Menjadi Diri yang Tetap Berjuang

sumber: pixabay.com

Hujan di Malam Hari dan Benak yang Kalut

Saya suka mendengarkan suara hujan.

Ada semacam aura menenangkan mendengarkan deru hujan, seolah alam menginginkan kita untuk berhenti sejenak dari rutinitas dan menikmati alunan suara yang turun dari langit. Khususnya saat hujan tersebut turun di malam hari, bertepatan dengan momen kita beristirahat. Rasanya ingin bergelung di sofa yang nyaman, ditemani selimut tebal dan secangkir minuman hangat. Sebuah kondisi ideal yang menjadi dasar pernyataan "kebahagiaan itu sederhana" atau "menikmati kebahagiaan bisa dimana saja dan kapan saja".

Ya, itu benar sekali, tapi tidak berlaku untuk saya beberapa bulan lalu.

Saat itu Selasa malam, sekitar pukul sepuluh. Saya sudah berada di rumah. Masih di awal minggu kerja, dan seperti yang dialami oleh para pekerja yang berjuang dengan problematika kantor masing-masing, malam itu benak saya dipenuhi dengan berbagai ketakutan terkait pekerjaan, menyambungkannya dengan kejadian masa lalu, masa kini, dan masa datang. Seolah saya memiliki mesin waktu di dalam benak yang dapat mengulang semuanya.

Bukan sebuah kegiatan yang menyenangkan, pastinya. Pada beberapa kesempatan sebelumnya, saya dapat mengatur gejolak pikiran ketakutan itu dan meredamnya perlahan, namun entah mengapa, malam itu saya tidak bisa melakukannya. Saya sedang didera beragam masalah terkait pekerjaan yang dapat mengancam keberlangsungan karir ke depan. Sebuah masalah serius yang, sayangnya, terus melekat di kepala.

Tiba-tiba, turunlah hujan. Awalnya gerimis, lalu lama kelamaan semakin deras. Sejenak saya terdiam dan mencoba menikmati suasana. Tidak bisa! Semenit kemudian benak saya kembali menampilkan kilasan kejadian-kejadian mengerikan terkait masalah pekerjaan. Saya mengambil napas dan menghembuskannya perlahan, mengulangi kegiatan tersebut selama beberapa kali hingga tenang. Cukup berhasil, namun tidak sepenuhnya.

Akhirnya saya memutuskan untuk tidur saja. Saya mencoba berbaring menyamping, menatap rak buku sembari mendengarkan deru hujan. Ah, terasa damai, namun masih kurang. Benak ini terus memainkan kilasan ketakutan. Perlahan mata saya menelusuri setiap sisi rak buku, melihat satu-persatu koleksi buku fisik yang saya punya. Pandangan saya jatuh pada deretan album CD musik yang saya jejer disana (karena tidak memiliki tempat khusus, koleksi album CD musik ditempatkan di rak buku). Ada satu yang menarik perhatian, yakni album "Folklore" karya Taylor Swift. Gambar sampulnya yang bernuansa kelabu terlihat muram.

Terlihat muram atau pikiran saya yang membuatnya muram? Begini tampilan sampul depan albumnya:

Gambar sampul depan album "Folklore" milik Taylor Swift
Sumber: id.wikipedia.org

Saya turun dari ranjang dan menghampiri rak, mengambil album tersebut. Setelah diperhatikan seksama, ada sentuhan estetika yang indah di situ. Konsepnya sederhana, Taylor berdiri di tengah hutan, di kanan kirinya pohon-pohon tinggi menjulang. Sosok Taylor sendiri ditampilkan dalam proporsi kecil, mengimbangi pesona ketinggian pohon yang ingin dipancarkan. Baru kali ini saya bisa menikmati keindahan gambar sampulnya. Jelas, pengambilan foto besutan Beth Garrabrant ini patut diapresiasi.

Setelah mempertimbangkan sejenak, saya memutuskan untuk mendengarkan isi albumnya. Tidak ada salahnya mendengarkan musik di malam hari, siapa tahu bisa membuat mood saya membaik. Musik di dalam album "Folklore" itu sendiri memang indah, cocok sekali dengan selera saya. Setelah berkarya dengan musik country dan pop di album-album sebelumnya, melalui "Folklore", Taylor merepresentasikan indie pop, folk dan alternative. Album yang disusun selama pandemi Covid-19 ini berhasil memenangkan kategori paling bergengsi di Grammy Awards ke-63 (dilaksanakan di tahun 2021), yaitu Album of The Year

Pencapaian tersebut sangat mengagumkan, mengingat Taylor menjadi wanita pertama yang berhasil memenangkan kategori tersebut sebanyak tiga kali, setelah memperolehnya lewat album "Fearless" (2010) yang bernapaskan country dan "1989" (2016) yang mengusung pop. Dalam sejarah Grammy Awards sampai artikel ini dirilis, hanya ada tiga musisi pria yang tercatat berhasil melakukannya, yaitu Frank Sinatra, Stevie Wonder dan Paul Simon. Mungkin di masa mendatang, akan ada musisi wanita lain yang berhasil memenangkannya tiga kali juga (bisa jadi Adele atau Billie Eilish), namun menjadi yang pertama tentu merupakan catatan manis bagi seorang Taylor Swift.

Malam itu, ditemani deru hujan, musik Taylor Swift mengalun menemani kekalutan pikiran saya. Entah kebetulan atau bagaimana, aura di album ini cocok sekali didengarkan saat hujan. Saya tidak melakukan hal lain, melainkan hanya duduk di tepi ranjang, mendengarkan musik sembari menyesapi lirik yang tertera di dalam kemasan albumnya.


The Marvelous Taylor Swift

Potret kebahagiaan Taylor Swift saat menerima piala Grammy Awards untuk kategori paling bergengsi, Album of The Year, melalui album "Folklore" (Grammy 2021)
sumber: grammy.com

Mendalami album "Folklore", mau tidak mau saya teringat perjalanan karir Taylor Swift di dunia musik. Dari luar mungkin pesonanya terlihat sempurna, namun sama seperti musisi besar dunia lainnya, untuk menjadi seseorang yang berhasil menancapkan sejarah di dunia musik, perjalanannya tidak mudah. Kesuksesan tidak diraih dengan cara yang instan, melainkan bergejolak. Meski di awal karirnya Taylor berhasil memperoleh banyak penghargaan bergengsi, banyak sekali jalan terjal yang harus dia lalui sampai saat ini, mulai dari hubungan asmaranya yang kompleks dengan banyak pria; kemelut yang melelahkan dengan artis wanita lain; korban interupsi dan sindiran Kanye West; hingga yang paling menghebohkan, saat rekaman master enam album pertamanya yang direkam di bawah naungan Big Machine Records, tidak mampu dimiliki Taylor. Artinya, meski Taylor yang menulis sendiri lagu-lagunya (atau berkolaborasi) di enam album tersebut, dia bukanlah pemiliknya. Saya tidak terlalu mengerti makna konsep kepemilikan ini dalam industri musik, tapi yang pasti, drama tersebut sungguh menggemparkan dan membingungkan, saling tuding antara pihak satu dengan yang lain, saling sindir dan klarifikasi melalui media sosial, hingga menyeret artis lain untuk ikut bersuara.

Fiuh. Mengingat sebuah permasalahan harus dilihat dari dua sisi, saya sendiri sampai tidak tahu pihak mana yang berkata benar. Yang pasti, seorang Taylor Swift tidak akan membiarkan ketidakadilan yang menimpa dirinya dibiarkan begitu saja. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek termasuk legalitas, dia mencanangkan sebuah proyek super ambisius yang mungkin tidak akan pernah terbayangkan dalam rencana awal karirnya, yakni merekam ulang enam album pertama. Bukan satu atau dua, tapi enam. Melelahkan? Pasti. Saya jadi membayangkan bagaimana rasanya jika harus menulis ulang enam artikel di blog ini. Mungkin saya akan menyerah. Itu baru sebatas artikel pribadi, tidak sekompleks menyusun sebuah album musik.

Kata "menyerah" sepertinya tidak ada dalam kamus Taylor Swift. Buktinya, hingga artikel ini dirilis, dia sudah berhasil mengeluarkan dua album rekaman ulangnya: "Fearless (Taylor's Version)" dan "Red (Taylor's Version)". Produktivitas Taylor dan profesionalitasnya dalam berkarya memang tidak main-main. Belum lagi pencapaian fantastisnya pada album kembar "Folklore" dan "Evermore" yang dirilis di tahun bersamaan. Kedua album tersebut mengusung jenis musik yang sama, seolah mendengarkan satu album yang dibelah dua. Ulasan positif pun mengalir lagi, setelah pada dua album sebelumnya, kualitasnya kurang menggigit. Oh ya, daya magisnya tidak berhenti disitu. Tidak tanggung-tanggung, kedua album tersebut dinominasikan sebagai Album of The Year di ajang Grammy Awards berturut-turut (tahun 2021 dan 2022), namun hanya "Folklore" yang berhasil memenangkannya.

Begitulah kisah singkatnya. Mungkin kalian sendiri sudah mengetahuinya, atau bahkan lebih paham detilnya daripada saya. Intinya, keteguhan hati Taylor dalam memperjuangkan mimpi dan karyanya sungguh luar biasa. Apa yang ditampilkan oleh media bisa jadi hanya permukaannya saja. Kita tidak tahu seberapa pelik permasalahan hidup yang dialaminya, hingga dia bisa menjadi salah satu musisi ternama di kancah internasional. Sebegitu kuatnya pengaruh Taylor Swift hingga saat dia menuangkan pandangan politiknya (yang tidak pernah dilakukan sebelumnya) terkait pemilu di Amerika Serikat tahun 2018 melalui akun Instagram, tercatat kenaikan pemilih yang memberikan hak suaranya setelah itu. Wow. The real influencer.


Setiap Diri Kita Berjuang dengan Caranya Masing-Masing

Malam itu, setelah pikiran ini berkelana mengingat sepak terjang karir Taylor Swift sembari mendengarkan musiknya, saya merenung. Entah itu Taylor Swift ataupun saya sendiri, nyatanya semua orang bergelut dengan masalah hidupnya masing-masing, dan menyelesaikannya dengan cara berbeda juga. Tidak ada yang memiliki resep sukses mengatasi satu permasalahan dalam hidup, mengingat begitu banyak variabel yang ada dalam sebuah masalah, mulai dari keluarga, diri sendiri, hingga lingkungan, dan riak yang mungkin ditimbulkannya. Satu permasalahan selalu berbeda dengan permasalahan lainnya, jadi rasanya tidak adil jika kita menyamaratakan semua orang memiliki satu masalah sama. Misal, jika si A sedang patah hati karena ditinggal pergi kekasih, tidak bisa disamakan dengan si B yang telah berhasil melaluinya. Meski terlihat sama, pasti ada variabel pembeda dalam kedua masalah tersebut.

Lagipula, definisi "masalah" itu sendiri sepertinya relatif, tergantung sudut pandang seseorang, yang tentu saja berkaitan dengan latar belakang pendidikan, wawasan nonformal, pengalaman masa lalu, hingga lingkungan tempat dia bernaung. Misal, di saat momen kritis, sebuah kemeja yang kancingnya copot tentu saja menjadi masalah ringan bagi seorang penjahit atau mereka yang mengetahui caranya, namun menjadi sebuah masalah besar untuk mereka yang tidak memiliki kapasitas peralatan dan ilmu memadai.

Hal ini menjadi menarik untuk dicermati tatkala sebuah permasalahan yang sama menimpa orang yang juga memiliki kecenderungan sudut pandang yang sama. Dua teknisi komputer mungkin akan berbeda menyikapi masalah yang menimpa sebuah perangkat komputer. Atau lihat saja kasus Taylor Swift yang saya tulis sebelumnya. Jika permasalahan perebutan hak master musik menimpa musisi lain, mungkin tidak banyak yang akan selantang Taylor.

Jadi, sudah jelas bahwa ada banyak variabel dalam suatu masalah yang menimpa hidup seseorang. Mungkin terlihat sama, namun kenyataannya tidak seperti itu. Jika kita lebih sering menghakimi atau meremehkan permasalahan orang lain dan membandingkannya dengan masalah kita sendiri, sebaiknya hentikan pikiran semacam itu. Ada terlalu banyak hal-hal yang mungkin saja tidak kita ketahui mengenai sesuatu yang menimpa orang tersebut.


Meski Sulit, Tidak Ada Salahnya Terus Mencoba Berjuang

Kembali ke permasalahan yang sedang saya alami malam itu. Setelah pikiran ini tenang mendengarkan musik Taylor Swift, saya mengambil kertas dan pena, mencoba melakukan hal yang sudah beberapa kali saya lakukan sebelumnya saat berada dalam posisi kalut: menuangkan semua keresahan saya ke selembar kertas. Saya memberi nomor untuk setiap keresahan yang berkecamuk di benak. Rata-rata ada empat keresahan setiap kali saya menuangkannya. Malam itu, saya mencatat lima.

Oke, hai kalian lima keresahan yang berputar-putar di benak, kini kalian sudah tidak abstrak lagi, melainkan sudah menjadi sebuah kalimat di atas kertas! Entah apakah ini efek afirmasi positif atau apa, biasanya setelah menuliskannya, saya akan menjadi lega, seolah beban berat terangkat dari pundak, padahal masalahnya sendiri belum selesai, masih harus dihadapi.

Setelah mengembalikan album Taylor Swift ke dalam rak, saya menyimpan kertas "masalah" ke dalam tas, dan bersiap untuk tidur. Ya sudahlah. Apa yang terjadi besok, maka terjadilah. Saya tidak akan kabur, melainkan mencoba menghadapinya sebisa mungkin.

Kalian tahu apa yang terjadi keesokan harinya? Setelah berjuang dengan segenap aktivitas di kantor, sore harinya saya membuka kertas "masalah" dan membacanya. Dari lima masalah yang tertulis, secara ajaibnya, empat sudah teratasi di hari itu tanpa kendala besar. Satu lagi memang belum selesai, tapi setidaknya efek yang ditimbulkannya sudah lebih dapat saya kendalikan, tidak lagi seliar sebelumnya. Bisa jadi, di malam sebelumnya, seluruh keresahan itu hanya efek pikiran saya yang membesar-besarkannya karena berpikir terlalu jauh.

Oya, saya juga mendapat pencerahan penting. Ternyata kelima masalah yang saya takutkan itu, masih lebih mudah saya lalui ketimbang masalah besar yang pernah menimpa saya di tahun 2019. Di penghujung tahun itu, saya benar-benar berada dalam kondisi terpuruk, menjalani hari demi hari dengan penuh kelelahan dan kebingungan. Perubahan situasi sangat tidak terduga dan terus-menerus memburuk. Tidak terhitung berapa kali saya mengalami fase burnout di kantor maupun di luar kantor saat itu, hingga tidur tidak tenang. Beberapa rekan kerja menggambarkan fase itu sebagai fase "Bayu yang marah-marah terus".

Hehe. Lucu juga jika mengingat-ingatnya, karena sejatinya, saya bukan tipe pemarah. Setelah masa-masa gelap itu, perlahan saya belajar mengendalikan emosi dan berusaha menjadi versi terbaik diri saya. Sulit sekali, namun ternyata sedikit demi sedikit tampak perubahan nyata. Tidak sepenuhnya sempurna, karena tidak ada satupun manusia yang sempurna, bukan? Saya masih dan akan terus menghadapi banyak masalah setiap harinya dan di masa mendatang. Itulah hidup. Saya tidak lagi mengharap pada Tuhan untuk tidak mengirimkan masalah dalam hidup (entah berapa kali doa semacam ini saya panjatkan saat terpuruk), melainkan saya mengharap untuk "diberi kekuatan" saat masalah menimpa. Sepertinya konsep pengharapan yang kedua ini jauh lebih positif efeknya.

Saya jadi ingat sebuah gambar yang waktu itu pernah berseliweran di grup WhatsApp dan media sosial, yaitu gambar di bawah ini:

sumber: twitter.com

Gambar di atas menggambarkan dua kondisi berbeda. Di sisi kanan, ada seekor serigala kecil yang jatuh terpuruk dengan satu anak panah tertancap di punggung. Ada tulisan "The old me" (aku yang dahulu) di atasnya. Lalu, di sebelah kiri, ada gambar seekor serigala yang lebih besar dan kuat. Dia terlihat berjuang berdiri, padahal anak panah yang menusuk punggungnya jauh lebih banyak daripada si serigala kecil. Ada tulisan "Me now" di atasnya, yang diartikan sebagai "Aku yang sekarang". Kedua serigala tersebut sama-sama tertusuk anak panah dan berdarah, namun yang membedakan adalah ukuran badan dan jumlah anak panah.

Sepintas, tidak adil tampaknya melihat dua penggambaran tersebut. Jelaslah si serigala kecil langsung jatuh terpuruk, karena dengan ukuran badan seperti itu, dia tidak mampu menahan gempuran anak panah, sehingga satu saja sudah membuatnya jatuh. Tapi ada satu hal yang menarik disini, yani tulisan di atas masing-masing serigala. Serigala kecil digambarkan sebagai sosok diri yang dahulu, yaitu kerdil dan mudah jatuh hanya dengan satu serangan, sementara sosok serigala besar, adalah penggambaran diri saat ini yang sudah lebih dewasa, lebih kuat dan matang, sehingga dengan serangan bertubi-tubi, meski tetap membuatnya berdarah, dirinya masih sanggup berjuang untuk berdiri.

Beberapa tahun lalu, saat pertama kali disodori gambar tersebut, saya tidak terlalu memedulikannya, malah iba dengan sosok serigala yang digambarkan berdarah-darah. Kini, penggambaran tersebut sungguh membuat saya tersenyum simpul. Saya mengagumi kekuatan si serigala besar, yang masih sanggup berdiri diserang banyak anak panah. Ini sejalan dengan apa yang sudah saya uraikan di atas. Masing-masing diri kita menghadapi masalah berbeda. Kalau gambar itu diperhatikan lebih seksama, terlihat bahwa semakin besar si serigala, semakin banyak anak panah yang menusuk.

Mari ibaratkan anak panah sebagai "masalah hidup". Dalam rentang waktu bertahun-tahun sejak remaja hingga dewasa, sudah berapa banyak anak panah yang kita terima? Apakah kita sanggup menangkisnya, atau malah jatuh tersungkur? Jika tersungkur, apakah kita akan berusaha bangkit berdiri lagi? Kalau kita kerap iri pada mereka-mereka yang tampil hebat dan seolah tidak memiliki masalah, mungkin bukan merekanya yang tidak tertimpa masalah, melainkan mereka sudah jauh lebih matang menghadapi semua masalah yang menimpa.

Atau lihat saja sosok kalian masing-masing di depan cermin. Apakah ada perubahan yang tampak dibandingkan dengan dua, lima atau sepuluh tahun lalu? Siapa tahu sosok kalian saat ini sudah jauh lebih dewasa dan matang setelah berhasil melalui banyak perjuangan di tahun-tahun sebelumnya. Bisa saja tidak ada orang lain yang mengetahui seberapa besar perjuangan kalian. Tidak apa, masih ada satu orang yang bisa mengapresiasi kalian, yakni diri kalian sendiri. Dialah yang terus bersama sepanjang waktu. Diri kalian yang dahulu patut berterima kasih kepada diri yang sekarang.

Nah, sekarang untuk semua yang masih berjuang menghadapi problematika apapun dalam hidup: apakah kita harus berkembang menjadi serigala besar yang sanggup menahan banyak serangan dan tetap berdiri kokoh, atau menghindari itu semua dan menjadi serigala kecil saja? Pilihan ada di tangan kalian. Yang pasti, permasalahan hidup akan selalu ada. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dengan bijak dan berani bertanggung jawab akan resiko yang muncul dari pilihan tersebut.

Kembali pandangi sosok diri kalian di depan cermin. Tersenyumlah padanya, kuatkan tekad dan bangkit untuk terus melangkah.

-Bayu-


Catatan khusus selama proses menulis:

Untuk menghasilkan penggalan kata demi kata dalam artikel di atas, saya mendengarkan lagu Taylor Swift yang berjudul "The Last Great American Dynasty" terus-menerus selama proses menulis. Lantunan musiknya membuat benak saya "tergelitik" untuk menemukan ide menulis dan menuangkannya ke dalam blog. 


Penggalan lirik yang menarik:
"I had a marvelous time ruinin' everything"

sumber: id.wikipedia.org






READ MORE - Menjadi Diri yang Tetap Berjuang

Secangkir Teh Hangat, Hujan dan Kegiatan yang Tidak Direncanakan

sumber: unsplash.com

                       

Rencana di Pagi Hari yang Berakhir dengan Kudapan Manis


Oke, baiklah. Judul artikel ini terkesan asal menggabungkan kata demi kata, tapi sebenernya ada kisah tersendiri di baliknya.

Jadi begini. Kejadiannya terjadi di akhir tahun 2021, bermula dari sebuah aksi korporasi yang dilakukan oleh sebuah bank berprinsip syariah, yaitu menggabungkan beberapa bank berprinsip sama menjadi satu kesatuan dan nama baru. Kalian mungkin tahu bank apa yang saya maksud.

Singkat cerita, efek dari aksi korporasi tersebut membuat saya harus melakukan perpindahan atau istilahnya "migrasi" rekening dari bank lama ke rekening bank baru tersebut. Saya sudah melakukannya via online, namun entah mengapa, aplikasi m-banking saya mengalami masalah log in. Setelah menelepon pihak call centre beberapa kali, akhirnya saya malah disarankan untuk mendatangi langsung cabang terdekat jaringan bank tersebut, sekalian mengganti kartu ATM dan buku tabungan.

Merasa harus mempertahankan rekening ini demi alasan tertentu (fasilitas yang mereka tawarkan sungguh menarik), saya pun mengalokasikan satu hari khusus untuk mengurus administrasinya. Tidak satu hari penuh sih sebenarnya, hanya sekitar lima belas sampai dua puluh menit saja, tapi mengingat antrian dan tuntutan pekerjaan yang sulit ditinggal, saya harus jeli memanfaatkan waktu. Akhirnya saya menemukan celah di hari Jumat. Pagi hari adalah waktu yang cocok, karena masih segar dan kebetulan semua tumpukan pekerjaan yang bertenggat waktu sempit sudah saya selesaikan beberapa hari sebelumnya.

Apa daya, ternyata saya datang terlalu pagi! Entahlah, mungkin saya yang terlalu antusias atau kantor cabang bank ini tidak menerapkan waktu buka yang sama seperti bank-bank lain. Apapun itu, masih ada waktu setengah jam lagi sebelum kantor cabang tersebut beroperasi. Merasa tidak ada gunanya menunggu di area tersebut (tidak ada kursi atau penampakan tempat yang layak dijadikan tempat menunggu), saya memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar, sembari menikmati suasana pagi.

Setelah menelusuri jalan selama kurang lebih lima menit, mata saya menangkap sebuah logo kafe yang menawarkan minuman dan makanan manis. Wah, kebetulan sekali. Meski sepi, untungnya bangunan itu sudah beroperasi normal. Begitu pintu menggeser terbuka di hadapan saya, tercium aroma roti manis dan kudapan lain yang seketika membuat air liur menetes. Saya jarang mengkonsumsi makanan atau minuman manis di pagi hari, namun saat ini, rasanya itu hal terbaik yang bisa saya lakukan untuk menghabiskan waktu.

Perlahan, saya mendekati kasir. Papan menu yang terpampang di belakang memperlihatkan deretan minuman olahan yang kesemuanya berteriak, "Gula!" "Kafein!" di dalam kandungannya. Mata saya tertumbuk pada satu baris menu yang cukup menenteramkan: teh hangat, atau istilah yang tertera disana adalah hot tea (mungkin bagi kafe ini, menggunakan menu dalam bahasa Inggris jauh lebih terlihat menarik ketimbang bahasa Indonesia).

Hm, teh hangat ya? Terlalu standar sepertinya, tapi saya tidak butuh asupan macam-macam pagi ini. Meski teh juga mengandung kafein, tapi setidaknya lebih rendah daripada kopi. Perut saya sudah diisi sarapan mengenyangkan sejak dari rumah. Rasanya tambahan secangkir teh hangat dan sebuah roti sudah cukup.

Setelah membayar, saya memilih lokasi duduk di sudut kafe. Posisi saya sengaja menghadap pintu masuk, karena saya ingin menikmati kegiatan sederhana, gratis dan menyenangkan, yaitu mengamati orang yang lalu-lalang di trotoar. Pagi itu terlihat beberapa karyawan kantor yang sedang tergesa-gesa berjalan menuju kantornya, atau sekelompok remaja yang bersenda gurau sembari berjalan pelan. Banyak sekali karakter yang saya amati pagi itu, dan benak saya selalu berimajinasi membayangkan apa yang sedang mereka lakukan, pikirkan, dan semacamnya. Ini sudah menjadi kebiasaan sejak dulu saat mengamati orang yang berlalu-lalang.

Tanpa terasa, setengah jam sudah berlalu. Teh hangat dan roti yang saya pesan juga tinggal menyisakan remah. Ah, padahal saya masih ingin menikmati kegiatan ini. Ketika keluar dari tempat itu dan menuju lokasi bank, mau tidak mau saya tersenyum simpul, membayangkan betapa mudahnya rencana yang sudah disusun dari awal, malah berakhir dengan kudapan manis.

Apakah hal spontan dan menyenangkan seperti ini bisa terjadi lagi? 

sumber: unsplash.com

 

Kegiatan yang Menyimpang dari Rencana Terkadang Justru Lebih Menyenangkan

Jika diingat-ingat, dari seluruh kegiatan yang saya rencanakan dengan matang di awal, tidak semuanya berakhir sesuai dugaan. Ada saja yang tidak berakhir dengan baik, menimbulkan masalah baru, atau malah tidak terlaksana sama sekali. Ini berlaku untuk rencana yang sederhana hingga yang rumit.

Bukan berarti saya selalu gagal. Ada saja momen dimana saya harus melakukan penyesuaian ulang di tengah jalan terhadap kegiatan yang sudah disusun secara rapi. Misal, saya sudah merencanakan untuk pergi ke pusat perbelanjaaan membeli sesuatu barang, namun terkadang timbul masalah di sisi transportasi, di lokasi, di tempat makan, dan sebagainya. Masalah sederhana sih, tapi tetap saja di luar dugaan. Jika kondisi emosi sedang tidak stabil, hal-hal kecil semacam itu justru bisa menimbulkan amarah.

Padahal, kalau dipikir secara mendalam, tidak ada satu manusia pun yang bisa meramal persis masa depan. Artinya, kita tidak akan tahu apa yang terjadi dalam satu menit, satu jam, satu hari atau satu tahun dari sekarang. Bahkan, kita juga tidak tahu akan menjadi seperti apa diri kita di masa mendatang.

Lalu, apakah itu membuat kita lantas berpangku tangan begitu saja dan membiarkan hidup mengambil alih kendali? Tidak, lebih tepatnya adalah kita sebaiknya mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, namun persiapkan mental kita untuk mendapatkan kejutan tidak terduga di tengah jalan. Jika mental kita tidak siap, saya yakin sekecil apapun penyimpangan yang muncul, bisa berakibat fatal. Misal kita tahu bahwa banyak tempat makan akan dipadati pengunjung saat mendekati jam makan siang, namun karena tidak mempersiapkan diri menghadapi ini dan berakibat kita tidak jadi makan di tempat yang diinginkan, kita malah melampiaskan emosi ke hal-hal yang tidak semestinya.

Masih banyak contoh lain. Saya yakin kalian sendiri pasti pernah mengalaminya. Tapi tidak semua penyimpangan tersebut negatif. Ada kalanya positif, sama seperti yang saya alami di kisah pembuka. Atau itu hanya keberuntungan semata? Entahlah. Bicara mengenai keberuntungan, saya jadi ingat buku "Time Smart" karangan Ashley Willans. Buku itu berisikan banyak teori-teori menarik mengenai waktu dan bagaimana cara kita memaksimalkannya.

Di buku tersebut, ada satu penggalan bab yang menarik mengenai waktu luang dan keberuntungan. Ashley mengatakan bahwa "Jika kita terikat terlalu ketat terhadap rencana, kita bisa saja kehilangan kesempatan untuk menciptakan keberuntungan kita sendiri. Richard Wiseman, profesor psikologi di Universitas Hertfordshire, menemukan bahwa salah satu faktor yang membedakan antara orang yang tidak beruntung dengan yang beruntung adalah mereka yang beruntung, bersedia melakukan penyimpangan dari rutinitas mereka dan tetap terbuka atas segala kemungkinan yang bakal terjadi. Saat penelitian ini semakin berkembang, didapat hasil bahwa saat kita bersedia menyisihkan waktu dalam hidup untuk hal-hal di luar rencana, kemungkinan besar akan menuaikan hasil yang bermanfaat."

Saya tidak tahu prosedur apa yang digunakan Profesor Wiseman dalam penelitiannya terhadap hal ini, tapi dari kalimat yang ditulis Ashley Willans di buku tersebut, ada kesimpulan menarik yang bisa diambil, yaitu jika kita bersedia menyisihkan waktu untuk hal-hal di luar rencana dan terbuka atas segala kemungkinan yang terjadi, siapa tahu akan ada manfaat yang diperoleh. Ini sejalan dengan yang saya alami di kisah pembuka. Saat itu saya benar-benar membiarkan segala opsi terbuka, dengan memilih untuk berjalan-jalan santai menyusuri jalan hingga menemukan sebuah kafe dan melakukan kegiatan yang saya anggap menyenangkan.

Tidak hanya sekali dua kali kesempatan, tapi semakin diingat, semakin saya mendapati sebuah temuan menarik. Ada kalanya saat saya merencanakan pergi makan di luar bersama beberapa orang di satu waktu, malah tidak jadi sama sekali. Berbeda jika saya secara spontan mengajak mereka di saat itu juga (dengan situasi dan kondisi yang mendukung tentunya), biasanya justru terlaksana.

Hm, mungkin kegiatan spontan ini bisa saya terapkan juga di waktu lain.


Secangkir Teh Hangat: Bagian Dua

Setelah kejadian menyenangkan yang saya alami di kafe itu, saya jadi terus membayangkan suatu hari akan kembali ke sana untuk menuntaskan kegiatan mengamati orang berlalu-lalang yang sempat tertunda. Kebetulan beberapa bulan yang lalu saya sedang mencari sebuah barang dan lokasinya tidak jauh dari kafe tersebut. Tepat sekali. Di benak ini sudah terbayang rasanya menikmati suguhan secangkir teh hangat lagi, mungkin kali ini saya akan mencoba menu lain untuk makanannya. Bagaimana lokasi tempat duduknya ya? Semoga saja saya mendapat tempat duduk yang waktu itu. Kalaupun tidak, masih ada deretan lain yang mengarah ke atah trotoar, jadi masih banyak pilihan. Oke sekarang tinggal menentukan waktunya. Kalau waktu itu pagi hari, kali ini saya akan mencoba datang saat sore. Menikmati senja dengan tenang di salah satu sudut kota Jakarta pastilah menyenangkan.

Persiapan lengkap sudah. Saya bahkan membawa laptop dan sebuah buku catatan. Saya berniat mencatat hal-hal yang menyenangkan di tempat tersebut, membaca buku sembari mendengarkan lagu favorit atau membaca artikel menarik di kanal media online

Kafe itu masih sama seperti terakhir kali saya masuki. Ini bukan jenis kafe gerai internasional terkenal yang sering dijadikan tempat berkumpul orang-orang itu. Bukan. Ini hanya sebuah tempat makan yang sederhana, menyajikan makanan dan minuman ringan, namun penataan tempatnya menyenangkan. Untungnya, sore itu kondisi kafe tidak terlalu ramai. Meja yang saya incar masih kosong. Setelah membayar makanan dan minuman di kasir, saya kembali ke meja untuk menikmatinya.


sumber: hipwee.com

Betapa terkejutnya saya saat beberapa menit kemudian, hujan turun cukup deras. Memang kondisi cuaca sulit diprediksi saat itu, tapi saya mengira hujan akan turun di malam hari. Hujan membuat trotoar menjadi sepi dari pejalan kaki karena mereka semua berteduh di suatu tempat, tidak berani meneruskan perjalanan di tengah hujan deras. Pemandangan yang tampak di depan saya hanya air hujan yang turun deras dari langit.

Hmh, pupus sudah rencana saya menikmati senja yang menyenangkan. Saya menyeruput teh dan menikmati kehangatannya menjalar ke seluruh badan. Saya mencoba menutup mata dan mendengarkan deru hujan tanpa melihatnya. Mungkin jika ada yang melihat posisi saya saat itu, akan mengira saya tidur sembari duduk, tapi sebenarnya saya sedang meresapi gemuruh hujan di telinga.

Saya pernah membaca suatu artikel yang menyatakan bahwa suara hujan dengan ritme tetapnya, dapat membuat pikiran menjadi rileks. Sepertinya itu yang terjadi pada saya. Suara hujan itu terasa menenangkan. Saat membuka mata kembali, saya melihat sudut kota Jakarta dengan pandangan lain. Bukan lagi kota yang sedang terguyur hujan, melainkan kota yang sedang melakukan "pembersihan". Kota yang terbangun dari tidur dan bersiap menyambut kelahiran baru setelah "dibersihkan" oleh hujan.

Entah kenapa, pikiran itu terasa menyenangkan. Saya mengalihkan padangan ke sekeliling kafe dan mendapati beberapa orang sedang terlibat percakapan intens. Ada sebuah keluarga yang terlihat bahagia, tertawa-tawa menceritakan lelucon. Ada juga pasangan yang tampak tidak peduli satu sama lain, hanya memainkan ponsel masing-masing. Di sudut kafe, ada seorang pria paruh baya yang sedang menelepon dengan nada marah-marah, entah apa yang membuat dia kesal. Di sudut satunya, ada seorang ibu dan anaknya yang masih kecil, tampak menikmati hujan di luar sembari menyesap minuman hangat. Di belakang konter, kasir terlihat bosan, sementara rekan kerjanya sedang mengerjakan sesuatu di bagian etalase makanan.

Kenapa saya harus kecewa mendapati hujan turun sementara hujanlah pembawa berkah. Kenapa saya harus kecewa tidak ada orang-orang yang berlalu lalang di trotoar sementara di kafe ini, ada beberapa orang dengan karakternya masing-masing. Akhirnya saya membuka buku catatan dan menulis setiap orang yang saya lihat di dalam kafe, berikut imajinasi mengenai apa kiranya yang sedang mereka lakukan. Mungkin ini terdengar aneh, tapi saya menikmatinya. Saya mulai membayangkan adegan dalam sebuah film, menggabungkan satu karakter dengan karakter lain, dan tanpa terasa saya sudah menuliskan sebuah draft cerita pendek. Mungkin dapat dikembangkan menjadi ide lain.

Ide?

Tiba-tiba saya tersadar. Kenapa tidak saya tuangkan saja menjadi artikel di blog? Sudah sedemikian lamanya saya berhenti dari kegiatan menulis, dan malah tidak menganggap bahwa kesempatan berharga ini dapat dijadikan peluang untuk menelurkan artikel terbaru. Lagipula, saya kan sedang membawa laptop! Kenapa tidak dimanfaatkan?

Segera saja saya membuka laman blogger dan tertegun melihat fakta bahwa artikel terakhir yang saya publikasikan, adalah di Agustus 2020. Sudah lebih dari satu setengah tahun. Uniknya, artikel itu berjudul "Pantas Saja Saya Selalu Kembali Menengok Blog Ini" dan kini, saya kembali menengoknya. Hehe. 

Setelah membaca ulang beberapa artikel di blog untuk mendapatkan mood menulis dan gaya bercerita yang saya susun, saya langsung membuka daftar lagu di laptop dan mencari pilihan yang cocok untuk didengarkan selama proses menulis (ini sudah menjadi kebiasaan lama yang sulit dilepaskan, justru menjadi bagian tak terpisahkan dalam kegiatan menulis itu sendiri). Setelah saya meresap atmosfer yang didapat dari lagu, jemari saya bergerak perlahan di atas keyboard, mulai menyusun huruf demi huruf. Awalnya canggung sekali, namun lama-lama huruf membentuk kata, kata membentuk kalimat, kalimat membentuk paragraf, dan draft awal pun tersusun. Butuh waktu dan persiapan mental untuk proses penyuntingan (beberapa bulan, ehem), hingga akhirnya saya memberanikan diri untuk merilisnya di blog.

Well, sebuah rencana yang tersusun rapi jauh-jauh hari, tanpa niat sama sekali terkait dunia tulis-menulis, justru berakhir dengan sebuah tulisan di blog. Saya jadi berpikir, apakah jika hujan tidak turun dan saya tidak membawa laptop, akankah saya masih tertarik untuk menulis? Bagaimana jika rencana awal justru benar-benar terjadi? Apakah blog ini masih akan terbengkalai?

Entahlah. Saya tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Saya bersyukur hujan membawa berkah tersendiri, yaitu membuka pikiran saya bahwa ada begitu banyak kegiatan lain yang bisa dilakukan saat rencana awal tidak terlaksana. 

Oya, tentu saja ditambah bantuan secangkir teh hangat.

-Bayu-


Catatan khusus selama proses menulis:

Saat membutuhkan musik untuk membantu ide menulis agar lebih lancar, saya berhasil mengulik-ulik daftar lagu dan menemukan satu yang menenangkan pikiran, yakni dari duo musisi asal Norwegia, Royksopp, yang berjudul "Remind Me. Ah, musik ini sungguh membawa nuansa khusus. Saya mendengarkannya terus selama menulis artikel di atas. Terima kasih Royksopp, karya kalian menyelamatkan mood saya.


Penggalan lirik yang menarik:
"And everywhere i go
There's always something to remind me
Of another place and time
Where love had traveled far and found me"

sumber:
sumber: en.wikipedia.org








READ MORE - Secangkir Teh Hangat, Hujan dan Kegiatan yang Tidak Direncanakan

Pantas Saja Saya Selalu Kembali Menengok Blog Ini

sumber: hai.grid.id

Film Drama-Biografi "Saving Mr. Banks" yang Menyentuh

Kalian tahu Mary Poppins?

Hayo, tebak siapa dia?

Dia adalah karakter rekaan Pamela Lyndon Travers (atau lebih dikenal dengan P.L. Travers -- seterusnya kita sebut saja dengan Pamela ya), penulis ternama asal Australia-Inggris. Muncul pertama kali pada novel di tahun 1934, dikisahkan bahwa Mary Poppins adalah seorang pengasuh anak (nanny) "ajaib" yang datang entah dari mana, untuk mengasuh anak keluarga Banks (sesuai cerita dalam bukunya). Keluarga Banks yang terjerat masalah lama-lama menyadari kehadiran Mary Poppins begitu berarti dalam hidup mereka, terutama anak-anak.

Pola pengasuhan yang unik dan ajaib (dalam artian sebenarnya, karena diceritakan Mary Poppins memiliki semacam kekuatan magis untuk melakukan ini itu -- ya, ini adalah kisah fantasi untuk anak-anak, jadi hal-hal semacam ini lazim ditemukan, bukan?) membuat cerita ini menjadi menarik, apalagi diselipi pesan mendidik. Hal itulah yang membuat kepopuleran karakter ini melejit ke seantero dunia.

Kejeniusan Pamela dalam meramu kisah Mary Poppins membuat Walt Disney (ya, si Walt Disney asli) tertarik untuk mengangkatnya ke layar lebar. Tapi tidak semudah itu memikat hati sang empunya cerita. Wanita berkarakter keras kepala ini enggan melepas karya terbesarnya menjadi media film. Dia menganggap Mary Poppins sudah sebagai keluarganya sendiri, sehingga tidak rela jika karakter tersebut diterjemahkan oleh industri Hollywood secara serampangan. 

Apakah lantas Walt Disney gentar? Ternyata tidak. Setelah belasan tahun membujuk dan terus membujuk, akhirnya dia mendapat sebuah titik terang. Kesulitan finansial yang diderita Pamela membuat situasi berubah. Mau tidak mau wanita itu harus menerima permintaan Walt Disney, demi memperoleh penghasilan. Pengikatan kerjasama dan royalti yang akan mengalir, sudah tentu akan menjadi penyelamat keuangannya. Setelah diyakinkan oleh agennya sendiri, Pamela pun bertolak dari London menuju Los Angeles (tahun 1961), menemui Disney. Prinsipnya tegas: jika pertemuan tersebut tidak berjalan dengan baik, Pamela tidak akan menandatangani kontrak apapun. Titik.

Intrik dan drama seputar tarik-menarik kepentingan antara Pamela dan Walt Disney dalam mengolah novel Mary Poppins ke dalam media film menjadi tema khusus yang diangkat oleh film "Saving Mr. Banks" (2013). Jika kebanyakan film biografi menampilkan sepak terjang seseorang dalam berkarya dan mengejar kesuksesan, lain halnya dengan film ini. Sang pembuat film memang mengajak kita menyelami kehidupan seorang tokoh terkenal (dalam hal ini sang penulis), mulai dari masa kecil hingga dewasa, namun berfokus pada dinamika yang terjadi dalam keputusan berat saat pengambil alihan hak cipta karyanya. 

Konflik tersebut yang membuat saya tertarik untuk mengikuti jalannya film hingga selesai. Oh ya, alurnya sendiri tidak dituturkan dalam runutan waktu yang linier, namun melompat-lompat antara masa kini dan masa lalu. Kita harus jeli mengaitkan fragmennya satu demi satu, memperhatikan detil yang coba disampaikan dalam beragam simbol, entah itu percakapan, bahasa tubuh, hingga properti yang digunakan dalam setiap adegan (bahkan pemilihan buah yang ditampilkan saja bisa menjadi sangat penting untuk menjelaskan cerita). Saat kepingan alurnya terbuka satu demi satu, dan kepingan penting muncul di paruh akhir, barulah kita mengerti motif tindakan si pelaku utama.

Ah, filmnya sangat menyentuh. Indah sekali.

sumber gambar: vwartclub.com

Kisah Pamela dan Keterikatan dengan Masa Lalu

Pamela ditampilkan sebagai wanita keras kepala yang tidak tahan dengan beragam ide terkait film Mary Poppins. Dia tidak mau ada animasi, tidak ingin salah satu karakter utama ditampikan berkumis, tidak ingin ada warna merah dalam film (coba bayangkan, mau jadi seperti apa filmnya? Lebih baik film hitam putih saja kalau begitu), hingga tidak sudi menjadikannya film musikal. Baginya, itu konyol.

Kita akan dibuat kesal sekaligus tergeli-geli sendiri melihat tingkah Pamela yang dengan tegasnya meneliti setiap kata dalam naskah (bahkan semua harus dibacakan satu persatu dan direkam!), meneliti setiap adegan, setiap penggambaran tokoh, setiap musik yang dibuat, sampai kelogisan alurnya. Jika ada satu saja bagian yang tidak sesuai dengan prinsipnya, dia akan mengamuk dan menuntut sedemikian rupa agar diubah. Penulis naskah, para penulis lirik lagu, sekretaris, hingga Walt Disney sendiri sampai kewalahan menghadapi wataknya yang keras kepala.

Pamela tidak segan mengkritik ini itu, karena dia merasa tidak dituntut apapun, alias nothing to lose. Jika tidak sesuai keinginan, dia tidak akan menandatangani kontrak. Ancaman semacam itu jelas membuat Walt Disney gerah. Dia sendiri bersikeras mewujudkan film Mary Poppins karena ingin mewujudkan janji pada anaknya, yakni membawa Mary Poppins ke layar lebar.

Pemenuhan janji pada sang anak (sisi Walt Disney) vs pemenuhan prinsip hidup (sisi Pamela). Yah, meskipun film "Mary Poppins" sendiri sudah berhasil difilmkan di tahun 1964 dan memperoleh 13 nominasi Oscar (memenangkan 5 diantaranya, termasuk "Best Actress in A Leading Role" untuk Julie Andrews), jalan menuju keputusan final rilis film bukanlah sesuatu yang sesederhana itu.

Film "Saving Mr. Banks" tidak berisikan persaingan melulu diantara dua karakter utama. Film ini lebih bercerita mengenai faktor "mengapa"-nya. Mengapa Pamela sangat gigih mempertahankan kesucian Mary Poppins? Itulah yang dikupas. Kupasannya pun perlahan namun pasti. Penonton digiring dulu ke masa kini, saat Pamela harus berhadapan dengan orang-orang di dalam studio besar Walt Disney, kemudian kita akan disuguhkan dengan masa lalu Pamela, yang jauh dari hingar-bingar kehidupan kota. 

Pamela kecil ternyata menyimpan kisahnya sendiri yang terus dibawa hingga dewasa. Kegetiran hidup yang harus dia rasakan sedari kecil, sekaligus kenangan akan orang terkasih, membuat Pamela dewasa tampak kokoh di luar, namun rapuh di dalam. Karakter dan kisah Mary Poppins ternyata adalah jelmaan masa lalu yang tidak berhasil diikhlaskannya, hingga dia bersikeras mempertahankan sampai titik darah penghabisan, bagai induk harimau melindungi anaknya. Begitu dalamnya keterikatan Pamela dengan Mary Poppins, menjadikannya "luka" hidup yang terus dibawa. 

Sebuah beban berat yang menghantuinya hingga dewasa.

sumber gambar: tatahome.com

Kita Semua Memiliki Kisah untuk Diabadikan

Film "Saving Mr. Banks" sukses membuat saya sedih sekaligus tersenyum dalam waktu bersamaan. Sedih mengikuti kegetiran hidup yang dirasakan Pamela, dan tersenyum mengingat betapa sebuah kenangan masa kecil bisa menjadi landasan perkembangan karakter seseorang. Kejeniusan Pamela dalam menciptakan kisah Mary Poppins tanpa sadar menjadikan diri dia kuat, namun juga lemah. Begitu sayangnya Pamela pada Mary Poppins, semata merupakan perwujudan melindungi luka di masa kecil yang belum sembuh.

Hm, bicara mengenai kenangan masa lalu, siapa sih yang tidak memiliknya? Kalian pasti, tidak diragukan lagi, memiliki kisah masa lalu, entah itu menyenangkan, pahit, hambar, atau menyedihkan. Apapun itu, sadar tidak sadar, membawa kita menjadi pribadi dewasa seperti saat ini. Pribadi seperti apa? Hanya kalian yang mampu menjawabnya.

Melihat karakter Pamela dalam film "Saving Mr. Banks" membuat saya merenungkan sesuatu. Jika Pamela dewasa saja sampai sedemikian keras kepalanya melindungi bagian masa kecil dia melalui sosok Mary Poppins, apakah saya juga melakukan hal yang sama? Adakah tindakan saya yang dianggap melindungi ingatan atau luka batin masa lalu?

Entahlah. Ternyata sulit juga menemukan korelasinya. Hingga suatu hari, saat membaca ulang beberapa artikel dalam blog ini, saya menyadari sesuatu. INI DIA! Ternyata blog ini adalah pelestarian ingatan masa lalu. Saya mulai menulis di tahun 2015. Sejak itu hingga saat ini, gejolak emosi mengalami tren naik turun akibat kejadian-kejadian yang tidak sanggup saya ceritakan (terlalu pribadi). Tanpa disadari, semua artikel di blog ini menyimpan kecemasan, kegetiran, kebahagiaan, kemarahan, kesedihan hingga kerapuhan pribadi saya sendiri. 

Emosi yang tertuang melalui semua tulisan di blog, ternyata memiliki semacam benang merah, yang membuat saya tersenyum saat membayangkannya. Menggelikan sekaligus memuaskan. Maaf saya tidak bisa mengatakan apa itu, namun "pemahaman" tersebut membuat saya mengaitkannya dengan film "Saving Mr. Banks". Jika Pamela mempertahankan karakter Mary Poppins sedemikian rupa, maka bisa dibilang, saya juga akan melakukannya dengan blog ini.

Isi/topik artikel, gaya menulis, pemilihan gambar, hingga lagu di catatan kaki (bahkan ini menjadi faktor krusial pertama yang harus ditentukan sebelum mulai menulis), semua memiliki makna tersendiri. Saya juga sulit berpisah dari blog ini. Seringkali berhenti lama, namun masih saja terus kembali. Setiap tahun saya rela mengeluarkan biaya untuk sewa hosting, padahal menulis konsisten saja sulitnya minta ampun. Entah kenapa, selalu ada momen untuk kembali membuka blog (biasanya bermula dari membaca-baca artikel lama), kembali menuangkan pemikiran, meski jedanya bisa dalam hitungan bulan yang panjang. Ternyata masalahnya cuma satu: keinginan mengabadikan sebuah kisah, yang mana kisah itu sangat mempengaruhi hidup saya. Jika blog ini ditutup permanen, maka kisah itu akan hilang.

Tidak ada yang salah dari motif tersebut, bukan? 

Lagipula, bukankah itu yang juga dilakukan oleh pembuat karya lain? Pelukis, pematung, penulis, pembuat film, musisi dan lain sebagainya? Akan selalu ada kisah hidup mereka yang dituangkan dalam karya, sadar atau tidak disadari. Musik yang kita dengarkan, buku yang kita baca, film yang kita tonton, lukisan yang kita amati, dan sederet benda hasil karya yang kita konsumsi selama ini... semua merepresentasikan cara pandang si pembuat karya tersebut, sedikit banyak berdasarkan kisah hidupnya sendiri.

Itulah sebabnya sebuah tulisan dalam blog pribadi, meski temanya sama, namun tidak akan pernah dituangkan sama persis kata per kata. Dalam menulis sesuatu, akan selalu dipengaruhi oleh sudut pandang pribadi sang penulis, karena dia pasti berasal dari lingkungan yang menganut nilai-nilai sosial, kebahagiaan, kerapuhan hingga kesedihan yang berbeda-beda. Satu tema, berbeda persepsi. 

Jika hal tersebut dipikirkan secara mendalam, akan sangat menyentuh. Ah, itulah mengapa film "Saving Mr. Banks" terasa spesial bagi saya. Apa yang kita lakukan, merupakan cerminan nilai-nilai kehidupan yang kita anut. Bagaimana kita memperlakukan diri sendiri dan orang lain, juga perwujudan dari hal tersebut. Akan selalu ada sebuah kisah untuk diabadikan, dalam bentuk apapun, bahkan mungkin tanpa kita sadari keberadaannya. Buku harian, media sosial, surat-menyurat, foto, puisi, video dan lain sebagainya.

Coba renungkan sejenak benda-benda yang kalian miliki, momen-momen yang kalian jalani, kebiasaan-kebiasaan yang kalian lakukan. Bukankah setiap harinya kita menjalani hidup dengan mengabadikan kisah kita sendiri?

-Bayu-




Catatan selama proses menulis:

Bagi saya, tidak lengkap rasanya menulis tanpa ditemani musik. Kali ini, saya mendengarkan komposisi musik scoring karya Thomas Newman yang berjudul  "Ginty My Love" (diambil dari album soundtrack "Saving Mr. Banks") selama proses menulis artikel di atas. Alunan musiknya indah sekali, terdengar penuh semangat, ceria dan melankolis di saat bersamaan, membuat saya selalu berpikiran positif selama menulis. Thomas Newman adalah seorang komposer musik ternama asal Amerika Serikat yang sering menelurkan karya-karya mengagumkan untuk digunakan sebagai scoring musik film. Musik yang diciptakannya untuk film "Saving Mr. Banks" ini terdengar menyentuh, emosional, sekaligus imajinatif.

Penggalan lirik yang menarik:
(Tidak ada lirik untuk lagu ini)


sumber gambar: amazon.com


READ MORE - Pantas Saja Saya Selalu Kembali Menengok Blog Ini

Apa Asyiknya Membaca Buku?

sumber gambar: trishbookshelf.blogspot.com

"We read to know we're not alone
" -- William Nicholson

"Apa asyiknya membaca buku?"


Pertanyaan itu sempat dilontarkan oleh seorang teman saat dia tahu bahwa setiap bulan saya kerap menyisihkan dana untuk membeli buku. Selama beberapa detik saya hanya bisa terpaku dan tersenyum canggung. Itu sama saja seperti bertanya kepada seorang penggemar traveling, "Apa asyiknya jalan-jalan?" 


Kita semua mampu untuk pergi jalan-jalan, minimal keliling kota kelahiran, namun apakah kita semua senang melakukannya? Jangan salah. Ada lho orang yang tidak suka berjalan-jalan. Serius. Banyak yang memiliki dana berlebih, namun kenapa sebagian dari mereka tidak mengalokasikannya untuk traveling? Teori yang sama berlaku dalam hal membaca buku. Kalian semua para pembaca blog ini pasti bisa membaca buku, bahkan itu adalah kewajiban mutlak sejak mengenyam pendidikan dasar. 


Pertanyaannya adalah: apakah kita senang melakukannya?


Mendapat kesenangan saat membaca buku itu penting, karena akan memicu kita untuk puas, terus membaca dan mendapat banyak wawasan. Sebuah buku bacaan tidak harus selalu diidentikkan dengan novel. Ada orang yang hampir tidak pernah membaca karya fiksi, namun sering membaca nonfiksi. Tidak masalah, itu tergantung selera, yang pasti dia telah menemukan kepuasan membaca buku. Nah, itu yang harus diraih. Tanpa sensasi tersebut, sepertinya akan sulit untuk menjadi seseorang yang gemar membaca.

Di artikel-artikel sebelumnya, saya sempat membahas mengenai bahan bacaan yang banyak beredar di sekeliling kita. Ada banyak jenisnya, mulai dari majalah, komik, novel, buku pelajaran, hingga artikel di internet. Semua itu bisa kalian baca. Sama seperti makanan, tubuh kita tetap butuh asupan nutrisi dari hidangan yang sehat, meski terkadang kita malah mengabaikannya dan beralih ke konsumsi camilan.


Bicara mengenai asupan, semua jenis bahan bacaan memiliki porsi masing-masing dalam menyuplai asupan untuk otak, baik itu bahan bacaan sesungguhnya, atau sekedar bahan bacaan camilan (bahan bacaan ringan)

Saya tertarik untuk mengangkat tema mengenai buku bacaan karena beberapa hari belakangan ini, saya tergerak untuk membaca sebuah buku yang dibeli beberapa tahun lalu (saya sendiri baru sadar pernah membelinya). Buku itu kini masih dalam proses dibaca, dan diri ini merasa senang sekali dapat kembali larut dalam sebuah bacaan. Larut dalam dunia yang diciptakan para penulis. Menyelami setiap huruf, kata dan kalimat yang tercetak. Hebatnya lagi, stres yang saya alami seolah menghilang sejenak bersamaan dengan intensitas membaca.

Nah, itulah yang saya maksud dengan kepuasan membaca buku. Saya sungguh menyukai jenis buku yang sedang dibaca ini, sehingga memicu rasa penasaran untuk terus membacanya hingga tuntas. 


sumber gambar: tivertonlibrary.org

"Books are a uniquely portable magic" -- Stephen King



Sensasi Saat Larut Membaca Sebuah Buku 

Larut dalam membaca buku sama menyenangkannya seperti larut dalam menulis. Banyak yang mengatakan bahwa jika kita merasa buntu dalam menulis, maka membacalah untuk mendapatkan asupan ide dan energi. Beberapa bulan belakangan ini memang bukan waktu terbaik saya dalam menghasilkan tulisan di blog (sangat, sangat tidak produktif), dan saya membaca buku sekedarnya saja, tidak dalam intensitas terjadwal seperti biasanya. Bahkan, terkadang diri ini seringkali malas melihat tumpukan buku, apalagi membuka lembarannya untuk dibaca.

Entah bagaimana caranya, pada suatu hari saat sedang mencari sesuatu di rak, saya penasaran melihat deretan koleksi buku yang ada. Sebagian berdebu, sebagian bahkan masih berada dalam sampul plastik toko, benar-benar tidak disentuh setelah dibeli! Mengenaskan. Maksudnya, kondisi saya cukup mengenaskan, hingga setega itu membiarkan buku yang dibeli dengan uang, malah disia-siakan. Tahu demikian, lebih baik dari awal saya tidak usah membeli, atau meminjamnya saja dari perpustakaan.

Saat tangan ini bergerak menyusuri judul-judul buku yang belum tersentuh sama sekali, hati saya terasa... diliputi semacam perasaan tertentu. Ada getaran halus, seperti rasa rindu. Haha. Apakah ini berarti saya rindu aktivitas membaca yang sesungguhnya? Dalam artian, membaca buku untuk dinikmati di waktu senggang, ditemani hidangan lezat, minuman segar, dengan rentang waktu yang masih tersedia?

Astaga, saya ternyata benar-benar merindukan momen tersebut!

Akhirnya, tanpa pikir panjang, saya segera mengambil acak beberapa buku yang sampul plastik tokonya belum dibuka, kemudian memilahnya dengan antusias. Wah, banyak sekali  buku menarik yang belum dibaca. Jantung saya berdegup kencang, senang membayangkan sisa hari akan dilalui dengan membaca buku. Pilihan jatuh pada sebuah novel terjemahan yang sudah lama ingin dibaca. Nah, ini cocok.

Setelah lokasi membaca dan hidangan tertentu disiapkan, saya mulai membuka sampul novel itu. Aroma sebuah buku baru pun tercium, membuat memori saya akan masa-masa sekolah saat menjelajah rak-rak di perpustakaan menyeruak kembali. Dulu saya memang senang berkeliaran menjelajahi rak-rak buku perpustakaan, sekedar menyentuh buku dan mencium aromanya. Ya, saya memang seaneh dan segila itu. Haha. Jika diingat lagi, jadi malu rasanya. Seperti maniak saja.

Oke, kembali ke kisah awal.

Tanpa terasa, beberapa jam sudah saya lalui, larut dalam kegiatan membaca buku yang tak sengaja ditemukan tersebut. Boleh dibilang, ini momen yang jarang sekali bisa saya rengkuh. Kebahagiaan sederhana semacam ini selalu saja tersingkirkan oleh beragam urusan lain.

Seketika itu juga, agar momen itu terasa abadi, saya langsung membuka laptop dan menuangkannya di blog. Benak saya dipenuhi ide yang menuntut keluar. Kini, saya mengakui bahwa membaca buku bisa merangsang otak untuk mencari ide dan menemukan semangat menulis yang ditularkan si penulis. Menemukan makna terpendam dalam sebuah bacaan dan menambah kosakata baru, sehingga dapat kita gunakan dalam tulisan sendiri. 

Oke, kalimat di atas terlalu mengarah pada sisi kepenulisan. Memangnya semua pembaca buku harus menjadi penulis? Bagaimana jika tidak tertarik menulis? Tidak masalah, setidaknya dengan membaca buku kita bisa merasakan dunia lain yang terbentang luas, siap untuk dikunjungi kapan pun kita mau. Tubuh boleh saja terikat pada tempat dimana kita membaca, namun biarkan pikiran mengembara menuju dunia lain tanpa batasan. Apalagi jika yang dibaca adalah novel penuh imajinasi, wah... seolah kita merasa bebas dari dunia nyata, masuk ke dalam khayalan yang diciptakan sang penulis.

Bagaimana jika yang dibaca adalah buku nonfiksi? Apakah masih terasa "sengatan" imajinasinya? Hm... mungkin tidak sedahsyat buku fiksi, namun saat membaca buku nonfiksi, khususnya jika memang buku tersebut menarik (dari segi wawasan dan cara kepenulisannya), maka bisa dipastikan tetap merasakan sensasi menyenangkan saat membacanya. Saya kerap merasa termotivasi saat membaca buku semacam biografi dan self-help, padahal itu termasuk karya nonfiksi. Itulah sensasi yang saya maksud.

Jangan terkejut juga jika suatu saat, setelah kalian banyak mendapat asupan bahan bacaan melalui buku, pasti ada semacam dorongan untuk menulis. Menghasilkan sebuah karya pribadi, sesederhana atau sekacau apapun itu. Tidak masalah, sepanjang kita menyukai prosesnya. Bukankah semua penulis besar berasal dari pembaca yang rakus? 


sumber gambar: Pinterest

"The best advice i ever got was that knowledge is power and to keep reading"
-- George Bernard Shaw



Beberapa Saran Untuk Mendapatkan Kesenangan Membaca Buku

Ah, apalah artinya sensasi membaca buku yang saya uraikan di atas jika pada dasarnya tidak tertarik membaca, ya kan? Kalau sudah demikian saya tidak bisa berbuat banyak. Artikel ini juga bukan untuk memaksa kalian langsung menjadi kutu buku. Semua murni tergantung pilihan masing-masing. Banyak manfaat membaca buku yang bisa kalian cari sendiri di internet, saya tidak akan menguraikannya di sini. 

Yang saya ingin tekankan adalah bahwa membaca buku itu termasuk kegiatan menyenangkan, benar-benar bisa memberikan kepuasan batin. Lalu, bagaimana caranya mendapat kepuasan tersebut? Well, kurang lebih ini saran dari saya:

1. Kumpulkan niat untuk membaca. Setelah itu, jernihkan pikiran dari segala macam pola pikir sempit dan sebagainya, buka seluas-luasnya untuk menerima segala jenis wawasan. Otak kita akan menyerap dengan "rakus" saat kita tidak mengekangnya dengan pola pikir sempit.

2. Tentukan jenis buku bacaan apa yang menarik minat kalian. Tidak tahu apa yang menarik? Ya sudah, mulai saja membaca buku apapun itu, dengan sendirinya akan bertemu dengan hal yang menjadi minat. Kenapa tidak dimulai saja dulu?

3. Mulai dari buku bacaan ringan. Selesaikan sampai habis, secara bertahap. Jika melihat terlalu banyak tulisan membuat kalian stres, maka bisa dimulai dengan buku yang memiliki gambar di dalamnya, dengan jumlah halaman tidak terlalu banyak. Kalian harus merasakan sensasi menyelesaikan membaca sebuah buku, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan! Anggap itu sebagai rekor tersendiri yang menyenangkan. Jika perlu, beri hadiah kecil bagi diri sendiri saat bisa menyelesaikan membaca sebuah buku. Lama-lama, tanpa diberi hadiah, diri kalian akan menemukan efek menyenangkan dari hal tersebut. Itu sensasi yang luar biasa.

4. Temukan tempat yang bisa membuat kalian membaca dengan tenang dan fokus. Jauhkan peralatan komunikasi sementara. Jika kalian membaca melalui e-book di gadget, maka matikan sementara layanan internetnya agar tidak terganggu dengan notifikasi ini itu, atau setidaknya aktifkan mode sunyi. Banyak orang yang saat ini sulit memfokuskan suatu hal akibat terlalu sering mengakses media sosial yang menawarkan konsep informasi cepat dan sepotong-potong, juga kegiatan multitasking di gadget.

5. Mulailah membaca, temukan hal-hal yang menarik dari bacaan tersebut. Jika bukunya berupa novel, gunakan imajinasi untuk membayangkan apa yang diinginkan penulis untuk kita pahami. Sulit berimajinasi? Mungkin buku non fiksi lebih cocok untuk dibaca. Jika ada kalimat yang kurang dimengerti atau alur yang "nyeleneh" dan "berat", jangan menyerah. Inilah yang kerap dilakukan pembaca pemula. Kalian bisa beristirahat sejenak dan setelah pikiran jernih, bisa membaca ulang bagian yang sulit tersebut. Jika masih juga pusing, jangan dipaksa. Bisa jadi kalian memulainya dengan bacaan yang terlalu "berat". Silahkan pilih bacaan lain yang lebih "ringan" dan membuat tertarik. Ketertartikan akan suatu topik bisa membuat kalian hanyut dalam bahan bacaan, setebal apapun buku itu.

6. Bertukar pikiranlah dengan orang-orang yang gemar membaca. Kalau menemukan teman yang gemar membaca, maka bisa saling merekomendasikan bahan bacaan, atau setidaknya, menemukan teman bicara yang sepaham. 

7. Datanglah ke perpustakaan untuk melihat koleksi yang terpampang di sana. Jika perpustakaan dianggap terlalu kaku, maka kunjungi saja toko buku besar dengan penataan rak yang eye catching. Tidak harus membeli kok. Kadang ada buku untuk display yang sudah dibuka sampul plastiknya. Buku tersebut boleh untuk dibaca, sepanjang kalian menaati peraturan yang berlaku. Saya sering menemukan kembali semangat membaca setelah melihat deretan buku-buku bagus di toko buku, lho. Mereka seolah berteriak memanggil saya untuk segera membacanya. 

Oke. Demikianlah tips dari saya untuk menemukan kesenangan membaca buku. Tips di atas tidak akan berguna jika kalian tidak berniat untuk mendalami sebuah bacaan. Semua kegiatan butuh niat, tak terkecuali membaca. Coba kumpulkan niat, temukan buku kegemaran, dan nikmatilah proses membacanya. Sedikit demi sedikit dibaca. Dari satu dua lembar, berkembang menjadi puluhan lembar, lalu akhirnya menjadi ratusan lembar. Tanpa terasa kalian akan menyelesaikan membaca sebuah buku. Jika sudah sampai pada tahap itu, selamat! Kalian telah menambah wawasan.

Nah, semoga artikel sederhana ini mampu membuat kalian -- setidaknya -- memikirkan mengenai keinginan membaca buku. Satu langkah kecil yang positif lebih baik daripada tidak melangkah sama sekali, bukan?

-Bayu-




Catatan khusus selama proses menulis:

Saya mendengarkan terus lagu Norah Jones yang berjudul "Come Away With Me" sepanjang menulis artikel di atas. Dulu saat pertama kali didengar, lagu ini selalu mendatangkan kantuk dan bosan. Kini, setelah "dicerna" berkali-kali, barulah saya menemukan esensinya. Norah Jones adalah musisi yang memiliki selera musik bagus. Lagu yang mengusung pop dan jazz ini cocok dinikmati saat bersantai. Alunan musiknya sungguh damai dan berkelas, membuat saya tersenyum saat menyadari keindahannya. Pantas saja album yang memuat lagu ini diganjar piala bergengsi "Album of The Year" Grammy Awards di tahun 2003.


Penggalan Lirik yang Menarik: "Come away with me and i'll never stop loving you"
sumber gambar: en.wikipedia.org

READ MORE - Apa Asyiknya Membaca Buku?

Benda-Benda yang Kamu Miliki Bisa Berkata Banyak Mengenai Citra Diri, Lho!

sumber gambar: kqed.org
Fumio Sasaki dan Rak Buku

Siapa itu Fumio Sasaki? Ada apa dengan rak buku?

Jadi, di artikel sebelumnya (berjudul Stres Bekerja? Coba Renungkan Baik-Baik...), saya sempat membahas mengenai sebuah buku berjudul "Goodbye, Things" karya Fumio Sasaki. Dia adalah penulis asal Jepang yang sudah menerapkan prinsip hidup minimalis sehari-hari. Hidupnya yang dulu berantakan berangsur membaik setelah dia membuang sebagian besar barang dari apartemennya. Kini, Fumio Sasaki hidup hanya dengan segelintir barang yang memang sangat esensial saja.

Nih, silahkan lihat penampakan bagian dalam apartemennya:
sumber gambar: japantimes.co.jp
Buku "Goodbye, Things" ini terasa personal, karena memang ditulis dari sudut pandang orang pertama, yakni seorang minimalis yang dulu berkubang dengan banyak barang, banyak masalah dan banyak stres. Fumio merelakan sebagian besar barang tersebut pergi (baca: dijual, dibuang, atau didonasikan), dan berani mengklaim dirinya menjadi pribadi yang jauh lebih terbuka dan tidak stres setelahnya.

Terdengar menyenangkan? Pasti. Saya juga ingin seperti itu, tapi... mengurangi kepemilikian barang menjadi seperti Fumio rasanya... sungguh berat, hehe. Bukan berarti itu tidak bisa dilakukan, lho. Butuh komitmen kuat.

Isi buku ini begitu bagus hingga saya merekomendasikan kalian untuk membacanya. Jika kalian pernah membaca buku fenomenal "The Life-Changing Magic of Tidying Up" karya Marie Kondo (yang masih satu negara dengan Fumio Sasaki) dan menyukainya, maka kalian tidak akan kesulitan menemukan kenikmatan membaca "Goodbye, Things".

Fumio menulis lebih banyak hal mengenai mengapa kita terikat dengan benda, atau materi fisik. Dalam perangkap dunia kapitalis seperti saat ini, mudah ditemukan iklan produk yang membuat kita ingin terus membeli dan menumpuk barang. Belum lagi pusat perbelanjaan, baik offline maupun online. Jadilah rumah kita seperti tempat penampungan barang. Jika harus dibereskan, bingung sendiri mulai dari mana. Iya kan?
Pasti ada saja alasan seperti: "Nanti juga masih kepake, sayang ah kalo dibuang" untuk barang-barang yang semestinya dibuang. 

Ckckck. 

Fumio Sasaki tidak akan menoleransi alasan lemah semacam itu. Mungkin saja dia akan menceramahi kalian tentang pentingnya hidup minimalis dan berpisah dengan barang. Entahlah, bisa jadi seperti itu. Atau tidak sama sekali. Saya kan tidak tahu perangai Fumio seperti apa, hehe. 

Well, lagipula artikel ini tidak sedang membicarakan mengenai bagaimana menjadi seorang minimalis. Biarlah Fumio Sasaki yang menjelaskannya kepada kalian sendiri (itu juga jika kalian tertarik membaca bukunya). Saya tergerak untuk mengambil beberapa bagian dari buku tersebut (untuk kedua kalinya, dan di artikel mendatang mungkin masih akan ada beberapa pengambilan lagi, mengingat BANYAK sekali kutipan menarik) dan menuliskannya di blog.

Oh ya, tentang rak buku Fumio Sasaki. 


Maaf, malah jadi lupa tujuan awal paruh pertama ini. Oke. Ada salah satu judul subbab dalam buku "Goodbye, Things" yang langsung membuat perhatian saya tersedot: Rak buku adalah etalase diri sayaNah lho, apa itu maksudnya? Saya menemukan kalimat menarik dari halaman 48 (telah diedit untuk kepraktisan tampilan):

Dulu, saya gemar menumpuk buku di rak yang memakan ruang di lorong sempit apartemen saya. Padahal, rasanya saya tidak pernah membaca satu pun buku itu. Meski begitu, bukannya dibaca baik-baik, sebagian besar hanya saya sentuh sepintas.

Kini, saya bisa melihat dengan jelas alasan saya menyimpan buku-buku itu, tidak pernah membuang satu pun meski saya tahu tidak akan dibaca. Saya begitu ingin menyampaikan nilai diri melalui buku itu. Buku-buku itu ada untuk mengkomunikasikan satu pesan:

Saya sudah membaca begitu banyak buku. 

Sebagaimana terlihat oleh siapa pun yang melihat rak buku itu, saya punya minat yang beragam. Saya juga punya rasa ingin tahu yang tinggi. Saya mungkin terlihat seperti pria yang sangat biasa, tapi sebenarnya saya penuh dengan pengetahuan yang luar biasa. Mungkin saya bisa disebut sebagai orang yang terpelajar dan berpikiran mendalam.


sumber gambar: circlein.com.au
Berusaha Menunjukkan Citra Diri 

Setelah membaca isi subbab itu, saya terpekur. Apa yang disampaikan Fumio sungguh benar. Coba baca saja kelanjutannya: 


Melalui begitu banyaknya buku yang saya miliki, saya sedang berusaha menunjukkan nilai diri. Alasan tersebut juga melatari koleksi CD dan DVD yang menggunung, benda-benda antik, foto-foto nyeni yang menghiasi dinding, peralatan makan, dan koleksi kamera. Nyaris semua benda ini tak pernah saya gunakan. 

Kalimat Fumio jelas menusuk saya begitu mendalam, karena memang demikianlah yang saya lakukan selama ini. Uhuk! Saya memiliki rak buku yang diberi penutup kaca, alias bisa dilihat siapa saja. Koleksi saya terpampang dengan penuh sukacita di sana, bagaikan etalase pribadi. 


Saya tidak bohong bahwa saya memang bangga dengan koleksi tersebut. Kenapa? Karena saya mendapatkannya dengan susah payah. Sekitar 95 persen koleksi tersebut saya beli dengan hasil keringat sendiri. Sejak kecil saya adalah seorang anak yang gemar membaca, namun memiliki sumber daya finansial terbatas untuk memuaskan hobi tersebut. Perpustakaan sekolah menjadi tempat pelarian yang pas. Maka, bertahun-tahun kemudian, setelah mendapatkan penghasilan sendiri, saya seperti balas dendam. Buku-buku yang terlihat memenuhi selera, dan memang sanggup dibeli, akan saya beli.

Baca jugaMaaf Buku-Buku di Rak, E-book Ternyata Lebih Praktis

Saya ingin membangun semacam perpustakaan pribadi, dan sepertinya impian tersebut tidak akan pernah surut, mengingat banyaknya jumlah buku yang terus saya koleksi sampai sekarang.

Saya... bagaimana ya? Saya senang memiliki koleksi tersebut karena... hmm...

Benarkah saya juga ingin dianggap terlihat cerdas? Inikah yang membuat saya kalap setiap kali melihat diskon buku? Karena ingin koleksi bertambah? Inikah juga yang menjelaskan mengapa saya sulit sekali menyingkirkan koleksi tersebut?

Jika demikian adanya, wah... ada yang salah dengan diri saya! Tampaknya saya perlu lebih banyak berkontemplasi. Saya harus benar-benar meyakinkan diri, apa alasan terkuat untuk tetap mempertahankan koleksi tersebut, yang jelas-jelas sudah memakan banyak tempat!



"We use objects to tell people just how valuable we are" -- Fumio Sasaki

Kita Semua Ingin Menunjukkan Citra Diri Setiap Saat

Jika setelah membaca buku "The Life-Changing Magic of Tidying Up" karya Marie Kondo saya langsung tertarik membenahi barang untuk menampilkan apa-apa saja yang terlihat menyenangkan bagi saya (atau istilah Marie Kondo adalah "spark joy"), maka beda ceritanya dengan buku "Goodbye, Things". Setelah membacanya, saya jadi sulit tidur. Bukan karena saya keranjingan membaca hingga tengah malam (dalam beberapa kasus sih iya, tapi tidak sering kok), namun lebih karena saya terus-menerus dihantui kalimat demi kalimat dalam buku tersebut. Mengingat saya ini tipe yang selalu memikirkan suatu hal (argh, sungguh menyiksa memang!), jadilah tangan saya gatal untuk menulis di blog, menumpahkan semuanya.

Benak saya tidak sanggup menampung ini semua.

Hingga di satu titik, saya merasa mendapat semacam kesadaran. Ya, justru setelah menuliskannya di blog ini, kesadaran itu muncul. Jika saya saja sampai membeli buku dalam jumlah banyak dan bangga menampilkannya, maka bisa jadi dalam sisi lain, di kehidupan pribadi kita, aksi menampilkan citra diri ini sungguh penting.

Kita? Iya, saya, kamu dan semua orang di dunia ini. Seperti yang dituliskan Fumio Sasaki di halaman 155: "Kita semua, dalam skala yang berbeda-beda, selalu mengasosiasikan diri dengan barang-barang kita".

Itulah yang menjelaskan mengapa kita senang sekali membeli benda-benda yang seolah memancarkan aura "inilah jati dirimu". Bahkan tanpa disadari pun, memang demikianlah adanya. Kita membeli pakaian, tas, sepatu, kendaraan, properti, gadget, dan masih banyak lagi.

Tapi kan saya membeli ponsel canggih untuk menunjang pekerjaan saya, karena fiturnya bla bla bla. Mungkin itu alasan kita membeli iPhone generasi terbaru, atau wearable device semacam smartwatch merk tertentu yang harganya selangit. Lalu kita akan membela diri dengan kecanggihan fiturnya, dan bagaimana desain benda itu yang menarik, berapapun harganya, pasti dibeli.

Jika dibawa ke keramaian pun, sebuah iPhone generasi terbaru jelas menunjukkan prestise tersendiri, bukan ponsel dari pabrikan yang kurang terkenal. Okelah jika memang kebutuhan kalian tercukupi dengan fitur terbaru di ponsel, itu masih rasional. Namun bagaimana dengan mereka yang tidak mengetahui kecanggihannya?

Saya punya cerita nyata. Ada orang yang gemar mengganti ponsel dengan merk terkenal keluaran terbaru, padahal dia seseorang yang gagap teknologi. Bisa dipastikan ponsel tersebut juga dimaksimalkan hanya untuk telepon dan melancarkan serangan pesan instan WhatsApp. Oh, dan media sosial tentunya. Tapi begitu ditanya mengapa harus generasi terbaru, dengan enteng dia akan menjawab, "Karena gue bos."

Oke. Jadi status "bos"-nya itu membuat dia melegalkan pembelian ponsel merk terkenal, paling gres di pasaran, dengan fitur yang mungkin dia tidak akan gunakan. Belum lagi kendaraan dan properti yang dia miliki. Kinclong. Semua miliknya seolah meneriakkan kalimat: "Lihat nih, gue seorang bos".

Itulah citra diri yang dia ingin tampilkan.


sumber gambar: pergikuliner.com
Mari perluas isu ke arah pusat-pusat perbelanjaan, dengan deretan gerai-gerai merk terkenal. Pasti kita pernah (atau sering) ke tempat semacam ini, bukan? Banyak yang keluar masuk, melihat deretan barang di etalase, membeli, kemudian... JRENG, keluar dengan tentengan seabrek. Saat iseng, akan melipir ke salah satu kedai kopi internasional untuk sekedar melepas dahaga dan melepas lelah sejenak. Tidak bisa dipungkiri, meski kalian sangat menyukai racikan kedai kopi tersebut sekalipun atau dipaksa berkumpul di tempat itu, tetap saja akan ada semacam citra diri yang langsung melekat, seolah memasang papan pengumuman: "Wow, gue ada di tempat nongkrong ini, guys!"

Bukan berarti saya pembenci kedai kopi tersebut. Tidak. Saya justru menyukainya kok, hehe. Jadi bisa dibilang citra tersebut juga yang ingin saya tampilkan, tanpa sadar. Melalui blog ini malah baru saya sadar sepenuhnya. Pantas saja perasaan saya selalu senang dan... apa ya istilahnya? Pokoknya, selalu merasa spesial jika bisa membuka pintu kedai kopi itu dan berhasil menikmati salah satu produknya. Menjadi bagian dari orang-orang di dalamnya.

Sepertinya, itu menjelaskan fenomena mengapa barang-barang mewah dihargai selangit dan selalu ada yang akan membelinya. Para produsen barang mewah itu tahu bahwa produknya diasosiasikan dengan prestise tertentu, atau kategori high class, sehingga pembelinya pasti akan dilabeli demikian. Oke, di luar faktor bahwa barang bermerk selalu mengunggulkan kualitas tinggi (saya percaya ini), pasti akan selalu ada faktor label "premium" dan "eksklusif" di dalamnya. Belum wah rasanya kalau belum menggunakan baju rancangan A, menggunakan kendaraan tipe B, menggunakan ponsel tipe C, tinggal di properti daerah D, dan sederet wah wah yang lainnya. Para penjual akan memasang harga selangit untuk menekankan kualitas dan prestise, lalu... hore, meraup keuntungan dari praktik demikian.

Sial. Jebakan kapitalisme dan citra diri. Sempurna. Jadi inilah yang ditentang oleh Fumio Sasaki.


Pentingkah Citra Diri?

Nah, ini pertanyaan yang agak sulit dijelaskan, saya sendiri cukup ragu menyampaikan hal ini dalam tataran logis dan wajar. Jadi, ini sepenuhnya adalah opini saya, jika kalian memiliki pandangan berbeda, tidak apa-apa, silahkan utarakan. Lagipula hei, semua artikel dalam blog saya adalah opini pribadi kok, bukan sesuatu yang menjadi acuan atau apalah. Saya hanya seorang personal bloger. Berbeda pendapat itu wajar.

Bagi saya pribadi, citra diri itu penting. Mengapa? Karena dengan citra diri, kita memberi kepastian kepada dunia, sosok seperti apa kita ini. Tanpa itu, kita cenderung tidak mampu menggapai tujuan hidup. 

Tapi eh tetapi... ada yang mengusik pikiran saya. Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, bukan? Nah, citra diri memang penting, namun jika penerapannya sudah menjadi sebuah tuntutan dan malah membuat kita stres, itulah sisi buruknya. Hal itu pula yang mendasari Fumio Sasaki menulis seperti ini (halaman 156): "Ada hal-hal yang sangat kita sukai sampai-sampai terasa sebagai bagian dari diri kita. Hal-hal itu lalu membentuk citra yang harus dipertahankan."

Yang coba diuraikan Fumio Sasaki adalah bagaimana lepas dari tuntutan pemenuhan citra diri tersebut dengan cara melepas barang-barang yang kita miliki. Misal, kita mengaku sebagai penggemar berat musik sehingga terbebani untuk terus menampilkan sosok penggemar musik sejati (misal mengoleksi banyak CD, poster, peralatan musik, dan semacamnya), maka coba lepaskanlah barang-barang yang berhubungan dengan musik. Berani lepaskan dengan ikhlas, dan rasakan bahwa tuntutan citra diri tersebut meredup. Ke depannya, saat menikmati musik, diharapkan kita tidak akan terdorong untuk tampil sebagai "penggemar garis keras" yang harus tahu semua hal ("Oh gue punya album itu" atau "Musisi A? Gue baru aja nonton konsernya kemaren, bla bla bla"), tapi lebih ke menikmati apa adanya.

Fumio pun berkata (halaman 155): "Sekarang, saya tak lagi pusing tentang jumlah film yang ditonton. Saya bukan lagi "penggemar berat film", tapi sekadar seseorang yang menyaksikan film yang menarik minatnya".

Tampilkan apa adanya, tidak perlu terlalu terbebani. Itulah pesannya. Menurut saya, bukan berarti menghilangkan pentingnya citra diri itu sendiri. Fumio Sasaki sendiri pastinya sekarang dilabeli seorang yang minimalis, sehingga citra diri itu akan melekat kemanapun dia pergi. Tapi karena telah mencapai derajat "seorang minimalis", maka dia tidak tertarik untuk berpura-pura menampilkannya, karena memang itulah yang dia jalani sehari-hari.


Fumio tidak seperti Marie Kondo yang dengan baik hati memberi tips bagaimana merapikan banyak barang. Saran Fumio cukup sederhana: kurangi kepemilikan barang, hingga yang ada hanyalah yang benar-benar dibutuhkan. Jika kita hanya membutuhkan tiga kemeja, kenapa pula harus membeli dua lagi hanya karena harganya sedang didiskon? (Omong-omong, Fumio Sasaki memiliki sedikit pakaian lho, seperti yang dijabarkan di bagian Tentang Penulis, yaitu: Fumio Sasaki adalah seorang penulis tiga puluh tahunan yang tinggal di apartemen kecil di Tokyo dengan tiga kemeja, empat celana panjang, empat pasang kaus kaki, dan sedikit benda lainnya -- luar biasa, ya?).

Bisakah kita melakukannya? Tentu saja bisa, namun dengan keberanian berubah dan komitmen penuh. Sesuai dengan kaidah Fumio Sasaki, maka itu semua bisa dimulai dengan membuang (baca: jual, buang atau donasi) barang-barang milik pribadi yang tidak dibutuhkan. Jika dijalankan dengan benar, maka sedikit demi sedikit pemenuhan tuntutan akan citra diri sempurna mulai meredup. Lagipula, tidak ada manusia yang sempurna. Akan melelahkan kalau kita berpura-pura sempurna.

Dengan adanya tuntutan, maka kita cenderung membeli produk untuk menampilkan citra diri yang positif, mengabaikan kewajaran dan kondisi finansial. Nah, itu yang menjadi sisi buruknya! Dalam tataran wajar, manusia normal pasti menginginkan barang kok, namun dalam motif untuk keberlangsungan hidup. Jika motifnya diselimuti oleh tuntutan sosial berlebih, Itu yang tidak disukai Fumio Sasaki. Jebakan itu yang dijamin akan membuat kita hidup dengan penuh tekanan. 

Fumio menginginkan kita merdeka dari segala tuntutan citra diri.

Hm... Oke, oke.

Saya mungkin tidak bisa mengikuti total gaya hidup seorang Fumio Sasaki (hanya menyisakan tiga kemeja saja? come on...), namun saya bisa menerapkan filosofinya ke dalam berbagai segi kehidupan, dalam level yang sanggup saya jalankan. Beberapa penerapan sudah memberikan manfaatnya kok. Tapi, saya pun tahu bahwa tuntutan citra diri ini sangat penting di era modern, apalagi dengan kehadiran media sosial (wah, khusus untuk isu citra diri di media sosial, mungkin saya akan menuliskannya di artikel terpisah, mengingat bisa jadi banyak yang perlu dikupas lebih dalam). 

Jadi, butuh tekad kuat untuk menampilkan citra diri yang wajar. Bahkan, apa yang kita anggap wajar, belum tentu dianggap wajar di mata orang lain. Jebakan persepsi. Semua kembali pada kehendak masing-masing. Saya tidak memaksakan opini. Pada akhirnya, diri kitalah yang menjalankan hidup dan mempertanggung jawabkan pilihan yang kita ambil.

-Bayu-




Catatan selama proses menulis:

Pilihan lagu untuk menemani menulis kali ini adalah "Sit Next to Me" karya Foster The People. Sudah lama saya tidak mendengarkan musik mereka. Vokal Mark Foster yang khas mengingatkan saya akan kejayaan album pertama, Torches. Artikel di internet menyebutkan bahwa genre lagu ini adalah indie-pop, neo-psychedelia dan funk. Campur aduk. Entah apa penjelasan dari masing-masing genre tersebut, tapi racikan kesemuanya membuat lagu ini begitu nyaman untuk didengarkan berulang-ulang, khususnya di bagian intro.


CATATAN TAMBAHAN: Berarti bisa dibilang, bagian "catatan selama proses menulis" ini juga menunjukkan kalau saya ingin dianggap sebagai pendengar musik dengan genre tertentu. Apakah ini semacam jebakan citra diri? Sayang sekali, benar. Ah biarlah, hehe. Satu hal yang pasti: saya memang tidak bisa menulis tanpa ditemani musik. Dan saya memang mendengarkan lagu Foster The People ini berulang-ulang. Jika boleh membela diri, ini adalah bentuk ciri khas yang ingin saya pertahankan.😁

Penggalan lirik yang menarik:
And now it's over, we're sober
Symptoms of the culture
And the night ain't getting younger


sumber gambar: en.wikipedia.org




READ MORE - Benda-Benda yang Kamu Miliki Bisa Berkata Banyak Mengenai Citra Diri, Lho!
 

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.