Pelayanan Customer: Ramah vs Malas-Malasan

Image source: keithpushor.ca


Dilayani dengan ramah oleh penjual saat kita memilih sebuah barang/jasa tentu menjadi dambaan semua orang. Pertanyaannya: apakah semua penjual seperti itu?

Tidak.

Di blog ini saya pernah membahas mengenai pentingnya senyum tulus saat melayani pelanggan, dan kali ini saya memfokuskan pada keramah-tamahan. Esensinya tetap sama, yakni bagaimana pandangan pembeli saat mendapatkan pelayanan baik versus pelayanan buruk. 

Jadi begini. Sekitar tiga minggu yang lalu saya berniat membeli sebuah smartphone baru, untuk menjunjang kebutuhan komunikasi. Saya belum menetapkan pilihan pada satu merk, dan akhirnya memutuskan untuk pergi mencari referensi ke sebuah toko ritel yang selalu saya percaya untuk membeli gadget (alasan utama adalah karena di toko ini saya dapat menggunakan kartu kredit dengan bunga cicilan 0%). Tidak ada niat untuk membeli saat itu, hanya ingin melihat-lihat dulu. 

Setelah pulang dari kantor, saya memutuskan untuk pergi ke sana, dan tiba di toko tersebut pukul setengah sembilan malam. Memang tokonya belum tutup, namun petugasnya tinggal satu orang (entah kemana perginya yang lain), dan dia menanggapi pertanyaan saya dengan tidak antusias, seolah-olah dia berharap saya segera angkat kaki dari situ. Saya masih mencoba bertanya ini-itu mengenai salah satu merk, dan dengan nada datar dia berkata, "Maaf Mas, produknya lagi kosong. Kalau mau, Mas coba cari aja di tempat lain."

"Your most unhappy customers are your greatest source of learning" -- Bill Gates

Saya terkejut, karena baru kali ini saya diberi rekomendasi semacam itu. Biasanya, jika barang yang saya cari tidak ada, petugasnya akan mencoba membelokkan pilihan saya ke produk sejenis, dengan bujuk rayu maut. Kali ini saya mengalah, dan dengan sedikit kesal segera beranjak dari sana. Tidak jauh dari toko ritel tersebut, terdapat toko ritel gadget lain, dan petugasnya dengan ramah membujuk saya untuk masuk ke dalam. Saya pun memutuskan untuk masuk, hanya sekedar untuk melihat-lihat. Dengan cekatan seorang petugas langsung menghampiri saya dan bertanya apa yang saya cari. Begitu saya jawab, "Mau melihat-lihat dulu," dia pun menyingkir dengan sopan, memberi privasi. Saat saya terpaku lama di sebuah merk, dia kembali menghampiri dan menjelaskan keunggulan produk tersebut. Awalnya saya merasa risih, namun lama-kelamaan jadi penasaran. Begitu saya mengutarakan kebutuhan smartphone yang saya cari, dia pun dengan cekatan menunjukkan beberapa pilihan.

Akhirnya, penjelasan dia sukses membuat saya memutuskan untuk membeli. Lagipula, memang saya sedang membutuhkan smartphone juga. Saya diberi sebuah pilihan smartphone berkualitas dengan harga terjangkau, dan saya pun dapat memanfaatkan fasilitas kartu kredit dengan bunga cicilan 0% juga di sana.

Sesampainya di rumah, saya terus memikirkan kejadian tersebut, dan sempat menyesal langsung membeli tanpa mencari tahu dulu review-nya di internet. Saya sempat menyalahkan diri saya yang terlalu mudah dirayu. Tapi ketakutan saya lama-kelamaan sirna. Saya melihat review positif di internet mengenai smartphone yang saya beli, dan setelah pemakaian tiga minggu, saya benar-benar yakin bahwa benda ini memang yang saya butuhkan.

Well, intinya, saya kembali mendapat pelajaran bahwa melayani pelanggan/pembeli dengan ramah itu banyak membawa perubahan positif bagi penjual. Bisa jadi malam itu saya terlalu lelah hingga mudah terbujuk rayu membeli sebuah produk, namun tetap saja pelayanan yang ramah menjadi bukti bahwa "Good service makes the difference".

"A satisfied customer is the best business strategy of all" -- Michael LeBeouf

Apakah kalian pernah mengalami kejadian serupa?

-Bayu-



Note: Musik electro pop lembut yang menenangkan dipersembahkan oleh musisi lokal asal Bandung, yakni Bottlesmoker, melalui "Vegabond". Lagu ini diputar untuk mengiringi proses penulisan.
Image source: roi-radio.com








READ MORE - Pelayanan Customer: Ramah vs Malas-Malasan

Titik Balik Kehidupan: Apa Kisahmu?

Image source: firstfruit.com

















Semua hal dalam hidup mengajarkan kita satu hal: "terus lanjutkan hidup".

As simple as that. Entah itu momen kebahagiaan, kesedihan, kehilangan, kemarahan, dan sebagainya. Pengalaman hidup tidak pernah mengajarkan manusia untuk memilih kematian, karena bukan itu yang diinginkan Allah SWT kepada setiap makhluknya. Apakah misal, hanya karena kehilangan seseorang yang kita sayangi, lantas kita juga harus mengakhiri kehidupan ini?

Come on... 

Bukan hanya kita saja yang mengalami apa yang kita rasakan saat ini. Setiap kebahagiaan yang terpancar, setiap derai tawa, setiap tangis, setiap luka, dan sebagainya... semua manusia mengalaminya, hanya saja levelnya berbeda. Allah SWT akan memberikan ujian hidup kepada manusia sesuai level keimanannya. Jika kita mampu melewati ujian tersebut, kita akan menemukan makna kehidupan. Dari situ, kita akan merasakan sebuah titik balik (turning point).

Titik balik bisa dikatakan sebuah momen dimana kita dapat membuat diri ini menjadi lebih baik lagi. Apabila kita mengalami kebosanan hidup dan berhasil keluar dari belenggu rutinitas, bisa jadi itulah titik balik. Atau saat kita berhasil menamatkan sebuah studi, berhasil mendapatkan promosi pekerjaan, berhasil memenangi sebuah pertandingan, berhasil menikah, berhasil memiliki buah hati, dan sebagainya.

Menyenangkan? Tentunya. Mendapat sebuah momen dimana akhirnya kita merasa "hidup kembali" adalah dambaan semua orang, dan tidak mudah mendapatkannya. Apakah itu berarti setiap titik balik didapatkan dari momen kebahagiaan? Tidak. Sebuah titik balik kehidupan bisa saja berasal dari keterpurukan, dari kusutnya permasalahan hidup, dari situasi kalut, dari situasi statis, atau dari situasi yang tidak terduga, karena kehidupan ini memang penuh dengan misteri, dan itulah yang membuatnya terasa "menggigit". Justru kebanyakan titik balik berasal dari hal-hal semacam ini.

Saya memiliki beberapa titik balik dalam hidup, salah satu contohnya adalah saat berhasil keluar dari belenggu rutinitas beberapa minggu belakangan ini, dengan menyempatkan diri cuti dari pekerjaan dan pergi menikmati indahnya alam. Dari situ saya berhasil merubah mindset bahwa kehidupan ini harus tetap dijalani dengan penuh rasa syukur, bahwa tidak sebaiknya kita menyalahkan keadaan. 

Kita yang harus berjuang sendiri mengatasi semua ujian hidup yang ada. Hanya diri kita yang bisa. Ikhlas. Jalani dengan penuh rasa syukur. Tebar kebaikan untuk orang lain.

Well, bukan berarti saya lantas menjadi orang yang super sempurna. Tidak ada yang seperti itu. Saya hanya mencoba meresapi momen titik balik ini dengan sebaik mungkin. Saya tidak tahu sampai kapan ini bertahan, semoga selama saya hidup. 

"The turning point in the process of growing up is when you discover the core of strength within you that survives all hurt"  -- Max Lerner

Kalian pasti pernah mendapatkan sebuah titik balik dalam hidup juga, kan? Sebuah momen dimana akhirnya kalian merasa bahwa "ah, akhirnya bisa seperti ini juga" atau "ah, ternyata semua indah pada waktunya" dan perasaan semacam itu. Bisa saja titik balik itu didapat saat kalian berhasil lulus kuliah, berhasil menikah, berhasil memiliki buah hati, berhasil melewati rintangan hidup, berhasil bangkit dari kegagalan, berhasil keluar dari kesedihan yang mendalam, dan sebagainya.

Silakan berkomentar. Mari berbagi kisah, siapa tahu menginspirasi yang lain juga :-)

-Bayu-



Note: Kekuatan musik Coldplay mampu membius proses penulisan. Lagu mereka yang berjudul "Trouble" mengalun sepanjang proses menulis. Terima kasih kepada teman saya, yang telah memberikan ide mengenai titik balik ini. You know this song is really suitable for this article :-)
Thank you.


Image source: en.wikipedia.org
READ MORE - Titik Balik Kehidupan: Apa Kisahmu?

Kita Akan Selalu Menghakimi Sesuatu

Image source: filterbutler.com















Tidak ada satu manusia pun yang tidak pernah menghakimi sesuatu.

Kita dibekali banyak indera oleh Allah SWT, yaitu:
Mata untuk melihat.
Telinga untuk mendengar.
Lidah untuk mengecap.
Hidung untuk membaui.
Kulit untuk meraba/menyentuh.

Bersukurlah bagi yang masih memiliki kelima indera dengan lengkap, karena banyak orang di luar sana yang tidak dapat menikmati "perlengkapan" tersebut dengan sempurna. Dengan menggunakan kelima indera tersebut, kita dapat mengenal dunia di sekeliling kita. Kita dapat menikmati indahnya alam, bermacam rasa di lidah, mendengar musik, mencium aroma sesuatu, hingga merasakan tekstur benda dengan kulit.

Hal yang terjadi berikutnya setelah menggunakan panca indera adalah "menilai", dalam artian memproses data-data yang didapat dari objek yang ditangkap indera, untuk selanjutnya diproses dalam otak menjadi sebuah kesimpulan. Setiap hari mata kita akan melihat, telinga kita akan mendengar, hidung kita akan membaui, lidah kita akan mengecap, dan kulit kita akan menyentuh/meraba sesuatu. Kesimpulan yang diproses oleh otak setiap orang bisa sama, bisa berbeda. 

Satu hal yang pasti: kita akan selalu melakukan proses penilaian. Kita akan selalu menilai sesuatu. Menghakimi. Memberi penilaian baik atau buruk. Men-judge, atau apapun istilah lainnya. Ini adalah proses normal. Tidak dapat disangkal keberadaannya.

Contoh sederhananya adalah saat bertemu orang baru, atau saat memperhatikan orang berlalu-lalang di keramaian publik. Tidak dapat dipungkiri bahwa mata kita akan memperhatikan mereka, memperhatikan gaya jalan, cara berbicara, kondisi fisik, dan sebagainya. Saat kita membaca sebuah berita, saat berkenalan dengan orang baru, saat kita mendengar musik/suara tertentu, saat kita melihat postingan seseorang di media sosial, dan sebagainya. Itulah mengapa kritik begitu menjamur.

Bahkan saat ini. Kalian pasti juga sedang melakukan penilaian atas tulisan yang saya buat, apakah baik atau buruk. Bisa saja kalian menilai tulisan saya terlalu kaku, terlalu formal, terlalu biasa, atau bahkan di titik ini kalian merasa jenuh dan memutuskan untuk keluar dari blog saya. It's okay, karena itu semua hak pembaca. Saya hanya menekankan bahwa "kita pasti akan selalu menghakimi sesuatu", tanpa terkecuali. Itulah yang sedang terjadi sekarang, bukan?

Jadi, kalimat "Don't judge a book by its cover" bisa diartikan sebagai "Jangan lantas berpegang teguh pada penilaian yang kita lakukan pertama kali saat menilai sesuatu". Bisa saja seorang preman yang terlihat garang sebenarnya orang baik, bisa saja teman baik menjadi teman yang kejam, bisa saja musuh menjadi teman. Apapun yang terjadi, semua melalui proses penilaian. Personal judgement.

"Jangan pernah melakukan penilaian cepat atas tindakan seseorang, bisa saja suatu hari kita akan berada dalam posisinya" - unknown

"You're being judged no matter what, so be who you want to be" - unknown

Sekarang tergantung kita, apakah tetap mau berpegang teguh pada penilaian negatif yang dibuat, atau memaksa pikiran kita untuk selalu mengambil sisi positif dari suatu hal. Good or bad? It's all about our decision. One thing for sureKita akan selalu menilai sesuatu, tidak mungkin tidak. Itulah kenyataannya.

Jangan sampai kita tenggelam dalam kesedihan karena banyak dikritik, dicela atau direndahkan. Kritikan akan selalu ada, penghakiman pribadi akan selalu ada, karena kita pun melakukannya setiap saat. So hey, wake up please, hadapi dunia dengan cara kita sendiri! Terima kritik dengan lapang dada, ambil sisi positifnya, dan move on. Jangan biarkan komentar negatif orang menghalangi kita untuk bergerak maju.

-Bayu-




Note: Single Haim yang berjudul "Falling" mengiringi penulisan postingan ini. Trio musisi asal Amerika yang mengusung pop-rock ini menyajikan musik yang luar biasa, tidak mainstream.
Image source: wildhoneyrecords.com

READ MORE - Kita Akan Selalu Menghakimi Sesuatu
 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.