghadapi realitas hidup? Menjadi dewasa memang menuntut sebuah tanggung jawab, namun bukan berarti menghilangkan kebahagiaan yang sudah ditanam sejak kecil.
Saya kembali teringat film "Bridge to Terabithia", dimana sang tokoh utama bertemu dengan sosok baru dalam hidupnya, dan mereka berdua membuat sebuah dunia imajiner bernama Terabithia, yang berlokasi di hutan tidak jauh dari rumah mereka. Dari luar, mungkin tampak seperti hutan biasa, namun di benak mereka, hutan itu merupakan sebuah negeri dongeng, dimana mereka memasukkan banyak makhluk-makhluk aneh yang hanya mampu mereka bayangkan. Terabithia mampu mengusir problematika mereka, dan itu semua merupakan hasil yang didapat dari kekuatan imajinasi.
"You must give everything to make your life as beautiful as the dreams that dance in your imagination" -- Roman Payne
Sekarang, semua tergantung pilihan kita sendiri. Maukah kita melepaskan imajinasi dalam benak sebebas mungkin untuk membuat perubahan positif dalam hidup (atau setidaknya untuk melepas penat), atau justru membunuhnya perlahan? Hidup ini terlalu indah jika tidak diisi dengan imajinasi. Jika imajinasi itu disertai dengan aksi nyata untuk perubahan lebih baik, maka sempurnalah sudah tugas si imajinasi. Dia akan menari kegirangan jika produk olahannya justru membuat hidup kita menjadi lebih indah.
Orang lain atau sebuah keadaan boleh saja menekan fisik kita, tapi tidak akan ada yang mampu menekan pikiran kita hingga total (saya tidak ingin menyangkut-pautkan dengan "cuci otak" disini). Jadi, jika bukan kita yang merawat pikiran ini dengan baik, masihkah kita berharap keadaan akan mengikuti apa yang kita inginkan? Justru dalam keadaan seburuk apapun, pikiran positif kitalah yang seharusnya menjadi penyelamat.
Untuk Icha, thanks ya atas idenya. :D
-Bayu-
![]() |
Image source: en.wikipedia.org |