Kekuatan Sebuah Tekad Untuk Pembuktian Diri

image source: sporthotelideal.at
"The secret of genius is to carry the spirit of the child into old age, which means never losing your enthusiasm" -- Aldous Huxley

Salah satu genre favorit saya untuk kategori film adalah animasi, baik itu 2D maupun 3D, khususnya produksi Walt Disney Animation Studios (sebut saja Disney), atau saat Disney bekerjasama dengan Pixar Animation Studios. Film animasi keluaran rumah produksi tersebut biasanya menyajikan cerita yang tidak hanya sekedar menampilkan gambar indah animasi, melainkan memiliki roh berupa kekuatan naskah (saya jadi tertarik membahas mengenai hal ini khusus di sebuah artikel tersendiri).

Di artikel ini, saya akan mencoba membahas makna film animasi terbaru keluaran Disney, berjudul Moana. Terinspirasi dari sejarah klasik Kepulauan Pasifik kuno, Disney menyajikan kisah Moana, seorang gadis keturunan kepala suku di Motunui, yang tergerak untuk menyelamatkan desanya, saat desa tersebut dirundung gagal panen. Berbekal keping jantung dewi kepulauan bernama Te Fiti, Moana tertantang berkelana mencari Maui, manusia setengah dewa, satu-satunya harapan tersisa. Moana bertekad meminta Maui untuk mengembalikan keping jantung tersebut ke Te Fiti, agar kondisi menjadi stabil. Bisakah dia melakukannya?

Sepanjang film, kita akan disuguhkan kegigihan Moana untuk menjalankan misi tersebut, sebuah misi yang tampaknya mustahil dilaksanakan, mengingat Moana masih remaja, dan dirinya belum paham mengenai ganasnya laut lepas. Well, seperti layaknya animasi Disney lain, tak ada kata mustahil selama kita memiliki tekad kuat untuk melaksanakannya. Inilah yang ingin saya bahas.
Salah satu poster film Moana
image source: teaser-trailer.com
Pilihan untuk menonton film ini sungguh tepat, karena lagi-lagi saya dibuat terpana oleh kekuatan naskah film animasi produksi Disney. Film ini mampu memberi pesan tanpa terlihat menggurui. Penonton dibawa mengikuti petualangan Moana mengarungi samudera luas dan tanpa sadar diperlihatkan pesan terselubung: kekuatan tekad untuk pembuktian diri. Sebagai remaja, Moana tentu ingin mencoba sesuatu yang berbeda, namun selalu terbentur tekanan sang Ayah. Di tengah kebimbangan mengikuti kata hati dan melakukan hal yang benar demi kesejahteraan bersama, Moana bersikukuh membuktikan dirinya mampu.

"A dream doesn't become reality through magic, it takes sweat, determination and hard work" -- Colin Powell

Kutipan Colin Powell di atas benar adanya. Sebuah mimpi tidak akan menjadi nyata melalui keajaiban semata, namun membutuhkan keringat, tekad dan kerja keras. Moana sadar dirinya tidak mahir berlayar, namun dia mau belajar. Moana sadar misinya terdengar mustahil, namun dia tetap yakin dan membulatkan tekad. Semangat membara tersebut terus dipupuknya. Biarlah orang lain mencibir tindakannya, yang pasti Moana tetap yakin pada kemampuan diri sendiri.

"Don't be disabled in spirit as well as physically" -- Stephen Hawking

Fisik kita boleh saja tidak sempurna, namun jangan sampai semangat kita lemah, kurang lebih itulah yang coba diutarakan Stephen Hawking melalui kutipan di atas. Kita tahu Stephen Hawking adalah ilmuwan fisika teoritis yang populer, telah menelurkan teori penting dalam bidang fisika kuantum. Penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS) yang menyerang Stephen membuatnya lumpuh total. Hebatnya, otak Stephen masih mampu melahirkan banyak gagasan cemerlang. Stephen Hawking telah membuktikan bahwa tekad kuat mengalahkan keterbatasan fisik. 

Sekarang, coba tengok diri kita sendiri. Sudahkah kita memaksimalkan potensi diri yang diberikan Tuhan? Apakah kita masih memiliki mimpi? Mimpi yang benar-benar akan membuktikan siapa diri kita sebenarnya? Coba dipikirkan kembali. Kalian tentu pernah bermimpi akan suatu hal. Katakanlah kalian bermimpi menjadi pengusaha sukses, lalu sudah sampai mana semangat mengejarnya? Saya beri contoh lain. Misalkan kalian bermimpi menjadi penulis. Apakah tekad kalian bulat untuk mewujudkannya? 

Ah, untuk apa bermimpi muluk-muluk. Setelah satu dua percobaan, ternyata hasilnya gagal, lalu dengan mudahnya kita berhenti mengejar mimpi. Terdengar familiar? Bagi saya iya, karena memang kalimat tersebut menampar diri pribadi haha. Saya ingin menjadi penulis, namun sampai saat ini saya tidak berusaha mewujudkannya sepenuh hati, alias setengah-setengah. Oh, jangan paksa saya membeberkan mimpi lainnya, mimpi yang bahkan saya sendiri bingung mengapa terlintas dalam benak.

Hm... jika dipikir-pikir lagi, kenapa pula harus saya kubur mimpi tersebut? Justru orang-orang yang "besar" menjadi diri mereka sekarang berkat kegigihan mengejar mimpi, bukan? Jika kita tidak memiliki mimpi sama sekali, lalu apa esensi menjalani hidup? Apakah menjadi dewasa berarti kita harus mengubur mimpi semasa kecil? Jangan-jangan, mimpi yang kita kubur tersebut justru akan membuktikan kepada orang lain, siapa sesungguhnya kita. 

"Never go backward. Attempt, and do it with all your might. Determination is power" -- Charles Simmons

Saat credit title bergulir setelah film Moana selesai dan sebagian besar penonton di dalam bioskop tertawa, tersenyum atau sibuk dengan urusan masing-masing, saya malah terpaku sejenak di kursi, termenung. Ada yang mengatakan kalau esensi menonton film bagi setiap orang akan berbeda, tergantung persepsi dan motivasi menonton. Entahlah bagaimana tanggapan orang lain, tapi bagi saya, apa yang baru saja disaksikan di layar bioksop adalah sebuah pelajaran mengenai semangat mengejar tujuan. Kekuatan sebuah tekad untuk pembuktian diri.

Beberapa gumam beragam yang saya dengar dari penonton lain adalah, "Filmnya bagus"; "Ih, ternyata biasa aja ya"; "Keren ya filmnya" atau "Gua ketiduran di tengah-tengah film tadi". Well, selalu ada pro dan kontra. Biarlah orang lain menganggap film ini sesuai persepsi mereka, namun bagi saya pribadi, Moana adalah sebuah film animasi dengan naskah bagus dan hikmah baik. Bahkan, sampai saat ini, saya masih tersenyum membayangkan pengalaman menonton yang saya dapatkan. Amazing experience.

Now, after you read this article, i want to ask one question: Maukah kita berusaha untuk mengejar mimpi? 

-Bayu-



Note: Soundtrack Moana selain berisikan musik-musik pop Disney, juga menyisipkan beberapa sentuhan musik khas Oceania ke dalamnya, yang penuh semangat dan ceria. Sebuah lagu berjudul "Logo Te Pate" yang dibawakan oleh Olivia Foa'i, Opetaia Foa'i dan Talaga Steve Sale membuktikannya. Lagu ini khusus saya putar terus-menerus sepanjang proses menulis artikel. Hebatnya, lagu ini membawa imajinasi saya mengembara ke adegan dalam film Moana. What a lovely song.
image source: amazon.com
READ MORE - Kekuatan Sebuah Tekad Untuk Pembuktian Diri

Pesona Diri Kita Apa Adanya

image source: theodysseyonline.com
"To love yourself right now, just as you are, is to give yourself heaven" -- Alan Cohen

Sore ini saat sedang bersantai di rumah, saya memutuskan untuk menonton ulang film animasi "Shrek" dan "Shrek 2" berturut-turut. Entah kapan terakhir kalinya saya menonton kedua film itu. Efeknya sungguh luar biasa. Saya tertawa, tersenyum dan dibuat terkesima oleh penceritaannya yang brilian. Film Shrek yang pertama menang di kategori "Best Animated Feature" pada ajang Academy Awards (Oscar) 2002, dan dinominasikan dalam kategori naskah adaptasi terbaik. Film keduanya "hanya" dinominasikan dalam kategori "Best Animated Feature Film of The Year" dan lagu original terbaik untuk single "Accidentally In Love" yang dibawakan oleh Counting Crows (Ah, saya masih ingat bagaimana penampilan band tersebut di panggung Oscar saat itu!).

Disadur dari cerita bergambar karangan William Steig produksi tahun 1990, Shrek memberi sentuhan baru pada dunia animasi Hollywood, dan hebatnya, mampu mengalahkan animasi Disney "Monsters, Inc." di ajang Oscar. Awalnya saya tidak tertarik menonton, mengingat karakternya "tidak terlalu menjual", namun jangan pernah menilai dari penampilan luar, bukan? Keputusan menonton Shrek dan mengikuti sekuelnya adalah keputusan tepat.
image source: playbuzz.com
Karakter film "Shrek 2", dari kiri ke kanan: Donkey, Puss in Boots, Shrek dan Putri Fiona
Who the hell is Shrek? Seperti kalian lihat di atas, Shrek adalah seorang ogre, seorang monster yang dijauhi penduduk. Merasa terusik dengan kehadiran banyak tokoh dongeng terbuang yang mendiami tempat tinggalnya, Shrek terpaksa membuat kesepakatan dengan Lord Farquaad, seorang pangeran yang ingin menjadi raja. Shrek harus membebaskan Putri Fiona di kastil terpencil (yang dijaga oleh seekor naga ganas) untuk kemudian diserahkan kepada Lord Farquaad, jika ingin tempat tinggalnya kembali tenang. Dibantu oleh Donkey, seekor keledai yang tak pernah berhenti mengoceh, Shrek pun melaksanakan misi pembebasan sang tuan putri. As simple as that.

Jelas saja naskah Shrek dinominasikan masuk Oscar, karena memang jalinan kisahnya brilian. Menambal sulam beberapa kisah dongeng dan budaya populer adalah kekuatan film ini. Seluruh karakternya terbangun dengan rapi, begitu pula alurnya. Pada akhirnya, penonton akan disuguhi sebuah pesan tersirat: terimalah keadaan diri kita apa adanya, tidak perlu merasa rendah diri.

"Accept youself, love yourself, and keep moving forward" -- Roy T. Bennett

Seperti yang kita ketahui, Tuhan telah memberi anugerah fisik kepada setiap manusia secara berbeda, dan kita harus menerimanya dengan lapang dada. Ya sudah, memang beginilah kondisi fisik kita apa adanya. Accept yourself. Love yourself. Lagipula, apalah gunanya fisik sempurna jika ternyata hatinya jahat, atau tingkah lakunya menyebalkan, bukan? Kurang lebih begitulah intisari film Shrek dan Shrek 2. Semua itu dibalut dalam sebuah animasi komedi yang fantastis.

Sayangnya, tidak semua orang berpandangan demikian. Namanya juga manusia. Adakalanya saat diberi anugerah, malah lupa diri. Fisik yang sempurna dimanfaatkan untuk hal-hal tidak baik, dimanfaatkan demi kepentingan diri sendiri. Sempurna dan tidak sempurna, itulah dua kutub ujian bagi setiap manusia. Well, kriteria "kesempurnaan fisik" pun sebenarnya adalah produk pikiran manusia itu sendiri. Kita sudah tercuci otak bahwa kondisi fisik yang sempurna berdasarkan tinggi badan, berat badan, raut wajah, warna kulit, warna rambut dan sebagainya. Media memperlakukan kriteria tersebut dengan kekejaman luar biasa, membuat semua orang yang tidak masuk "kriteria fisik sempurna", bukanlah manusia idaman, sehingga berujung pada rendah diri.

"When you love yourself, people can kind of pick up on that: they can see confidence, they can see self-esteem..." -- Lilly Singh

Kondisi rendah diri ini banyak dialami oleh mereka yang kerap termakan omongan media dan kerap membandingkan satu sama lain, dimana mereka akan menganggap kondisi fisik sempurna adalah sumber kebahagiaan hidup. Really? Mungkin dalam beberapa kasus benar, tapi bisa jadi itu hanya kebahagiaan sesaat. Lagipula, jika kita melihat kebahagiaan dalam diri seseorang yang terlahir dengan fisik sempurna, sebenarnya kita hanya melihat dari satu sisi, yakni sisi kita sendiri. Kita belum melihat secara dalam dari sisi orang tersebut. Siapa tahu dia tersiksa secara emosi, atau hal lain. Ingat, selalu ada dua sisi dalam mata uang, dan kedua sisi bisa menampilkan kondisi berbeda.

Jadi, jangan lantas merasa rendah diri begitu melihat orang lain tampak sempurna. Jangan pula lantas mengikuti tuntutan kesempurnaan itu sendiri. Oke, jika melakukan olahraga untuk menjaga bentuk tubuh sehat, itu bisa ditoleransi. Yang salah adalah terobsesi untuk menjaga bentuk tubuh sempurna terus-menerus. Melakukan diet mati-matian dan mengabaikan kesehatan, itu bukanlah keputusan tepat. Mengubah warna kulit? Melakukan operasi plastik untuk bagian tubuh tertentu? What actually are they thinking?

"You have to love yourself or you'll never be able to accepts compliments from anyone" -- Dean Wareham

Hm, sesungguhnya sangat sulit untuk campur tangan dalam masalah yang sudah berurat akar ini. Siapalah saya berani menceramahi kalian mengenai kondisi fisik dan sebagainya? Haha. Saya sendiri bukan sosok sempurna kok, tapi setidaknya saya tidak akan membiarkan diri ini terjebak dalam kecemasan tuntutan kondisi fisik secara berlebihan. Saya seringkali dikritik mengenai badan yang kurus, tapi ya sudahlah. Saya adalah diri saya, dengan kondisi fisik seperti ini. Well, setidaknya saya masih ingat untuk menjaga kesehatan. Saya juga tahu rasanya dikritik mengenai kondisi fisik, sehingga sebisa mungkin saya akan menjaga lisan ini untuk tidak menghina kondisi fisik seseorang.

Merubah mindset orang lain untuk tidak berpikir macam-macam mengenai kondisi fisik seseorang bukanlah pekerjaan mudah. Setiap orang memiliki pandangan tersendiri, tergantung asupan informasi apa yang mereka peroleh. Bagi kalian yang membaca artikel ini, saya berharap kalian tahu bahwa menghina kondisi fisik seseorang bukanlah tindakan baik. Sama sekali tidak baik. 

Pada akhirnya, yang harus kita lakukan adalah menerima dengan ikhlas kondisi fisik kita, apa adanya. Mata kita sipit sementara mata orang lain lebar? Lalu kenapa? Kulit kita berwarna gelap sementara orang lain berkulit putih cerah? Lalu kenapa? Memangnya ada yang akan memberi denda untuk warna kulit? You know what, sebenarnya ketakutan kita adalah masalah penerimaan. Kita takut orang lain menganggap kita buruk rupa, kita takut melihat sorot belas kasihan atau sindiran di mata mereka. 

Hei, biarlah mereka berpikir apa yang mereka ingin pikir. Biarlah mereka menghakimi apa yang mereka ingin hakimi. Semakin kita tersudut, semakin "kerdil" diri kita jadinya. Justru dengan tersenyum, bangkit dan berjalan dengan penuh percaya diri, saat itulah orang lain bisa menganggap bahwa kita tidak terbebani dengan masalah kondisi fisik. Tampilkan pesona kita apa adanya, dengan kebaikan hati dan self confidenceKita cenderung menaruh penghormatan kepada sosok yang baik hati dan penuh percaya diri, bukan?

Tidak perlu pusing merubah mindset orang lain. Semua bisa dimulai dari diri sendiri.

-Bayu-


Note: Biasanya saya mendengarkan satu lagu berulang-ulang saat menulis satu artikel, namun kali ini hal itu saya rubah. Mengingat ini adalah artikel mengenai kesan menonton film Shrek, maka saya memutuskan untuk memutar satu album OST Shrek 2 (salah satu album soundtrack terbaik yang saya punya!) sepanjang proses menulis, dan efeknya sungguh luar biasa! Jemari saya bergerak lincah di atas laptop. AH, semua lagu dalam album ini bagus, namun jika harus memilih, favorit saya adalah Counting Crows dengan "Accidentally In Love", Frou Frou dengan "Holding Out For A Hero", dan Joseph Arthur dengan "You're So True".
image source: amazon.com
READ MORE - Pesona Diri Kita Apa Adanya

Benda yang Tak Bisa Dinilai dengan Uang

image source: minimalisti.com
"We don't remember days, we remember moments" -- Cesare Pavese

Apakah kalian pernah memiliki barang-barang yang dari tampilan fisik tidak begitu berharga, dari segi harga juga tidak terlampau wah, namun kalian tetap menyimpannya karena alasan tertentu?  Bukan, saya tidak sedang membicarakan mengenai barang-barang bekas dan menumpuk di gudang. Yang saya bicarakan adalah barang-barang yang karena suatu alasan "sentimental" tertentu, menjadi sangat berharga sehingga layak terus disimpan.

Silahkan sebut namanya sentimental value, sentimental objects, or anything, intinya barang-barang tersebut merepresentasikan sebuah momen berkesan. Saat kalian melihat kembali barang itu, ada sensasi tersendiri akan kenangan indah, haru, bangga dan sebagainya. Bagaimana? Sudah tahu barang yang dimaksud? Misalnya kalian memiliki sebuah pulpen yang harganya murah, bukan pulpen dengan desain mewah dan tinta antik. Pulpen tersebut ternyata pemberian dari seseorang tertentu, dan kalian hanya menyimpannya begitu saja, tidak digunakan, karena pulpen tersebut terlalu "berharga" untuk dipakai. Fungsi pulpennya jadi hilang. Kini dia bertindak sebagai benda pengingat akan seseorang yang memberikannya.

Seperti itu maksud saya. Coba tengok koleksi barang kalian kembali, dan hitung ada berapa jumlah benda semacam itu. Apakah banyak? Tidak apa-apa, menurut saya pribadi, tidak ada yang salah dengan tetap menyimpannya kok. Siapa tahu benda tersebut akan memotivasi kalian untuk terus beraktivitas. Benda tersebut dengan sendirinya memompa semangat kalian. 

"It has a lot of historic value, a lot of sentimental value" -- Bob Edwards

Nilai sejarah. Itulah kuncinya. Benda tersebut memiliki kenangan tersendiri, entah itu dari momennya, entah dari pemberinya, entah dari cara mendapatkannya, dan masih banyak lagi. Sebuah piala juara satu lomba menggambar tingkat TK, misalnya, bisa saja diduplikasi dan diperbanyak semua orang, tapi bukan itu yang dirasa si pemiliknya. Pemilik piala akan selalu teringat momen kemenangan yang dia peroleh begitu melihat benda tersebut.

Contoh lainnya adalah benda pemberian seseorang. Benda yang bisa saja mudah kita dapatkan di tempat lain, namun bukan itu esensinya. Benda tersebut memberikan sebuah kenangan akan si pemberi, membuat kita ingin tetap menyimpannya. Pasti kalian juga memilikinya, bukan? "Seseorang" yang dimaksud disini bisa saja keluarga, sahabat, kekasih, dan lainnya. Dijamin, benda tersebut tidak bisa dinilai dengan uang, berapapun jumlahnya.

"Some people just don't understand sentimental value" -- Akmal Hanif

Meski bisa jadi semua orang memiliki benda semacam itu, tapi belum tentu semua orang memahami konsepnya. Misalnya saja, orang lain tega membuang koleksi buku langka yang telah kita simpan bertahun-tahun dengan alasan menghemat ruangan. Begitu melihat kita bersedih karena kehilangan, mereka akan berkata, "Bukankah cuma buku? Bisa dibeli lagi". See? Hal-hal semacam ini yang entah bagaimana sulit dipahami orang kebanyakan. Atau, jangan-jangan saya yang terlalu membesarkan hal ini? Haha.

Jika kalian memiliki barang-tak-bisa-dinilai-dengan-uang, pastikan menyimpannya dengan baik. Jika bisa dilihat orang lain, pastikan mereka mengerti bahwa barang tersebut sangat berharga sehingga mereka akan menghormati keputusan kalian untuk tetap menyimpannya. Well, bisa jadi saya terlalu melebihkan masalah ini (haha), tapi percayalah, saya juga memiliki benda semacam itu, dan sangat tidak suka jika orang lain meremehkan keputusan saya untuk tetap menyimpannya. Benda tersebut bisa memberi saya motivasi setiap hari, sebuah hal langka yang mungkin tidak semua orang mendapatkannya.

"I keep it for its sentimental value" -- Jess Michaels

Sekali lagi, tidak semua orang bisa memahami konsep sentimental value ini. Hm, sentimental value. Dari namanya saja sudah terkesan "lemah", sehingga adakalanya orang lain akan mencibir keputusan kita untuk tetap menyimpan benda-benda semacam itu. Saya tidak menyalahkan cibiran mereka. Kenangan memang seharusnya dikubur saja, dienyahkan tanpa jejak. Biarlah kita menjalani hidup untuk saat ini dan masa depan, ya kan?

One thing for sure: kita bisa hidup sampai saat ini setelah menjalani momen-momen berharga di masa lalu, yang telah menjadi sejarah, iya kan? Justru dari momen-momen tersebutlah kita bisa menjadi pribadi seperti saat ini. Jika kita tidak belajar dari masa lalu, kita tidak akan menjadi manusia yang berbeda secara positif. Mengerti maksud saya? 

Now, the question is: Jika momen-momen berharga tersebut kita lupakan begitu saja, dan berharap menjadi manusia berbeda di masa mendatang tanpa mengambil pelajaran apa pun dari sejarah pribadi, bisakah hal itu dilakukan? I don't think so. Oke, saya mengerti bahwa kenangan buruk bisa memicu depresi dan hal-hal negatif lainnya, tapi bagaimana dengan kenangan indah? Jika ternyata kenangan indah bisa memacu semangat untuk terus maju, kenapa harus dilupakan, begitu pula dengan benda-benda yang menyertainya?

Well, ini hanya sekelumit pikiran saya. Pada akhirnya, pilihan tetap di tangan kalian, ingin tetap menyimpan benda-benda semacam itu atau justru melupakannya. Ingat, semua tindakan ada resikonya. Kita semua telah dewasa. Kita bisa menentukan mana yang baik dan mana yang tidak.

Atau, jangan-jangan... kita terlalu melibatkan emosi dalam melakukan sebuah tindakan, sehingga apa yang terlihat baik menjadi buruk, dan sebaliknya?

Think about it. 
You are what you think.
You are what you do.

-Bayu-


Note: Gabungan synthpop dan alternative rock yang terangkum dalam lagu "Balance" milik Future Islands menemai saya dalam menulis artikel di atas. Lagu ini sungguh memantik ide-ide yang menari liar di kepala. What a great song.
image source: pitchfork.com
READ MORE - Benda yang Tak Bisa Dinilai dengan Uang

Getting Lost

image source: expedia.co.id
"Getting lost is just another way of saying 'going exploring'" -- Justina Chen

Jika kalian pernah membaca harian Kompas tanggal 8 Oktober 2016, ada sebuah kolom menarik bernama Ultimate U yang ditulis oleh Rene Suhardono (@ReneCC), seorang penulis dan pembicara publik. Kolomnya tidak terlalu besar, namun cukup memuat untaian kata penuh motivasi.

Di kolom tersebut, Rene menyorot angka bepergian masyarakat Indonesia yang terhitung rendah. Tidak heran jika mayoritas masyarakat pikirannya masih terkotak-kotakkan pada lingkungan tempatnya berasal. Tidak ada terobosan baru, variasi dalam berpikir, berkomunikasi, mencari ide, inspirasi dan sebagainya. Padahal dunia di luar lingkungan kita berasal sangat sangat sangat luas untuk dijelajahi, dan memuat beragam bentuk pola komunikasi, visual, budaya, norma, dan masih banyak lagi. 

"Sometime all you need to do is to get lost to find yourself" -- anonymous

Saya bukanlah pecinta travelling. Dulu saya sangat tertutup dan menolak terang-terangan bepergian ke luar kota. Jika teman seperjalanannya tidak nyaman, atau lokasi yang dituju tidak menimbulkan minat, maka saya menolak pergi. Alhasil, dunia luar bisa saya ketahui hanya melalui buku, koran, majalah, TV dan internet. 

Tahun 2015 merubah paradigma berpikir saya. Waktu itu, seorang teman mengajak pergi ke suatu tempat wisata di Jawa Timur. Tergerak ingin mendobrak gaya hidup selama ini, saya menyanggupinya, toh teman saya ini merupakan teman seperjalanan yang asyik. Ternyata, itu merupakan kunci perubah pola pikir. Itulah permulaan dari keseruan yang saya alami sampai saat ini. Sejak saat itu, saya telah bepergian ke luar kota beberapa kali. Ini merupakan terobosan baru dalam hidup saya yang terasa hambar!

Saya merasakan sensasi menyenangkan setiap kali menjejak daerah baru, menjelajahi tempat menarik, menemukan pola budaya baru, berinteraksi dengan tutur bahasa berbeda, dan menyelami kearifan masyarakat setempat. Satu kegiatan yang paling saya suka dari travelling adalah momen merenung. Ya, saya kerap melakukannya di tempat-tempat yang membawa suasana damai, seperti tepi pantai. 

Pantai menjadi pilihan terbaik karena ada gemuruh ombak, semilir angin, tekstur pasir lembut, dan bentang laut luas. Kesemuanya cocok untuk dijadikan tempat merenung. Saya bisa menghabiskan berjam-jam hanya sekedar duduk di tepi pantai dan menikmati kedamaian. Saya juga memiliki lokasi terbaik untuk melakukannya, terletak di luar Pulau Jawa (tidak perlu disebutkan disini). 

Itulah momen getting lost terbaik yang saya punya. Terkadang, saat pikiran sedang jenuh dan hidup terasa hampa, saya akan nekat mengambil cuti dari kantor dan pergi ke tempat penuh kedamaian, dimanapun itu. Karena mengusung konsep "getting lost", maka tidak banyak yang tahu kemana saya pergi, hanya segelintir orang saja. Saya tidak ingin mengumbarnya karena bukan itu esensi yang saya cari. Saya menginginkan kedamaian, maka semakin sedikit yang tahu tempatnya, semakin baik.

"You are someone - and no one at the same time" -- Rene Suhardono

Kalimat Rene di atas patut direnungkan, karena di satu sisi kita memiliki hubungan dengan orang lain (sebagai anak, orang tua, teman, pacar, sahabat, atasan, bawahan, dll), namun di sisi lain, kita bukanlah siapa-siapa. Selanjutnya, Rene menyatakan bahwa "bepergian memungkinkan kita memiliki perspektif betapa besar dunia dan betapa kecil dan insignifikan keberadaan diri". Jika kita menghilang dari dunia ini, berapa banyak yang akan mencari kita? Berapa banyak yang akan merasa kehilangan? Jika kalian merenungkannya lebih dalam, maka akan tercapai satu pemahaman bahwa "keberadaan kita di dunia akan berdampak signifikan jika kita memiliki makna bagi orang lain".

Banyak hal bermakna yang bisa kita lakukan, misalnya membantu teman yang sedang kesulitan, menemani orang tua kita yang kesepian, membahagiakan orang tersayang, memberi hadiah dengan tulus, atau bahkan sekedar melempar senyum pada rekan kerja yang selalu terlihat murung. Hal-hal sederhana namun tulus seperti itu yang bisa membuat hidup ini bermakna. Lakukan kebaikan dengan cara masing-masing, tulus dan ikhlas.

"Some beautiful paths can't be discovered without getting lost" -- Erol Ozan

Pemahaman yang teruang di atas bisa saya dapatkan setelah merenung di tepi pantai. Kedamaian yang saya peroleh luar biasa indahnya, sehingga momen tersebut sebisa mungkin akan saya simpan dalam memori jangka panjang. Jika ada rezeki lebih lagi, saya berniat untuk terus menemukan tempat penuh damai di lokasi lain, jauh dari keramaian. 

Finally, tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi kalian untuk menghambur-hamburkan duit jalan-jalan ke luar kota. Saya tahu pergi ke luar kota membutuhkan biaya, apalagi ke luar pulau, tapi apa salahnya mencoba sekali-kali? Apa salahnya menabung demi merasakan dunia lain yang terhampar di luar sana, menunggu kita untuk datang? Sudah banyak aplikasi yang memudahkan kita untuk memesan tiket pesawat, hotel dan lokasi wisata menarik. Tinggal bulatkan tekad untuk mencari, temukan makna perjalananmu sendiri, sekaligus temukan esensi dari "getting lost to find yourself".

Bisa jadi kalian memandang remeh apa yang saya tulis, namun percayalah, tidak ada ruginya mencoba sesuatu yang berbeda. Saya akan menutup dengan mengutip kalimat Rene Suhardono lagi: "This is the moment when we shall rediscover what really matters for us - and that is the most important part of discovering yourself. Go travel."

Yeah. Go travel, guys! Jika ternyata kalian tidak menyukai hasilnya, well... setidaknya kalian telah mencobanya, bukan? :)

Selamat menikmati akhir pekan.

-Bayu-


Note: Akhir-akhir ini musik SIA terlalu berkompromi dengan pasar mainstream, sehingga keunikannya seolah menghilang, dan membuat saya tidak menaruh perhatian lagi. Kali ini, dia kembali menelurkan single "The Greatest", yang entah bagaimana bisa terngiang-ngiang di telinga saya. Ada keunikan khas SIA, meski masih dibalut dalam tataran pop mainstream. Musik ini mengiringi saya sepanjang proses menulis.

Simply, SIA is still... amazing!
image source: en.wikipedia.org
READ MORE - Getting Lost

Menulis: Kebutuhan atau Tuntutan?

image source: customessaywriter.com
"You can do anything as long as you have the passion, the drive, the focus, and the support" -- Sabrina Bryan

Saya pernah menyatakan melalui blog ini, bahwa menulis itu sebuah proses yang tidak mudah, tidak juga sulit. Kuncinya terletak di pola pikir. Jika kita menganggap menulis itu sulit, maka selamanya menulis akan menjadi sulit. Begitu pula sebaliknya. Kebanyakan dari kita sering berpikir bahwa menulis menjadi hal yang menakutkan tatkala berhadapan dengan EYD dan "bobot" tulisan.

Tenang saja, EYD bisa dipelajari. Saya sendiri masih belum memahami EYD dengan baik, tapi setidaknya hal itu tidak menjadi penghalang menulis. Justru yang menghalangi saya adalah diri sendiri, alias rasa malas yang menghampiri. Gangguan yang satu itu sangat sulit diberantas. Sekali hinggap, dipastikan butuh banyak usaha untuk mengenyahkannya.

Hambatan lain yang mungkin timbul dalam diri para blogger atau penulis adalah ketakutan akan penerimaan orang lain. Ketakutan tulisannya akan dicemooh. Ketakutan tulisannya terlalu remeh dan tidak berbobot. Ketakutan tidak akan ada yang membacanya.

"Writing heals my heart like no pill ever could" -- Rob Bignell

Selama ini, jika mengalami pergolakan emosi negatif, saya akan memendamnya. Saat diri ini tidak sanggup lagi menampung, maka luapan emosi negatif akan keluar dan berujung pada penyesalan. Itu cara yang salah, saya tahu. Maka dari itu, sejak beberapa bulan belakangan ini saya mencoba "terapi menulis". Saat emosi negatif menghampiri, saya akan menuliskannya ke dalam laptop atau menulis di selembar kertas.

Setelah selesai menumpahkan semua emosi negatif (termasuk makian yang tidak berani diumbar secara lisan), saya merasa lega. Damai. Tenang. Senyum pun terkembang. Perasaannya sama seperti ketika kita melakukan "curhat" ke orang lain, seolah ada beban yang terangkat dari pundak. Bedanya, saat menumpahkannya lewat tulisan, kita tidak perlu memikirkan bagaimana reaksi orang lain saat mengetahuinya. Toh kita menumpahkannya ke benda mati, yang notabene tidak akan bereaksi apapun. Sejak itu, saya kerap menulis tatkala emosi negatif datang. Lambat laun saya menyukai prosesnya.

"There are many advices on writing, The best i know is stop reading them and start writing" -- Bangambiki Habyarimana 

Masalah muncul tatkala kita mengunggah tulisan itu untuk dibaca orang banyak. Akan ada konsekuensi yang ditanggung: orang lain menyukainya, atau tidak sama sekali. Bagaimana reaksi orang lain? Kritik, pujian dan saran mengalir. Permintaan muncul. Tuntutan berkembang. Sama seperti hidup. Kita bersekolah sampai jenjang tertinggi, bekerja, menikah, memiliki anak, begitu seterusnya sesuai norma yang berkembang. Jika proses menulis sudah masuk ke tahap "tuntutan" sama seperti tuntutan hidup, maka prosesnya sudah ternodai.

Kalau sudah demikian, apa bedanya menulis dengan memenuhi tuntutan hidup?

Bagi saya, menulis adalah kebutuhan. Saya butuh menulis untuk meredam gejolak emosi, untuk memaknai sesuatu, untuk mencurahkan hasil pemikiran sekaligus menaikkan kepercayaan diri. Tidak semua tulisan harus dilempar ke publik. Saya sendiri sampai saat ini memiliki tulisan yang hanya untuk dikonsumsi pribadi.

Saya pun cenderung anti mainstream, sehingga tidak menyukai pola sama seperti yang blogger lain lakukan. Saya tidak ahli dalam menulis travelling, food, asmara, humor, kegiatan harian dan segala macam. Niche yang saya incar bukan demikian. Saya mencari celah tersendiri dan menuangkan apa yang saya ingin tuangkan. Entah blog ini harus dikategorikan ke dalam niche mana.

"You can make anything by writing" -- C.S Lewis

Semua yang saya tulis di atas meniadakan satu faktor: monetisasi blog. Jika memonetisasi blog, mungkin tuntutannya akan menjadi ini itu. Saat ini, saya tidak sanggup memenuhinya, maaf. Saya malah akan berfokus pada tuntutan tersebut, bukan pada menikmati prosesnya. Blog ini biarlah menjadi simbol kemerdekaan saya dalam menuangkan hasil pikiran, bukan memenuhi apa yang pihak lain inginkan. Yang menjadi permasalahan adalah jika keputusan saya ini dicela. Tolong dipahami. Mari kita bersikap dewasa dalam menyikapi keputusan yang diambil seseorang dalam meramu blognya.

Jika kita menyukai proses menulis, maka dijamin tidak akan ada yang bisa menghentikan kita dalam melakukannya. Jika kita enjoy dalam menulis, maka hasilnya pun akan memuaskan. Sama seperti atlet yang sedang menghadapi sebuah pertandingan penting. Jika dia tidak enjoy dalam melakukannya, yang terbayang adalah ketakutan untuk memberikan hasil terbaik. Hasil akhirnya justru sering mengecewakan. Oleh karena itu, luangkanlah waktu terbaik untuk menulis. Menulis dan rasakan manfaatnya. Jika kalian menulis untuk konsumsi publik, maka harus siap dengan konsekuensinya. Jika tidak siap, maka kembalikan ke ranah pribadi. Sesederhana itu.

Kembali ke judul tulisan di atas, "Menulis: Kebutuhan atau Tuntutan?" Saya akan menjawab "kebutuhan". Sekalinya saya berkecimpung dalam tulisan untuk memenuhi tuntutan, maka saya khawatir tidak akan bisa menjadi diri sendiri. Tidak, bukan itu saya saya mau. Saya ingin menulis dan merasakan kebahagiaan saat prosesnya selesai. Mohon hargai pilihan ini. Terima kasih.

Selamat berakhir pekan.

-Bayu- 



Note: Musik Ariana Grande biasanya hanya menjadi one hit wonder di telinga saya, tapi entah kenapa single "Into You" selalu menempel di benak, meski sudah saya coba enyahkan. Pantas saja lagu ini terasa "renyah", karena ada Max Martin sebagai salah satu produsernya, sang produser "bertangan emas". Musik dance pop yang easy listening ini mengiringi saya selama proses menulis.
Image source: fuse.tv
READ MORE - Menulis: Kebutuhan atau Tuntutan?

Blogger





"If you do what you love, you'll never work a day in your life" -- Marc Anthony

Saya tidak pernah membayangkan diri ini sebagai seorang blogger. Sejak menemukan keasyikan membaca sebuah cerita fiksi, saya selalu membayangkan diri ini sebagai seorang penulis. Blogger? Tidak pernah terlintas dalam benak.

Tidak sama sekali. 

Profesi saya saat ini adalah sebagai akuntan di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang perdagangan. Pekerjaan saya adalah memperlakukan angka selayaknya sebuah aset berharga. Deretan angka yang harus diolah dan dianalisa, dijaga dengan baik agar dapat "disantap" oleh pemakai laporan di luar sana. Jadi, dengan kata lain, saya memberi sebuah "makanan data" kepada mereka-mereka yang lapar akan rasio profitabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan istilah-istilah teknis semacam itu.

Saya tidak sedang membanggakan diri. Tolong, jangan menghakimi saya secepat itu. Lagipula tidak ada yang perlu dibanggakan. Semua profesi itu baik sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, ya kan? Saya yakin profesi yang kalian jalani sekarang, apapun itu, pasti bermanfaat. Setiap tindakan yang kita kerjakan, akan berpengaruh pada hal lain. Contohnya saja, seorang office boy yang sedang menyapu lantai. Jika lantai tidak disapu, maka ruangan akan menjadi kotor dan berpengaruh terhadap kenyamanan bekerja.

Hal-hal kecil semacam itu mengingatkan kita bahwa setiap profesi itu penting. Setiap orang memiliki keahlian masing-masing. Setiap orang akan cocok menjadi kepingan puzzle dalam masyarakat. Tidak ada seorang dokter yang bisa merangkap sebagai tentara, polisi, guru, seniman, wiraswasta dan presiden sekaligus. Masyarakat terbentuk dari kepingan puzzle profesi dan kita adalah bagian dari itu. Puzzle yang baik adalah yang cocok di bidangnya. 

Bagaimana jika tidak cocok?

Well, izinkan saya bercerita. Jadi begini. Akhir-akhir ini saya mengalami sebuah konflik batin terkait pekerjaan. Saya mulai menjalani profesi dengan setengah hati, karena dituntut untuk terjun ke dunia yang tidak sesuai dengan minat. Menerima berarti siap menghadapi "semak belukar", sementara menolak berarti siap masuk ke "lubang perangkap". Saya pun mencoba menjalaninya, namun setiap kali dijalani, diri ini kerap memberontak. Ini bukanlah bidang yang saya minati. Sekeras apapun saya berusaha, otak seolah menutup pintu rapat-rapat untuk menghasilkan "aksi yang kreatif". 

"If you don't love what you're doing, and you can't give it your best, get out of it. Life is too short" -- Al Lopez

Konflik itulah yang menyebabkan saya memilih vakum dari dunia blog untuk sementara. Saya berusaha memfokuskan diri pada pekerjaan. Saya tidak merasa bahwa blog adalah bagian dari diri saya sendiri. Menjadi blogger bukanlah prioritas saya saat itu. Saya memutuskan untuk meninggalkan dunia blog selama satu minggu. Hmm, satu minggu berkembang menjadi dua... tiga... lama-lama menjadi hitungan bulan! Tidak bisa dipungkiri bahwa rasa malas mulai menggerogoti. Saya hampir tidak mengenali diri sendiri, seperti semut yang mengikuti perintah sang ratu. Saya seperti individu yang dibentuk sesuai keinginan orang lain. 

Dalam rentang waktu tersebut, saya masih menerima beberapa komentar untuk postingan di blog. Komentar-komentar tersebut membuat saya berpikir bahwa blog sederhana ini ternyata masih dilirik blogger lain, bahkan ada yang menunggu postingan selanjutnya. Ah, saya sungguh terharu.

"And if you can do it for the joy, you can do it forever" -- Stephen King

Kini konflik pekerjaan telah sirna. Saya tetap seorang akuntan, masih di kantor yang sama, namun tanpa konflik batin yang memberatkan. Apakah itu berarti saya termotivasi kembali mengurus blog? Tidak. Rasa malas masih menggerogoti, lagipula saat itu saya memiliki sebuah proyek pribadi yang cukup menyita waktu. Saya kembali menjadi seorang penunda, seorang prokrastinator sejati. Sempat terlintas untuk menutup blog ini selamanya, namun selalu tidak terlaksana (bahkan untuk menutup blog pun saya masih menunda-nunda, duh!).

Suatu hari, saya iseng melihat video klip Peter Bjorn and John diputar di salah satu saluran musik. Judulnya "What You Talking About". Lagunya sungguh terdengar bagus di telinga ini, dan saya langsung mencari liriknya di internet. Ada penggalan lirik yang unik:

How could i sink this low?

Saya tersentak membaca lirik tersebut. Ya, bagaimana saya bisa terbenam serendah ini ? Bermula dari lagu itu, saya segera mencoba mendengarkan lagu lain yang biasa menjadi mood booster selama ini. Ah, kemana saja saya? Kenapa baru mulai lagi menikmati musik-musik indah koleksi sendiri? Kenapa kemarin-kemarin saya tidak bisa menikmatinya? Saya jadi ingat, beberapa bulan yang lalu saya sering mendalami setiap musik untuk didengarkan saat akan menulis sebuah postingan di blog.

Blog. Blog. Blog. Blog. Blog. Blog.

Kata itu membuat saya kembali tersentak. Bagaimana nasib blog saya? Apa yang terjadi di dunia blogger? Apa kabar teman-teman blogger yang lain? Saya pun mencoba membuka blog sendiri dan membaca sekitar sepuluh postingan terakhir, berikut komentar-komentarnya. Rasa hangat seolah menjalani diri saya, entah apa ini. Damai dan nyaman.

Saya kesal karena banyak meluangkan waktu untuk pekerjaan, sementara blog sendiri terbengkalai. Saya kesal karena digerogoti oleh rasa malas. Saya terbiasa menuangkan sesuatu lewat tulisan, dan akhir-akhir ini jati diri saya sebagai seorang blogger seolah terkubur. Apakah saya seorang blogger? Ya, saya seorang blogger. Blog ini adalah bagian diri saya juga. Untuk menegaskannya, saya pun memutuskan untuk merubah domain blog ini menjadi top level domain (TLD) dengan memilih domain (dot) com. Prosesnya ternyata tidak serumit yang saya kira. Pihak penyedia domain juga membantu dengan baik. 

Saat melihat blog saya akhirnya berubah menjadi www.bayurohmantika.com, kembali diri ini dijalari perasaan hangat yang membuat damai dan nyaman. Ah, akhirnya saya merasa memiliki blog ini secara utuh. Inilah tempat saya menuangkan apa yang berkecamuk di pikiran, tempat saya menyapa teman-teman blogger yang lain, sekaligus tempat saya menemukan kedamaian. 

Domain sudah diganti. Artikel pun sudah disiapkan. Hal berikutnya yang saya lakukan adalah mengganti header. Awalnya saya ingin mengganti theme, namun setelah dipertimbangkan lebih lanjut, saya tetap memilih theme lama, namun header-nya saja yang diganti. Beruntung ada teman -- seorang blogger juga -- yang berbaik hati membantu pembuatannya. Sederhana namun penuh makna, itu yang saya cari. Thank you so much. Sentuhan kreatifnya menghasilkan original image, bukan gambar "copy-paste-asal-comot" yang sebelumnya menjadi header blog ini. 

Tidak semudah itu rencana berjalan lancar. Header-nya sempat tidak sesuai dengan ukuran satu layar penuh. Berkali-kali disesuaikan, namun tidak berhasil. Saya jadi kesal sendiri. Ah sudahlah. Lebih baik menekuni kembali proyek pribadi. Alasan demi alasan pembelaan terlontar di benak. Beberapa minggu kemudian, justru proyek pribadinya ikut terbengkalai juga! Saya kembali kehilangan arah.

What's wrong with me?

Tak disangka, hari ini mengubah segalanya. Seorang teman mengingatkan saya agar kembali menulis di blog. Dia "butuh" membaca tulisan saya. Kalimat tersebut membuat diri ini termenung. Kita boleh saja tidak hadir secara fisik untuk orang lain, namun sebuah karya mampu mewakili diri kita, dalam hal ini sebuah tulisan.

Entah kenapa, saya terus merenungkan hal tersebut. Akhirnya, di tengah deadline pekerjaan siang ini, saya malah menyempatkan diri kembali mengutak-atik ukuran header blog, dan alhamdulillah, kali ini berhasil! Ukurannya sesuai dengan yang saya inginkan. Ah, melihat kecocokkan itu membuat saya kembali bersemangat menulis. Puzzle telah lengkap. Maka, malam ini saya langsung merombak artikel yang telah dipersiapkan sebelumnya.

"If you love it, you do it well, and there's no success if you don't do well what you're working at" -- Malcolm Forbes


Dunia boleh saja menyeret kita ke permasalahan yang pelik, namun pastikan bahwa pikiran kita masih "hidup". Dunia boleh saja menuntut ini itu, tapi pastikan kita memliki aktifitas menyenangkan yang bisa dilakukan. Tindakan kita boleh saja dikekang, namun tidak dengan pikiran. Biarkan pikiran berkembang sebebas apapun. Jika pikiran juga terkekang, maka tidak ada bedanya kita dengan semut yang mengikuti perintah ratu. Jangan biarkan itu terjadi.

Menulislah. Tuangkan hasil pemikiran, apa saja. Buktikan bahwa pikiran kita masih "hidup dan produktif". Menuangkan hasil pemikiran lewat blog adalah jalan terbaik untuk melakukannya. Kita adalah puzzle dalam masyarakat yang absurd. Hanya kita yang mampu menuliskan apa yang ada di dalam pikiran sendiri, bukan orang lain. Hanya kita yang mampu merasakan sensasinya. Menulislah dan tuangkan sejarah atas nama kita sendiri.

Well, here i am. This is me, Bayu Rohmantika Yamin. Maaf kalau tulisan ini lumayan panjang. Saya berharap kalian mau membacanya hingga tuntas. Saya hanyalah seorang blogger yang masih berkutat dengan konsistensi, namun saya yakin bahwa tulisan seorang blogger bisa membawa perubahan, setidaknya untuk diri blogger itu sendiri.

Now, the question is: Bagaimana kalian memandang diri sendiri sebagai seorang blogger? 

-Bayu-



Note: Musik dari daratan Eropa selalu membawa sensasi "mengasyikkan" tersendiri untuk didengarkan, salah satunya adalah musik Peter, Bjorn and John yang berasal dari Swedia. Trio pengusung indie pop dan neo-psychedelia ini mengeluarkan single "What You Talking About" yang seolah membawa pendengarnya ke tahun 80-an. Kreatifitas tingkat tinggi. Hook yang fantastis membuat lagu ini menjadi pengiring saya selama menulis artikel di atas.
image source: sound-andsilence.com

READ MORE - Blogger

Membalas Jasa Seseorang

Image source: livingroomdesignideas.blogspot.com

"We can't help everyone, but everyone can help someone" -- Ronald Reagan

John Grisham adalah novelis asal Mississippi, Amerika Serikat yang sudah banyak menelurkan karya best seller. Tulisannya cerdas, tajam, megah, bermuatan banyak intrik, berani, dan "menggigit". Salah satu novelnya yang punya kesan "menggigit" adalah A Time to Kill, novel pertamanya sekaligus yang paling dia sukai.

Butuh usaha ekstra untuk menamatkan novel setebal 906 halaman ini, terutama karena saya hanya menyisihkan sekitar satu jam setiap hari untuk membacanya, tidak membaca dalam full effort. Secara ringkas, A Time to Kill bercerita mengenai seorang pria kulit hitam yang diadili karena menembak mati dua orang kulit putih yang telah memperkosa anak perempuannya. Pemerkosaan dibalas dengan nyawa, tapi apakah nyawa harus dibalas dengan nyawa? Apalagi yang diadili adalah seorang kulit hitam, ras yang dipandang "kelas bawah" oleh masyarakat Amerika. 

Banyak isu mencuat di novel ini, mulai dari rasisme yang masih kental di Amerika Serikat, teror Ku Klux Klan (kelompok rasis ekstrem), keadilan yang semu, dan pembelaan hati nurani. John Grisham dengan cerdas mempertontonkan sepak terjang langkah para pengacara dari pihak terdakwa dan pembela, bagaimana mereka bersilat lidah, menghadapi pers, melakukan riset melelahkan, dan mencari celah dalam sistem peradilan guna memenangkan kasus.

Brilian, saya benar-benar terpukau setelah menamatkan novelnya. Ada banyak versi cover novelnya yang beredar, ini salah satunya:


Image source: bukalapak.com

Saya tertarik mengambil beberapa bagian dalam novel yang menurut saya patut dibahas. Ada dialog yang menarik di halaman 112. Diceritakan bahwa Carl Lee, si pria kulit hitam yang diadili karena menembak dua orang pemerkosa putrinya, mendapatkan senapan dari teman lamanya, Cat Bruster. Cat dengan senang hati memberikan senapan dengan gratis. Kenapa? Berikut saya kutip dialog mereka:

Carl Lee : Aku ambil

Cat        : Seribu dolar untuk orang lain, tapi tidak untukmu, Big man

Carl Lee : Berapa?

Cat        : Cuma-cuma, Carl Lee, cuma-cuma. Aku berutang padamu sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang

Percakapan tersebut membuat saya termenung. Cat Bruster memberikan sesuatu dengan gratis sebagai balas budi kebaikan temannya. Hmm, apakah saya mampu melakukannya juga? Saya kira demikian. Apalagi ada beberapa orang yang sudah berjasa dalam kehidupan saya, dan jasa mereka tidak dapat dinilai dengan uang. Pertanyaan tersebut terus berkecamuk dalam benak sehingga saya pikir lebih baik menguraikannya di blog demi ketenangan. 

"Your life will become better by making other lives better" -- Will Smith

Terlepas dari masalah etika dalam berbalas budi, sudah sepatutnya kita menolong orang lain yang berada dalam kesulitan, sepanjang tindakan yang kita lakukan adalah kebaikan. Apakah harus mengharap pamrih? Tanyakan kepada nurani masing-masing. Bukankah saat kita menolong orang lain, ada semacam perasaan yang menyelimuti kita, menenteramkan kita, membuat kita merasa damai. Perasaan semacam itu yang tidak bisa dinilai dengan uang, bukan? Mengetahui bahwa tindakan kita dapat membuat hidup orang lain lebih baik itu jelas membawa efek baik dalam diri kita. Lalu, apakah kita harus mengharap tindakan itu akan "dibayar balik"?

Tidak. Mencari pamrih sama saja menagih hutang, hal yang paling saya jauhi. Saya merasa tidak nyaman jika harus menagih hutang. Lebih baik memberi dengan ikhlas ketimbang mendata pihak mana saja yang harus kita "tagih". 

"One of the most important things you can do on this earth is to let people know they are not alone" -- Shannon L. Alder

Memberi kebahagiaan kepada orang lain menjadi tidak baik tatkala kita mengungkitnya di kemudian hari dan menggunakannya untuk tujuan tertentu. Klaim tagih-menagih kebaikan ini telah digambarkan John Grisham dalam novel A Time to Kill. Di halaman 408, terdapat dialog antara Lucien, seorang mantan pengacara, dengan Bass, seorang ahli psikiater:

Lucien   : Kau mengatakan akan membantuku. Tuhan tahu kau berutang budi padakuBerapa perceraian yang kutangani untukmu?

Bass       : Tiga. Dan tiap kali aku diperas habis

Lucien    : Berapa banyak klien, atau pasien, yang pernah kukirimkan kepadamu selama bertahun-tahun?

Dialog di atas jelas sebuah tuntutan untuk membalas budi. Lucien memaparkan kebaikan dia untuk mendapatkan balas budi si Bass. Kebaikan yang diungkit oleh diri sendiri semacam itu menurut saya telah melunturkan esensi kebaikannya. Rasanya tidak pantas kalau kita menagih balas budi secara terang-terangan, seolah kita mengharap pamrih. Jika kalian pernah melakukannya, silahkan kalian renungkan sendiri, apakah balas budi yang nantinya didapat berlandaskan keikhlasan, atau sebuah keterpaksaan?

Mendapat bantuan dari orang lain yang dilandasi keterpaksaan sama saja bohong. Jika saya dalam posisi seperti itu, akan saya tolak. Jauh lebih bermakna saat mendapatkan kebaikan yang dilandasi keikhlasan. Lalu, kapan kebaikan tulus itu akan kita dapatkan? Kapan saat yang tepat mengetahui orang lain akan memberi sesuatu dengan tulus? 

Well, mengapa harus menunggu? Mengapa tidak kita sendiri yang menciptakannya? 

Mari, tidak usah menunggu orang lain memberikan kebaikan dengan tulus. Jadilah malaikat kecil untuk orang lain. Berikanlah bantuan sebisa yang kita lakukan, meski hanya seulas senyum sekalipun. Ikhlaslah dalam melakukannya, dan rasakan manfaatnya. Ikhlas membawa dampak baik bagi tubuh dan pikiran. Dunia boleh carut-marut, namun berilah harapan kepada orang lain bahwa masih ada kebaikan tulus di dunia ini, dan kita sendiri yang menciptakannya. Diri kita sendiri. Pasti ada alasannya kenapa Allah SWT menyuruh kita untuk tolong-menolong satu sama lain, ya kan?

Bangkit dan tebarlah kebaikan, tidak hanya kepada orang yang telah berjasa kepada kita, tapi kepada semua orang.

-Bayu-



Note: Cukup putar musik Regina Spektor dan seketika mood menjadi bagus. Diambil dari album What We Saw From The Cheap Seats, lagu "Don't Leave Me (Ne Me Quitte Pas)" menemani saya dalam menulis artikel ini. Entah harus mengkategorikan lagu ini dalam genre pop, folk atau alternative, tapi yang pasti musik Regina Spektor jelas mengagumkan. Di lagu yang super indah ini, Regina dengan ceria membawa pendengar menyusuri kota New York dan berakhir di Paris. Beautiful song
Image source: rollingstone.com
READ MORE - Membalas Jasa Seseorang

Hadiah Itu Bernama "Waktu"

Image source: abstract.desktopnexus.com
The greatest give you can give someone is your time, because when you give your time, you are giving a portion of your life that you will never get back.

Kalimat itu saya dapatkan dari internet, saat sedang mencari-cari kutipan menarik untuk diletakkan di salah satu postingan blog. Saya terdiam sejenak saat membacanya. Otak saya langsung menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia menjadi: "Hadiah terbesar yang bisa kau berikan ke seseorang adalah waktumu. Karena ketika kau memberikan waktumu, kau sedang memberikan bagian dari hidupmu yang tidak akan bisa kau peroleh lagi". Hm... interesting fact. Simple but meaningful.

Kutipan menarik itu terus saya simpan sampai suatu hari, ada momen spesial yang membuat saya memutuskan untuk mengeluarkannya kembali. Saya tertarik untuk mengupasnya lebih dalam. Ini kali keempat saya membahas mengenai waktu di blog, karena tema yang satu ini sangat menarik untuk dibahas.


Baca juga: Dimensi Waktu: Masa Lalu, Masa Sekarang, dan Masa Depan

Kita hidup dalam himpitan waktu selama dua puluh empat jam setiap harinya, berkutat dengan segudang kegiatan yang menguras pikiran, fisik dan emosi. Menarik untuk digarisbawahi bahwa setiap detik waktu yang kita habiskan, sama saja dengan setiap detik semakin dekat menuju waktu... kematian kita. Oke, saya tidak akan mendramatisirnya. Hanya ingin mengingatkan, bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Untuk itu, dibutuhkan perencanaan yang matang mengenai waktu yang kita miliki. 

Lalu, sudahkah kita merencanakannya dengan matang? Jujur, saya sendiri belum bisa melakukannya. Masih banyak pencapaian yang belum saya raih, masih banyak waktu yang saya sia-siakan, dan masih banyak pula waktu yang saya sendiri bingung bagaimana memanfaatkannya. Menjadi dewasa tidak berarti kita bisa matang memikirkan waktu, karena manusia tetap terbelah dalam dua kubu besar: mereka yang bisa memanfaatkan waktu dengan baik, dan mereka yang tidak.

"Yesterday is the past, tomorrow is the future, but today is a gift. That's why it's called the present" -- Bill Keane 

Allah SWT memberi jumlah waktu yang sama kepada manusia setiap harinya, antar individu tidak ada yang berbeda hingga ke detiknya sekalipun. Semua sama. Bedanya, apakah kita bisa memanfaatkannya dengan baik atau tidak. Waktu menjadi berkah yang tidak kita sadari. Itu adalah anugerah yang diberikan Allah SWT kepada kita. Sebuah nikmat, atau dengan kata lain... sebuah hadiah. Tentu kita terus menginginkan hadiah itu, bukan? Kita tetap menginginkan bangun keesokan harinya, demikian seterusnya. 

Jika demikian adanya, apakah kita sudah bersyukur akan karunia ini? Pasti ada alasannya sampai detik ini Allah SWT masih menginginkan kita berada di dunia.

"No matter how busy you are, you must take time to make the other person feel important" -- Mary Kay Ash

Waktu yang berlalu, tidak akan bisa kembali. Yang dapat kita lakukan dengan waktu adalah merencanakan penggunaannya sebaik mungkin, dan menjadikan "saat ini" diisi dengan kegiatan yang bermakna, agar bermanfaat dan dapat dikenang. Dengan sempitnya waktu yang kita miliki, apakah kita rela memberikannya kepada orang lain? Bukan secara harfiah "memberikan", namun lebih kepada "menghabiskan waktu bersama orang lain di saat kita bisa melakukan aktivitas lain".

Baca juga: Setiap Saat Adalah Istimewa

Apakah kita rela saat menunggu orang yang sakit demi kesembuhannya, sementara kita harus mengejar transaksi bisnis? Apakah kita rela menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta, saat kita masih dikejar tuntutan pekerjaan? Apakah kita mau merelakan waktu untuk menghibur teman yang berduka/sedih? Apakah kita mau merelakan waktu untuk sekedar berbincang dengan orang lain?

Begitulah. Selalu ada pertentangan dengan waktu. Kita memiliki aktivitas terjadwal, dan butuh penyesuaian saat dihadapkan dengan konflik kepentingan: haruskah kita meluangkan waktu untuk orang lain? Apakah orang lain juga rela memberikan waktunya untuk kita? Tidak, jangan berpikiran seperti itu. Manusia butuh bersosialisasi, dan menghabiskan waktu bersama dengan orang lain adalah sebuah kebutuhan tak terelakkan. 

"Time is a created thing. To say "I don't have time" is to say "I don't want to" -- Lao Tzu

Kembali ke kutipan di awal. Hadiah terbesar yang bisa kita berikan ke seseorang adalah waktu, karena bagaimanapun juga, ada konsekuensi yang timbul saat melakukannya: kita kehilangan waktu yang seharusnya bisa kita gunakan untuk hal-hal lain. Tapi, kita jarang memikirkan hal itu, bukan? Bagus, karena jika kita memikirkannya, terasa aneh. Malah sebaiknya tidak usah dipikirkan. Tidak ada ruginya menghabiskan waktu bersama orang lain, sepanjang kita berniat baik. Mereka tentu senang jika kita dapat hadir menemani, hadir memberi penghiburan, hadir memberi semangat, atau sekedar hadir untuk bertukar pikiran.

Memang, ada kalanya kita akan terperangkap dalam tuntutan ini itu sehingga sulit meluangkan waktu untuk sekedar berbincang dengan orang lain (saya pun terkadang demikian), tapi sadarilah, bahwa tanpa interaksi dengan orang lain, hidup akan terasa hampa. Hidup akan jauh lebih terasa menyenangkan saat kita memiliki quality time bersama orang lain. Bukan masalah banyak atau tidak waktu yang kita luangkan, tapi lebih kepada kualitasnya. 

Mari luangkan waktu bersama orang tercinta, bersama keluarga, bersama sahabat atau teman. Buat janji temu dengan orang yang sudah lama tidak kita jumpai, dan kita akan menemukan hal-hal tidak terduga sepanjang pertemuan, hal-hal baik yang selama ini tidak kita sadari keberadaannya. Saat orang lain membutuhkan keberadaan kita untuk menghiburnya disaat dia terpuruk, jangan ragu untuk melakukannya. Siapa tahu "waktu" yang kita luangkan untuk mereka justru menjadi momen terindah yang bisa mereka kenang. Momen dimana mereka sadar bahwa mereka masih memiliki kita sebagai orang yang bisa meluangkan waktu. Momen yang dengan ikhlas kita berikan, dan dengan demikian kita menjadi pribadi yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Bukankah itu terdengar menyenangkan?

Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari hanya karena tidak dapat meluangkan waktu untuk orang lain, hanya karena kita tidak dapat berjumpa dengan seseorang yang sangat membutuhkan kehadiran kita. Jangan sampai kita menyesal bahwa di saat kita sedang berkutat dengan aktivitas super sibuk, di saat itu pula orang yang kita sayangi meregang nyawa, dan kita belum sempat bertemu terakhir kali dengannya.

Hmh...

Ingat, setiap detik yang berlalu, tidak akan pernah bisa kembali. Semoga kita semua dapat menjadi pribadi yang bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Bukan hanya waktu untuk diri sendiri, namun juga waktu untuk orang lain. Mari berikan waktu yang kita miliki untuk sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, yaitu waktu yang akan dikenang oleh mereka sebagai waktu berkualitas, dan dengan demikian kita telah memberikan kepastian kepada mereka bahwa kita adalah orang yang dapat diandalkan untuk berbagi waktu bersama.

-Bayu-


Note: Lagu-lagu The S.I.G.I.T selalu sukses menjadi mood booster, khususnya dalam album "Visible Idea of Perfection". Band lokal yang satu ini memang patut membanggakan Indonesia di kancah internasional. Lagu mereka yang berjudul "All The Time" saya putar terus-menerus sepanjang proses menulis. 


Image source: en.wikipedia.org








READ MORE - Hadiah Itu Bernama "Waktu"
 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.